SANDYAKALA (Bagian 23)



23  Sanggar

“Mbak Risma sama Mas Pram belum pulang dari tempat Bu Bidan, Mar?” tanya Khaerani kepada Maryam yang sibuk menjahit.
“Belum Mbak.”                      
            Khaerani memperhatikan baju yang sedang dijahit oleh Maryam. “Yang kamu jahit, kayaknya kebaya, ya Mar?”
            “Memang kebaya, Mbak.” Maryam memperlihatkan kebaya putih yang belum selesai dijahitnya.
“Punya siapa?”
            “Lho, Mbak Rani tidak tahu? Ini punya Mbak Asti, temannya Mbak Rani yang waktu itu datang kesini.”
            “Yang hijau juga?” Khaerani menunjuk sebuah kain brokat hijau.
“Iya Mbak. Mbak Asti membuat dua kebaya, putih dan hijau.”
“Tumben amat Asti membuat kebaya.”
            Maryam tertawa. “Mungkin buat kawinan, Mbak.”
            “Masa sih? Kalau memang iya, kenapa Asti tidak memberi tahu aku ya?”
            “Buat kejutan mungkin, Mbak.”
            Khaerani terdiam, berbagai pertanyaan tentang Asti timbul dalam benaknya.
***
            Sore hari. Setelah pekerjaan rumah beres semua, Khaerani pamit kepada Mak Lela untuk pergi ke rumah Asti.

             “Hei, kamu sudah sembuh, Ran?” Asti tersenyum ketika membuka pintu dan melihat Khaerani dan mengajaknya masuk.
“Rumahmu kok sepi?” tanya Khaerani sambil duduk dikursi tamu.
“Bapak dan ibu sedang kondangan ke pernikahan anak temannya bapak. Mas Bagus, kakakku sedang ke dokter gigi.”
 “Ngomong-ngomong soal pernikahan. Aku melihat kebaya putih dan hijau yang kamu jahitkan ke Mbak Risma, As.” Asti terenyum. “Jangan-jangan benar kata Maryam. Kamu akan menikah?!”
“Begitulah.” Rona bahagia tergurat diwajah Asti.
“Kenapa kamu tidak pernah cerita?”
“Rencananya mau buat kejutan. Tapi, ternyata kamu tahu juga.” Asti tertawa kecil.
“Siapa laki-laki beruntung itu, As?”
Asti tersenyum malu. “Kamu pasti mengenalnya, Ran.”
“Siapa?” Khaerani nampak penasaran.
“Mas Baskoro,” kata Asti lirih dengan sedikit malu-malu.
“Jadi, guru ganteng tetanggamu itu!” kata Khaerani sambil menunjuk sebuah rumah di depan rumah Asti.
“Sssst..jangan keras-keras.” Asti meletakkan jari telunjuk dibibirnya.
“Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan?” Asti mengatakan kalau dia sudah hampir setahun menjalih hubungan yang serius dangan Baskoro dan baru sebulan lalu Baskoro dan keluarganya melamarnya. “Terus, kapan menikahnya?”
“Kalau tidak ada aral melintang, mungkin bulan depan,” jawab Asti. “Kamu sendiri, Ran? Kapan kamu akan menyusul?”
“Menyusul apa? Memangnya balapan, pakai susul menyusul.”
“Kamu bisa saja. Maksudku, kapan kamu menikah?”
Khaerani tersenyum. “Nanti, kalau sudah waktunya, pasti akan menikah!”
“Tunggu apa lagi? Calonnya kan sudah ada.”
“Calon? Calon apa?” Khaerani memandang Asti sambil mengernyitkan dahinya.
Asti tertawa. “Lha itu kan masih ada Bimo dan sepupunya!”
“Kamu ngomong apa sih, As! Sudah ah. Jangan bicara soal itu. Oh iya As. Aku kesini untuk menagih buku-buku yang dulu aku minta.”
“Sudah aku siapkan. Selain punyaku, aku juga minta ke beberapa temanku dan teman Mas Bagus. Tunggu sebentar. Aku akan mengambilnya. Asti masuk kedalam rumah. Tidak lama kemudian muncul kembali dengan membawa sebuah kardus besar ditangannya.
“Wah! Banyak sekali,” kata Khaerani setelah menerima dan melihat kardus yang dibawa Asti. “Terima kasih banyak, ya As.”
Asti tersenyum.
***
“Wah, kalau setiap yang menyumbang buku sebanyak Asti, pasti buku di taman bacaan Pak Lek Tresno akan cepat banyak,” pikir Khaerani sambil mengayuh sepedanya meninggalkan rumah Asti ke tempat Pak Lek Tresno.
“Ini mobil siapa ya? Apa Pak Lek Tresno sedang ada tamu?” benak Khaerani sambil menghentikan kayuhan sepedanya ketika melihat sebuah mobil parkir didepan sanggar milik Pak Lek Tresno.
***
“Apa seperti ini yang dirasakan oleh Ami ketika melihat anak-anak bermain, becanda, tersenyum dan tertawa? Perasaan senang dan bahagia,” kata Bagas dalam hati ketika memperhatikan anak-anak yang sedang berlatih gamelan dan nembang jawa di sanggar milik Pak Lek Tresno sambil membongkar kardus-kardus berisi buku-buku di ruangan sebelah tempat latihan tersebut.
“Silahkan diminum Nak Bagas,” kata Bu Lek Tresno sambil menaruh segelas teh manis di meja kecil.
“Oh iya Bu Lek, terima kasih.”
Istri Pak Lek Tresno itu kemudian meninggalkan Bagas dan masuk kedalam. Pak Lek Tresno sendiri sedang memberi pengarahan dan sekali-kali ikut menabuh alat-alat gamelan.
Terdengar suara salam dari arah pintu masuk sanggar diantara suara-suara gamelan. Bagas melihat seorang yang berdiri sambil membawa sebuah kardus besar. “Rani!” gumamnya lirih. Kemudian meninggalkan pekerjaannya dan berjalan menuju pintu.
“Bagas!” Khaerani yang bediri dipintu sanggar terkejut melihatnya.
“Hai! Apa kabar?” sapa Bagas.
“Sedang apa kamu disini?”
Belum sempat Bagas menjawab, datang Pak Lek Tresno. “Eeeeeeh ada Rani.”
“Sore Pak Lek.” Pak Lek Tresno mempersilahkannya masuk. “Saya bawa buku-buku lagi Pak Lek. Ini dari Asti.” Khaerani menunjukkan kardus yang dbawanya.
“Waduh...Terima kasih sekali. Itu Nak Bagas juga bawa buku-buku.” Pak Lek Tresno menunjuk dua kardus besar yang baru saja dibongkar oleh Bagas. “Kalau begini caranya, taman bacaan ini bakal cepat dibuka. Apalagi Nak Bagas ini membantu Pak Lek membuatkan rak-rak bukunya,” kata Pak Lek Tresno dengan nada senang dan menyuruh Khaerani meletakkan buku-buku yang dibawanya disamping kardus yang sedang dibongkar Bagas.
“Maaf, kalian Pak Lek tinggal. Itu anak-anak kalau ditinggal pasti ramai,” kata Pak Lek Tresno sambil tersenyum, kemudian masuk kembali untuk mengawasi anak-anak latihan.
 “Jadi ini yang kamu lakukan disini,” kata Khaerani ketika melihat Bagas membongkar kembali kardus-kardus berisi buku.
“Memangnya kenapa?” jawab Bagas sambil tersenyum.

“Tidak apa-apa,” kata Khaerani sambil meletakkan kardus yang dibawanya. “Kenapa kamu mau melakukan ini?” tanyanya kemudian.
“Karena aku mau! Kamu sendiri. Kenapa mau bersusah payah mencari dan mengumpulkan buku untuk taman bacaan ini?”
“Karena aku mau!” jawab Khaerani. Bagas dan Khaerani kemudian tersenyum. Bu Lek Tresno kembali muncul sambil membawa minuman untuk Khaerani.
“Tidak usah repot-repot Bu Lek.”
“Tidak apa-apa. Bu Lek tidak merasa repot, malah merasa senang kamu datang lagi ke sanggar ini,” kata Bu Tresno tersenyum sambil meletakkan gelas minuman Khaerani disamping gelas Bagas. “Ya sudah, Bu Lek tinggal dulu ya. Ada yang masih harus Bu Lek kerjakan di dalam.”
“Iya Bu Lek, silakan.”
“Pasangan yang sangat baik. Sangat perhatian dengan anak-anak desa ini,” kata Bagas sepeninggal Bu Lek Tresno. Pikirannya kemudian melayang kembali pada sosok Ami.
“Dengan adanya anak-anak itu mereka tidak pernah kesepian. Anak-anak dan cucu-cucu Pak Lek Tresno tinggal diluar jawa jadi mereka jarang sekali bertemu,” kata Khaerani “Terima kasih kamu mau membantu Pak Lek Tresno mewujudkan taman bacaan ini.”
Bagas tersenyum. “Aku hanya bisa membantu ala kadarnya dan apa yang aku bisa bantu. Kamu mungkin yang telah banyak membantu dan pasti telah bersusah payah mengumpulkan buku-buku itu,” katanya sambil menunjuk tumpukan buku yang nampak belum tertata rapi.
“Tidak juga. Aku hanya meminta kepada teman-teman dan orang-orang yang aku kenal. Siapa tahu mereka mempunyai buku-buku yang sudah mereka tidak baca lagi.” Khaerani tersenyum
“Melihat Pak Lek Tresno, anak-anak itu, juga kamu. Aku menjadi teringat dengan salah seorang temanku.”
“Kenapa memangnya?”
“Temanku itu sangat peduli dengan pendidikan anak-anak. Terutama anak-anak daerah terpencil. Juga sangat peduli dengan orang-orang yang terpinggirkan.”
“Oh ya. Baik sekali temanmu itu.”
 “Yah. Sangat baik. Sampai-sampai dia tidak mempedulikan kebahagiannya sendiri.”
“Wah, hebat sekali dia. Jangan-jangan dia itu seorang malaikat?” Bagas tersenyum. “Yah, mungkin malaikat bagi anak-anak dan orang itu,” benaknya berkata. Kemenakan Pak Said itu kemudian bercerita tentang temannya yang tidak lain adalah Ami.
“Temanmu itu benar-benar baik dan hebat. Pergi ke daerah-daerah terpencil membantu anak-anak dan orang-orang yang membutuhkan. Sekarang dia ada dimana?”
Bagas menggelengkan kepalanya “Aku tidak tahu. Komunikasi kami terputus terakhir ketemu sekitar satu tahun yang lalu.”
Keduanya kemudian terdiam, hanya terdengar seorang anak yang sedang berusaha nembang jawa dengan baik yang dituntun oleh Pak Lek Tresno.
“Apa kamu tidak ingin seperti temanku itu, Ran?” kata Bagas kemudian.
Khaerani tersenyum. “Suatu kebahagiaan yang tidak bisa tergambarkan jika bisa menolong sesama. Siapa yang tidak ingin seperti itu.”
“Bahkan sampai kamu harus meninggalkan kebahagianmu?”
 Khaerani kembali tersenyum sambil mengambil buku-buku dari kardus yang dibawanya. “Mungkin menurut temanmu itu, meninggalkan kebahagiannya itulah yang membuatnya bahagia.”
“Dengan mengorbankan juga kebahagiaan orang lain, orang yang sangat disayanginya?”

Khaerani mengernyitkan dahinya. “Maksudnya apa?”
“Ah, tidak apa-apa. Terus, apa yang membuatmu bahagia?”
Khaerani tersenyum. “Melihat matahari pagi bersinar cerah, hijaunya bukit, suburnya tanah, beningnya air sungai yang mengalir dan senyuman bahagia orang-orang yang aku kenal dan aku sayangi. Dengan semua itu membuat tenang dan damai disini,” katanya sambil menunjuk dadanya. “Dengan adanya ketenangan dan kedamaian maka kita bisa berpikir jernih dan dapat melakukan apa yang kita inginkan. Kalau kamu?”
Bagas tertawa kecil. “Melihatmu tersenyum!”
Khaerani terdiam. Bangkit dari duduknya dan berjalan  memindahkan buku-buku yang baru saja diambilnya dari kardus ke meja lain yang berisi tumpukan buku-buku, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. “Tidak lucu!” katanya kemudian.
Bagas tertawa. “Memangnya siapa yang melucu?” Khaerani memasang wajah cemberut. “Hei! Aku bercanda! Kenapa kamu jadi cemberut begitu. Baiklah. Kamu ingin tahu apa yang membuatku bahagia? Anak-anak itu.” Bagas menunjuk anak-anak yang sedang berlatih bersama Pak Lek Tresno tersebut. “Aku merasa bahagia ketika melihat mereka bermain, becanda, tersenyum dan tertawa.”
“Kenapa?” Khaerani akhirnya kembali berbicara.
“Karena ada kejujuran, kedamaian dan kebahagiaan disana.” Bagas mengambil dan meneguk minuman yang telah disediakan oleh Bu Lek Tresno. Tapi, ngomong-ngomong. Setiap kali aku kesini, aku tidak melihat Amir,” kata Bagas setelah meletakkan gelas minumannya kembali.
“Anak itu lebih suka main bola di lapangan. Padal Bapak dan simbahnya ingin sekali Amir bisa menabuh gamelan. Tapi namanya juga anak kecil. Kalau dipaksakan malah nantinya berakibat tidak baik, jadi ya dibiarkan saja. Mungkin kalau sudah besar nanti pikirannya berubah.” Bagas tersenyum. “Sekarang ini dia ingin sekali menjadi pemain bola  seperti idolanya, Bambang Pamungkas.’
“Oh ya!”
“Yah begitulah.” Khaerani tersenyum.
Beberapa saat kemudian anak-anak selesai latihan dan mulai membubarkan diri. Begitu juga dengan Khaerani dan Bagas. Mereka permisi pulang kepada Pak Lek dan Bu Lek Tresno setelah merapikan buku-buku yang dibawanya.
“Kamu sudah tidak marah lagi?” kata Bagas kepada Khaerani ketika mereka keluar dari sanggar.
“Marah kenapa?”
“Perkataanku atas sikapmu terhadap Bu Said waktu itu.” Khaerani terdiam. “Diam berarti iya.”
“Aku sudah melupakannya.”
“Berarti kamu tidak perlu kuatir kalau bertemu denganku, kan?” Bagas tertawa. Khaerani tidak menjawab. Menghela nafas dan berjalan ke teempat sepedanya. “Tidak mau pulang bareng denganku?”
“Apa kamu tidak melihat aku bawa sepeda!”
“Sepedamu bisa ditaruh dibelakang mobil.”
“Tidak! Terima kasih.” Khaerani langsung menaiki sepeda dan mengayuhnya meninggalkan halaman sanggar sedangkan Bagas tersenyum sambil masuk kedalam mobilnya, yang tidak lama kemudian juga meninggalkan halaman sanggar.
***
 
Malam hari. Dikamarnya Khaerani duduk merenung. “Ya Tuhan, kenapa aku merasa sangat senang ketika berada didekatnya? Dia baik, sangat baik. Perhatian terhadap siapa pun. Orang-orang desa ini, anak-anak dan...aku. Yah, walaupun sikapnya kadang-kadang menyebalkan dan tidak berpikir panjang kalau berkata dan melakukan sesuatu. Aku ingin selalu bertemu dengannya? Dan, Bu Said! Tidak! Dia bukan anaknya Bu Said! Dia yang mengatakannya! Dia punya sikap dan keberanian yang sama dengan Bayu yang tidak dimiliki Bimo!”
***
Bagas tersenyum sambil berbaring dan menatap langit-langit kamarnya. “Dia unik, sederhana, pintar dan keras kepala. Aku sangat senang jika didekatnya,” benaknya. “Bayu sangat beruntung sekali bisa mendapatkan cintanya.”
***
(Selanjutnya bagaimana yaaaaaa......yuk baca bagian 24)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)