SANDYAKALA (Bagian 31)



31  Pinggir sungai        

Sebuah mobil kijang berjalan melambat di samping Khaerani yang sedang bersepeda sepulang mengantarkan kue-kue pesanan.
“Dek Rani,” sapa seseorang dari dalam mobil.
“Waduh! Pak Sofyan!” pikir Khaerani sambil menoleh kearah suara yang menyapanya. “Eh, Pak Sofyan.”
“Baru pulang Dek?”
“Iya Pak. Pak Sofyan darimana?”
“Habis mengantarkan ibu-ibu PKK ke Kecamatan. “Dek Rani sendirian?” “Biasanya juga sendirian, Pak.”
“Tidak sama itu, siapa namanya, saya lupa. Itu lho, kemenakannya Pak Said.” Khaerani hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. “Ya sudah. Saya duluan Dek Rani. Sudah ditunggu Pak Lurah di balaidesa.” Pak Sofyan kemudian melajukan mobilnya meninggalkan Khaerani.
“Memangnya Bagas itu pengawalku! Yang harus selalu ada! Tapi, baguslah kalau Pak Sofyan berpikiran begitu, jadi aku terbebas darinya,” pikir Khaerani. Tersenyum sambil terus mengayuh sepedanya.
***
Khaerani meletakan sepedanya diteras depan sesampainya di rumah, kemudian segera masuk dan langsung ke kamarnya. Tidak lama kemudian keluar lagi, pergi ke belakang mencari Mak Lela. “Bapak belum pulang dari sawah, Mak?” tanyanya setelah bertemu Mak Lela. Wanita dengan penampilan sederhana itu menjawab kalau Bapak sudah pulang, tetapi sebentar kemudian pergi lagi bersama Pram ke rumahnya Pak Haji Ramli untuk membeli pupuk. Khaerani kemudian meminta ijin untuk keluar sebentar. Berjalan seorang diri ke arah sungai.
            Hari yang cukup cerah dimusim hujan. Khaerani berdiri seorang diri di tepi sungai. Air sungai yang jernih mengalir di antara bebatuan, nampak berkilau memantulkan cahaya matahari. Terdengar suara gemericik air berpadu dengan cericit burung kedasih dan murai yang sedang hinggap dipohon-pohon yang tumbuh tidak jauh dari pinggir sungai. Kemudian berjalan ke sebuah batu besar yang datar permukaannya. Berdiri diatasnya. Memperhatikan aliran sungai. Beberapa kelopak bunga flamboyan merah yang tumbuh tidak jauh di belakangnya menyentuh rambutnya karena tertiup angin, sementara yang lainnya jatuh ke sungai yang langsung terbawa oleh arusnya. Khaerani kemudian duduk dengan memegang kedua lututnya. Terdengar helaan nafasnya. Tangan kanannya mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hijau dari saku celananya. Kotak kecil itu kemudian dibuka, diambilnya sebuah cincin bermata hijau dengan tangan kirinya. Dipandanginya cincin tersebut, kemudian diletakkan disampingnya di antara beberapa kelopak merah bunga flamboyan. “Apa enaknya duduk seorang diri di pinggir sungai siang-siang begini? Melamun?” Sebuah suara dari arah belakang membuyarkan lamunan Khaerani. Gadis itu langsung menengok dan terkejut ketika melihat siapa yang sedang berdiri dibelakangnya. “Bagas!”
            “Seorang gadis tidak boleh melamun sendirian di pinggir sungai, nanti bisa kerasukan jin penunggu sungai, lho!” Bagas tertawa.
            “Sedang apa disini!” kata Khaerani sambil berdiri.
            “Tidak sedang apa-apa. Kamu sendiri. Sedang apa sendirian di pinggir sungai? Kamu tidak sedang berpikir untuk bunuh diri kan, Ran?”
            “Heh! Darimana kamu mendapatkan pikiran bodoh seperti itu!”
            “Syukurlah kalau memang kamu tidak mempunyai pikiran seperti itu.” Bagas tersenyum.
            “Jangan katakan kalau kamu kebetulan disini untuk mengambil foto!” Khaerani memandang tajam sepupu Bimo itu sambil sedikit mengernyitkan dahi.
Bagas kembali tertawa. “Kamu pikir, ini film, sinetron atau cerita novel yang tokoh-tokohnya selalu bertemu dengan kebetulan? Terus, apa kamu melihat aku membawa kamera? Tidak kan. Aku memang sengaja mengikuti kamu!”
“Mengikutiku!”
Bagas mengangguk sambil tersenyum. “Aku sedang bejalan pulang dari kebun jagungnya Pak Said, dari kejauhan aku melihatmu. Aku penasaran melihatmu jalan sendirian, jadi aku mengikutimu. Kamu pasti sedang memikirkan sesuatu, sampai tidak merasa kalau ada orang yang mengikutimu.”
Khaerani terdiam. Menghela nafas. “Ya Tuhan, kenapa setiap kali berhadapan dengannya wajahku terasa panas dan jantungku berdegup lebih kencang?” benaknya sambil memalingkan wajahnya dari Bagas untuk menyembunyikan perubahan rona wajahnya.
Bagas tersenyum melihat sikap Khaerani, matanya secara tidak sengaja melihat cincin yang tergeletak diatas batu. “Hei, cincin yang sangat indah!” katanya sambil mengambil cincin bermata hijau yang tergeletak tersebut. Khaerani sontak kaget dan baru menyadari kalau cincinnya masih tergeletak di atas batu. Gadis itu langsung melompat turun dari batu dan berusaha mengambil cincinnya yang berada di tangan Bagas, tapi kemenakan Bu Said itu langsung mengelaknya. Sambil tersenyum Bagas memandang cincin yang berada ditangannya. “Kenapa setiap bertemu kamu, di tempat sepi, sendirian, kamu selalu membawa cincin? Tapi cincin yang ini lebih cantik dan indah dari cincin yang dulu kamu bawa waktu di bukit kecil itu.”
            “Kembalikan cincin itu!” Ada nada kemarahan dalam suara Khaerani.
            “Hei! Jangan-jangan, kamu berada disini untuk membuang cincin ini ke sungai!” Tebak Bagas sambil memandang Khaerani dengan dahi sedikit dikerutkan. “Memangnya apa salahnya cincin ini? Ini cincin yang sangat cantik dan indah.” Khaerani terdiam sambil memandang tajam Bagas. Ketika tatapannya beradu dengan kemenakan Pak Said itu, dirasakan dadanya berdegup lebih keras dari biasanya. “Sayang sekali cincin sebagus ini kalau dibuang kesungai. Keindahan dan kecantikannya akan tenggelam begitu saja di dasar sungai. Kenapa tidak kamu pakai saja? Pasti akan jauh lebih indah jika berada dijarimu.”
“Cincin itu tidak akan pernah terpasang dijariku!” kata Khaerani dengan sedikit emosi.
“Kenapa? Apa terlalu kecil atau terlalu besar?”
Khaerani menghela nafasnya. “Cincin itu milik Bayu! Cincin yang rencananya akan Bayu pasangkan dijariku ketika menikah. Dan, Bayu tidak akan pernah memasangkannya dijariku!”
Bagas yang sebelumnya tertawa dan tersenyum, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi serius. “Lalu, kau akan membuangnya?  Kenapa? Kamu kira, dengan membuang cincin ini kamu akan lepas dari bayangannya? Tidak Ran, kamu malah akan menyakiti hatimu sendiri, kamu pasti akan diselimuti rasa bersalah nantinya. Simpanlah, anggap saja sebagai suatu kenangan.” Bagas menyodorkan cincin yang dipegangnya.
Khaerani diam tidak bergeming sambil memandang cincin yang bermata hijau tersebut. Dan sontak terkejut ketika tiba-tiba Bagas menarik tangan kirinya dan memasangkan cincin tersebut di jari manisnya. Tidak menyangka Bagas akan melakukan hal tersebut, dadanya tiba-tiba bergetar lebih kencang dan nadinya berdenyut lebih cepat, teringat akan mimpinya dimana Bagas memasangkan cincin bemata hijau tersebut dihari pernikahannya. “Ya Tuhan, apa maksud dari semua ini?” benaknya.
 “Betul kan, cincin ini pas dan menjadi lebih cantik ketika melingkar dijarimu.” Bagas tersenyum sambil masih memegang tangan Khaerani yang kini sudah memakai cincin bermata hijau tersebut. “Bagaimana perasaan kamu setelah cincin ini melingkar dijarimu? Apa tiba-tiba bayangan Bayu muncul didepanmu atau kini berada disampingmu sambil memegang pundakmu?” kata Bagas sambil melepaskan tangan Khaerani. “Setelah memakainya, apa kamu masih berniat membuang cincin itu ke sungai?” Bagas menghela nafasnya. “Aku tidak akan melarangmu. Terserah apa yang akan kamu lakukan dengan cincin itu, karena itu hak kamu, Ran.”  Khaerani diam sambil memandang cincin bermata hijau yang kini melingkar dijari manis tangan kirinya. Tiba-tiba ada perasaan senang dan lega merambati hatinya. “Tapi aku sarankan, lebih baik kamu simpan saja cincin itu. Disamping cincin itu sangat indah, aku rasa harganya mahal. Bayu membeli cincin itu dengan keringat dan cintanya, apa iya, kamu akan membuangnya begitu saja ke sungai?” Bagas tersenyum. Kemudian keduanya terdiam, berkelut dengan pikirannya masing-masing. Matahari sudah mulai condong ke barat. Bagas mengajak Khaerani untuk pulang, tapi gadis itu menolaknya.
 “Aku masih ingin tetap disini sebentar,” kata Khaerani.
Bagas menghela nafas pelan. “Apa boleh aku menemanimu?”
***
Khaerani duduk di tempat tidurnya sambil memandang cincin bermata hijau yang melingkar di jari manis tangan kirinya. “Bayu...Bagas...Bayu...Bagas....” Dua nama tersebut terus berngiang dibenaknya. Dibukanya kotak kecil berwarna hijau yang tergeletak diatas meja, diambilnya lipatan kertas kecil didalamnya kemudian dibuka dan kembali dibacanya.

cincin ini akan menemukan pemiliknya,
ketika sang pangeran memakaiannya dijari manis sang putri yang dicintainya

“Apakah ini sebuah kebetulan? Atau memang takdir Tuhan? Atau hanya sebuah permainan? Kenapa Bagas yang memasangkan cincin ini dijariku, bukan Bayu atau Bimo?” Khaerani menghela nafasnya. ”Tapi, kenapa aku merasa senang ketika dia memasangkannya?” Seribu pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. “Kenapa aku suka ketika melihatnya tertawa? Kenapa aku merasa senang jika dia bersikap menjengkelkan? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Terus, bagaimana dengan Bimo?”
***
            Bagas sedang duduk sambil membuka-buka sebuah buku dikamarnya. Tiba-tiba kemenakan Bu Said itu menghentikan kesibukannya, menghela nafas pelan dan seulas senyum tipis menghiasi bibirnya. Ingatannya kembali terbang saat siang hari di pinggir sungai bersama Khaerani. Ketika mereka berdua duduk diatas batu besar.
            “Boleh aku menanyakan sesuatu?”
            “Apa? Tidak biasanya, kamu meminta ijin untuk bertanya?”
Bagas tersenyum. “Apa yang dikatakan ibunya Bayu sepulang dari makam? Apa dia masih marah?”
            Khaerani menggeleng. “Beliau hanya memberikan ini,” katanya sambil menunjukkan cincin bermata hijau dijarinya.
            “Apa ibunya Bayu yang menyuruh kamu membuang cincin itu?”
            “Tidak! Dia tidak menyuruhku apa-apa. Hanya memberikannya.”
            “Kenapa dia memberikannya pada kamu?”  Khaerani kemudian mengatakan alasan ibunya Bayu memberikan cincin bermata hijau itu kepadanya. “Kenapa kamu ingin membuangnya?”
            “Siapa yang ingin membuangnya?”
            Bagas mentap heran Khaerani yang sedang memperhatikan air sungai yang mengalir. “Bukannya tadi...”
            “Aku tidak berniat membuang cincin ini ke sungai. Apa kamu melihat aku akan melemparnya? Dari pertama, kamu sudah bicara terus, menebak dan menyimpulkannya sendiri! Apa ada kata-kataku yang mengatakan akan membuang cincin ini?”
                       
Bagas tertawa kecil. “Aku kira tadi kamu akan membuangnya.”
            “Terus, kenapa kamu mengikutiku?” tanya Khaerani.
            “Aku kuatir!”
            “Kuatir apa?”
            Bagas tertawa. “Aku kuatir kamu habis kena marah ibunya Bayu, terus nekat bunuh diri ke sungai!”
            “Pikiran gila!” Khaerani tertawa. “Lagipula, sungai ini dangkal! Kalau mau bunuh diri, mending naik ke atas pohon besar itu, lalu terjun bebas!” katanya sambil menunjuk pohon besar dan tinggi diseberang sungai. Bayu pun ikut tertawa.
“Sampai kapan, Bayu akan selalu berada dalam hatimu?” tanya Bagas kemudian.
“Bayu akan selalu dihatiku, sama seperti almarhumah ibuku yang akan selalu hidup dalam hatiku. Mereka adalah salah satu bagian terindah dalam hidupku dimasa lalu. Bukankah masa lalu tidak akan pernah kita ubah atau kita hapus?”
Bagas tersenyum “Yah, memang seperti itu. Tapi, apa tidak ada tempat lagi dihatimu untuk orang lain?”
Khaerani memandang air sungai yang mengalir, menghela nafasnya. “Untuk siapa? Untuk kamu, Bagas? Atau Bimo, yang kamu maksud?” benaknya.
            “Apa masih ada tempat dihatimu untuk seorang keluarga Said?” tanya Bagas sambil melempar sebuah batu kecil ke sungai.
            Khaerani terkejut mendengar pertanyaan Bagas. “Apa maksud kamu, Bagas? Apa kamu menginginkan Bimo dengan aku?” benaknya. Kemudian menghela nafasnya berusaha menenangkan perasaanya.  “Maksud kamu, Bimo?” tanyanya sambil memainkan sebuah kelopak bunga flamboyan yang terjatuh di atas batu.
            “Apa hanya Bimo, laki-laki yang kamu kenal dari keluarga Said, selain Pak Said tentunya.” Deg! Jantung Khaerani terasa berhenti ketika mendengar kata-kata tersebut. Dipandangnya laki-laki yang duduk disampingnya itu dengan tajam. “Aku tidak sedang bercanda,” kata Bagas menoleh dan menyambut tatapan Khaerani. Pandangan keduanya beradu. Kemudian terjadi kebisuan, yang terdengar hanya helaan nafasnya. “Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang.”
            Bagas tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara mobil yang berhenti didepan rumah. “Itu pasti Bimo,” pikirnya.
***
(Naaaah...apa yang bakalan terjadi yaaaa...baca kelanjutannya di Bagian 32)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)