SANDYAKALA (Bagian 33)
33 Pernikahan Asti
Ada kegiatan pelatihan pengembangan
teknologi pertanian di pedesaan untuk para petani di balaidesa. Khaerani
mendapat pesanan makanan ringan untuk acara tersebut.
Saat mengantarkan pesanan, di balaidesa
bertemu dengan Pak Sofyan, seperti biasanya Sekdes itu menyapanya sambil
tersenyum tapi dengan nada biasa tidak dibuat lembut seperti sebelum-sebelumnya.
Khaerani merasa heran atas perubahan sikap Pak Sekdes tersebut, dan tiba-tiba
teringat ketika melihatnya sedang memboncengkan Marini. “Jangan-jangan Pak
Sofyan dengan Mbak Marini! Ah, masa bodoh. Bukan urusanku. Itu malah lebih baik
buatku juga buat Mbak Risma,” pikirnya tersenyum sendiri sambil berjalan keluar
dari balaidesa setelah mengantarkan pesanannya.
“Rani!” teriak seseorang.
Khaerani menoleh, dilihatnya Bagas
sedang berlari kecil mendekatinya. “Kamu Sedang apa disini?” tanyanya setelah Bagas
berdiri dihadapannya. Kemenakan Pak Said itu mengatakan kalau dia mengantar Pak
Lek-nya yang diundang dalam acara pelatihan tersebut.
“Kamu mau pulang, Ran?” tanya Bagas. Khaerani
mengangguk. “Jalan kaki?”
“Apa kamu melihat sepeda atau
motor?”
Bagas tersenyum. “Jadi, waktu kesini
bawa kardus-kardus makanan itu, kamu jalan kaki sendirian?” Khaerani mengatakan
waktu berangkat membonceng kakaknya,
Pram. “Lalu, Mas Pram mana?”
“Di dalam, sedang ikut kegiatan.”
“Tidak mengantarmu pulang?”
“Aku yang memintanya untuk tidak
mengantarkanku pulang. Lagipula jarak rumahku dan balaidesa juga tidak terlalu
jauh, karena aku tahu jalan tembusannya.”
“Kalau begitu, aku akan
mengantarkanmu.”
“Tidak usah, nanti kamu dicari Pak
Said.” Bagas tidak mengindahkan. Kemenakan
Pak Said itu langsung berlari ke parkiran sepeda motor di samping balaidesa. “Bagas!”
teriak Khaerani. Tetapi tidak dihiraukannya. “Aduuuh, bisa-bisa aku jadi berita
orang sedesa kalau orang-orang di dalam balasidesa tahu,” pikir Khaerani, kemudian melangkah keluar dari halaman
balaidesa.
Beberapa saat kemudian Bagas sudah
menyusulnya dengan sepeda motor. “Kenapa pergi?” tanyanya.
“Nanti apa kata orang kalau aku bonceng
kamu? Apalagi didalam ada Bapak, Mas Pram dan Pak Said!”
Bagas tertawa. “Kamu masih peduli apa
kata orang. Biarkan saja-lah, toh kita tidak berbuat sesuatu yang aneh!” Khaerani terdiam, dalam hati kecilnya
membenarkan apa yang baru saja dikatakan oleh Bagas. “Ayo! Naiklah!”
Khaerani akhirnya pulang dengan membonceng
Bagas, dalam hati merasa sangat senang ketika berada sangat dekat dengan
kemenakan Pak Said tersebut.
Bagas mengantarkan Khaerani sampai
dirumah.
“Mutiara cerita, kamu bertemu dengan
Bimo juga Ratna,” tanya Bagas ketika Khaerani turun dari motornya. Khaerani
mengangguk. “Bagaimana menurutmu?”
“Cantik, anggun dan kelihatan baik.
Sangat serasi dengan Bimo.”
Bagas memandang tajam Khaerani. “Bagaimana
perasaanmu?”
“Sebagai teman, aku turut senang,
jika akhirnya dia mendapatkan seseorang yng terbaik dalam hidupnya.”
“Terbaik menurut ibunya, tapi belum
tentu terbaik menurut Bimo!” kata Bagas.
“Hanya Bimo yang tahu dan memutuskan
apa dan mana yang terbaik buat dirinya!”
“Kamu tidak cemburu? Atau marah?”
Khaerani tertawa kecil. “Untuk apa?”
Sepupu Bimo itu tersenyum. “Baiklah
aku balik dulu ke balaidesa.” Bagas meninggalkan rumah Khaerani dan gadis itu
pun masuk ke rumah. Senyum tipis terlukis dibibirnya.
***
Hari minggu yang agak sedikit mendung,
Khaerani mengayuh sepedanya, baru saja dari tempat Asti untuk mengantarkan
kebaya yang sudah selesai dijahit oleh Kharisma. Dua minggu lagi Asti akan
melangsungkan pernikahannya.
“Kenapa Bagas tidak mengatakan kalau mau
pergi?” benak Khaerani sambil mengayuh sepedanya ketika baru saja bertemu
dengan dengan Mutiara di jalan dan mengatakan kalau Bagas pergi. Rasa kecewa
terbersit didalam hatinya.
Sebuah mobil melaju berlawanan arah
dengan Khaerani. “Bimo,” gumam Kharani lirih ketika mengetahui orang yang berada di
dalam mobil tersebut. Bimo yang duduk
dibelakang setir melihatnya, hingga sesaat pandangan mereka beradu. “Perempuan
yang duduk disampingnya itu, Ratna. Mereka mau kemana?” benak Khaerani, sebuah
perasaan aneh menjalar didadanya. “Ah, kenapa aku harus tahu? Bukan urusanku, dan
aku juga tidak berkepentingan dengan mereka.” Khaerani menghela nafasnya.
Sesampainya dirumah, Khaerani melihat
seseorang yang tidak diduganya. Pak Said nampak sedang asyik berbicara dengan
Bapak dibalai-balai depan rumah.
“Pak Said. Tidak menyangka bapak
kesini,” sapa Khaerani sambil tersenyum.
Pak Said tersenyum, dan mengatakan kalau
dia bertemu dengan Bapak di sawah, kemudian menawari bapak untuk bonceng sepeda
motornya. “Sekalian bapak main ke rumahmu, Ran. Sudah lama bapak tidak ngobrol
sama bapakmu. Ya kan, Mas Seno?” Bapak tersenyum. “Kamu sendiri, darimana Ran?”
Khaerani mengatakan kepergiannya, kemudian pamit untuk masuk kedalam.
“Sudah lama aku tidak main ke rumahmu,
Mas,” kata Pak Said kepada Bapak.
“Kamu itu kan sekarang sudah jadi
juragan besar, sudah tidak ada waktu buat main lagi,” jawab Bapak tersenyum
sambil mengambil secangkir teh yang telah disediakan Mak Lela. “Sudah jadi
bos!”
“Halah, Mas Seno bisa saja,” Pak
Said tersenyum. “Dulu, kita sering duduk berdua disini sambil mendengarkan
gending-gending jawa dan melihat anak-anak kita main di halaman.” Kenang Pak
Said. “Sekarang anak-anak kita sudah besar, tidak bisa diajak main lagi. Kalau Mas
Seno masih enak, ada cucu yang bisa diajak main. Lha aku, cucuku jauh. Sekarang
pasti tambah seneng lagi, ada cucu baru yang cantik dan lucu. Aku jadi iri
Mas.” Bapak hanya tertawa mendengar penuturan Pak Said. “Coba anak-anak kita
berjodoh ya Mas, pasti kita sudah jadi satu keluarga. Cucumu jadi cucuku. Tapi
sayang, mereka tidak ada yang berjodoh. Dulu, si Ayu ingin aku jodohkan dengan
Pram, tapi mereka punya pilihan sendiri-sendiri. Lha sekarang, sebenarnya aku
ingin sekali Khaerani berjodoh dengan Bimo. Tak lihat-lihat mereka sebenarnya
sangat cocok, apalagi mereka sudah berteman sejak kecil. Tapi, apa mau dikata.
Mereka tidak berjodoh juga. Bimo sebentar lagi mau ditunangkan dengan orang
lain.” Wajah Pak Said mengisyaratkan rasa kecewa sambil menghisap dalam-dalam
rokok kreteknya.
“Jodoh memang tidak bisa dipaksakan,
sudah ada yang mengatur,” kata Bapak sambil menunjuk keatas. “Oh ya,
kemenakanmu itu juga beberapa kali kesini.”
“Bagas?” Pak Said mengernyitkan
dahinya.
“Iya. Si Bagas. Ngomong-ngomong dia
itu kemenakan kamu yang mana?”
Pak Said tersenyum. “Bagas itu anak
keduanya Mas Perwiro, kakakku yang pertama.”
“Oooh, yang dulu tinggal di
Kalimantan itu?”
Pak Said mengangguk. “Iya, tapi
terakhirnya mereka pindah ke Semarang, sampai meninggal disana.”
Khaerani mendengar pembicaraan antara
Bapak dan Pak Said. “Jadi, Bimo akan segera bertunangan dengan bidan cantik
itu?” katanya lirih.
***
Khaerani bertemu dengan Mutiara,
ketika mereka berdua diundang dalam acara pengajian menjelang pernikahan Asti.
“Ran, ada salam dari Mas Bagas.” Mutiara
berbisik ditelinga Khaerani.
“Memangnya dia sekarang dimana?” tanya
Khaerani dengan sedikit malu-malu. Mutiara mengatakan kalau saat ini Bagas
masih berada di Jakarta mengurusi urusan pekerjaannya. Setelah dari Jakarta
akan pergi ke Semarang mengurus rumah peninggalan orang tuanya yang sebelumnya
ditempati oleh Ambar, kakaknya.
“Apa dia tidak akan kembali lagi?” tanya
Khaerani dengan hati-hati.
Mutiara tersenyum.“Kenapa? Kamu takut?”
“Aku hanya bertanya.” Wajah Khaerani
bersemu merah.
“Dia pasti akan kembali.”
“Semoga saja,” batin Khaerani. “Bagaimana
dengan Bimo? Aku dengar dia...” Khaerani mencoba megalihkan pembicaraan.
“Bertunangan dengan Ratna, maksud kamu?”
potong Mutiara. Khaerani mengangguk. Mutiara menghela nafas. “Sebetulnya ibu
ingin melamarnya untuk Mas Bimo. Tapi entah ada kekuatan darimana, sumur
hidupku, aku baru melihat Mas Bimo menolak keinginan ibu. Tentu saja ibu
terkejut, terjadilah perang dingin diantara mereka. Beberapa hari ibu tidak
mengajak Mas Bimo bicara. Akhirnya Mas Bimo menyerah, dan mau menuruti
keinginan ibu. Tapi tidak untuk lamaran secara resmi, Mas Bimo ingin
bertunangan dulu saja, dengan alasan masih banyak pekerjaan dan masalah-masalah
yang harus diselesaikannya yang membutuhkan segala tenaga dan pikirannya. Dan
akhirnya, ibu pun setuju.”
“Kapan mereka akan melakukan
pertunangan?”
“Waktunya belum pasti. Tapi yang
jelas, sebelum aku lamaran. Kenapa? Kamu merasa sedih, Ran?”
Khaerani tersenyum, “aku ikut senang
mendengarnya. Bimo akhirnya menemukan seseorang yang serasi dengannya.”
Mutiara tersenyum. “Aku tahu apa maksud
dari perkataanmu, Ran,” benaknya berkata. “Oh iya Ran, ngomong-ngomong, apa
kamu dan Mas Bagas sudah....” Mutiara mengaitkan kedua jari telunjuknya.
“Apa maksudnya?” tanya Khaerani.
“Pacaran,” kata Mutiara berbisik.
Khaerani mengernyitkan dahinya. “Ah,
kamu ada-ada saja, Mut. Kami baru saling mengenal.”
“Tapi, apa salahnya toh?” Mutiara
tersenyum.
***
Hari pernikahan Asti tiba. Asti
memakai kebaya putih cantik yang dijahit Kharisma, wajahnya yang cantik
bertambah semakin cantik dan anggun dengan riasan sederhana, begitu juga dengan
Baskoro, calon suaminya yang nampak begitu tampan dengan setelan jas berwarna hitam,
kemeja putih, dasi hitam bercorak dan peci hitam. Sangat serasi dengan Asti.
Kedatangan mempelai laki-laki disambut dengan iringan rebana. Akad nikah pun berjalan
lancar dan khidmat.
Setelah akad nikah, langsung diadakan
resepsi sederhana dengan mengundang saudara, tetangga dan teman dekat. Walaupun
hanya sebuah pesta kecil tapi cukup ramai dan meriah. Khaerani dan teman-teman
Asti lainnya datang dan turut berbahagia.
Ditengah acara, Mutiara datang bersama
dengan Bimo juga Ratna. Sebagian tamu undangan nampak memperhatikan Ratna yang
berjalan disamping Bimo dengan tatapan tanda tanya. Bisik-bisik pun terdengar
diantara mereka.
“Siapa wanita cantik yang berjalan
dengan Bimo, anaknya Pak Said?”
“Hei itu bukannya bidan Rata dari desa
tetangga?”
“Ooh jadi itu calon menanatunya Bu
Said.”
“Wah, Bu Said memang pintar mencarikan
jodoh untuk anaknya ya.”
“Siapa perempuan yang berjalan
disamping Bimo itu, Ran?” Riena berbisik kepada Khaerani yang sedang mengambil
makanan.
“Ratna,” jawab Khaerani.
“Kekasihnya Bimo?”
Khaerani mengangguk. “Tepatnya calon
istrinya!”
Riena nampak terkejut, tapi kemudian
tersenyum. “Dijodohkan sama ibunya?” tanyanya dengan berbisik. Khaerani
mengangkat kedua bahunya. “Orangnya cantik. Apa kamu pernah bertemu dengannya
sebelum ini Ran?” Khaerani mengangguk sambil berjalan mencari kursi kosong,
Riena berjalan mengikutinya. Pada saat itulah keduanya bertemu dengan Mutiara,
Bimo dan Ratna.
“Hei, kalian sudah duluan disini?” sapa
Mutiara kepada Khaerani dan Riena. Begitu juga dengan Bimo, sesaat kakak
Mutiara tersebut menatap tajam Khaerani, dan terlihat oleh Riena.
“Hei, ketemu lagi,” sapa Ratna
kepada Khaerani sambil tersenyum. Khaerani pun membalasnya dengan senyuman dan
memperkenalkan Riena. Kemudian Mutiara, Bimo dan Ratna permisi pergi ke
pelaminan untuk menyalami pasangan pengantin yang sedang berbahagia.
“Rani. Apa kamu tidak sadar waktu
Bimo menatapmu!” ucap Riena.
“Kamu ngomong apa sih, Rien? Apa kamu
tidak melihat, calon istrinya ada disampingnya?” jawab Khaerani.
“Ah, itu kan calon istri yang
dipilihkan ibunya! Bukan pilihan Bimo. Perasaanku mengatakan, kalau Bimo masih
menyukaimu.”
“Jangan ngelantur, kamu Rien. Disini
sedang banyak orang, nanti kalau ada yang mendengar, bisa jagi gosip satu
kampung!”
Riena tertawa. “Tapi
ngomong-ngomong, dimana sepupu Bimo yang ganteng itu? Kok tidak kelihatan?”
“Lha, kok tanyanya ke aku. Tanya
saja ke saudaranya!” kata Khaerani sedikit ketus sambil bangkit berdiri dengan
wajah sedikit cemberut membuat Riena merasa heran dengan sikapnya.
“Eh, Ran. Kamu mau kemana?”
“Mau makan di belakang!”
“Aku ikut!” Riena mengikuti Khaerani
menuju belakang.
***
(Mau tahu kelanjutannya? Baca Bagian 34 yaaaa.......)
Komentar
Posting Komentar