SANDYAKALA (Bagian 28)



28  Makam

Bimo mengajak Bagas pergi dengan mobilnya, pada hari libur.
“Kita sebenarnya mau kemana Bim?”
            “Ke suatu tempat.”
            “Iya, suatu tempat! Tapi tempat apa dan dimana?”
                Bimo tertawa. “Pokoknya ke suatu tempat. Tenang saja, aku tidak akan membawamu ke tempat yang aneh-aneh!” Bagas tertawa mendengar perkataan sepupunya tersebut.     
“Oh iya Bim, bagaimana ceritanya setelah kamu bertemu dengan keluarga Pak Haji Suryo waktu itu?”
“Biasa saja. Cuma silaturahmi!” jawab Bimo dengan nada datar.
            “Ketemu dengan bidan cantik itu?” Bagas tersenyum.
            “Begitulah!”
            “Jadi, beneran, kalian mau dijodohkan?”
            “Aku tidak tahu! Jangan tanya aku! Aku kan cuma ngantar bapak sama ibu saja!”
            Bagas tertawa. “Bimo...Bimo..kamu jangan pura-pura tidak mengerti maksud dari bapak dan ibumu itu! Pada intinya, mereka ingin menjodohkan kamu dengan bidan itu.” Bimo terdiam. “Menurut aku. Kamu tidak usah resah begitu. Kalau kamu suka bilang saja, iya! Kalau kamu tidak suka dan tidak mau dengan perjodohan itu, bilang saja, tidak! Gampang kan? Kamu itu laki-laki dewasa yang sudah bisa memutuskan nasib dan kehidupanmu sendiri.”
            “Sudahlah! Aku sedang tidak mau membahas soal itu!”
            Bagas kembali tertawa sambil melirik kearah Bimo yang wajahnya nampak menegang.
***
            Setelah melewati sebuah jalan, Bagas akhirnya mengingat sesuatu. “Sepertinya aku pernah melewati jalan ini!” pikirnya dan mencoba mengingat-ingat. “Hei! Bukannya jalan ini yang dulu aku lalui bersama Mutiara, ketika sedang membuntuti Khaerani!” Bagas akhirnya mengingat, sambil memperhatikan jalan dari balik kaca pintu mobil.
            “Ada apa Gas?” tanya Bimo ketika melihat sepupunya nampak memperhatikan jalan.
            “Rasanya, aku pernah melewati jalan ini!”
            “Oh yah? Kapan? Dan mau kemana?”
            “Aku tidak ingat! Mungkin waktu itu aku kesasar, maklum orang baru!” Bagas tertawa dan berbohong kepada Bimo. “Yah, ini adalah jalan yang menuju makam kekasihnya Khaerani!” benaknya ketika Bimo membelokkan mobilnya ke sebuah jalan yang lebih sempit, yang kemudian berhenti di depan sebuah pemakaman umum.
            “Jadi, suatu tempat yang kamu maksud itu, pemakaman umum!” Bimo mengangguk. Bagas nampak memperhatikan ke sekeliling. “Mau apa kita ke pemakaman umum ini?”
            “Ya, ziarahlah, masa shopping!” Bimo mengajak Bagas membeli bunga dipenjual bunga makam diseberang jalan pemakaman.
            “Kita mau ziarah ke makam siapa?” Bagas memancing Bimo, yang sebenarnya dia sudah tahu kalau makam Bayu-lah yang akan mereka tuju.
            “Makam Bayu! Kamu tahu dia kan? Mutiara pasti sudah cerita!”
            “Ya. Dia adalah sahabat kamu, yang juga kekasih Rani, teman kecilmu yang sangat kamu sukai, tapi tidak pernah kamu ungkapkan!” Bagas tersenyum. Bimo tiak menghiraukan kata-kata sepupunya. Dia kembali menyeberang jalan setelah membeli bunga untuk makam. Bagas mengikutiya dari belakang. “Sebenarnya untuk apa kita ke makam Bayu?” tanya Bagas.
            “Hari ini adalah hari kematian Bayu tiga tahun yang lalu. Dan aku ingin menunjukkan ke kamu, orang yang pernah sangat dicintai oleh Rani!”
Bagas tersenyum. “Apalah artinya, Bim? Bayu sudah meninggal. Apa yang akan kamu tunjukkan? Toh, aku sudah tahu semuanya. Atau, kamu akan mengatakan diatas makam Bayu ‘Bagas, yang Rani sukai dan cintai adalah Bayu, orang yang terbaring abadi disini, bukan aku atau pun kamu’ begitu maksud kamu? Atau kamu akan mengatakan kepadaku, juga Bayu, kalau kamu akan memenuhi permintaan terakhirnya, untuk menjaga Rani, yang selama ini belum kamu penuhi? Kalau itu yang kamu inginkan, tunjukkan dan buktikan padaku!” Bimo tidak menjawab. Menatap tajam Bagas sesaat sambil terus melangkah masuk ke gerbang pemakaman umum tersebut. “Baiklah! Kalau kamu tetap diam seperti itu, Bim! Jangan salahkan aku, kalau aku akan berjuang untuk hatinya!” pikir Bagas, kemudian mengikuti Bimo yang sudah masuk kedalam area pemakaman.
“Sudah bicaranya!” kata Bimo.
“Percuma ngomong sama kamu! Sebenarnya apa sih, isi otak dan hatimu itu, Bim?!” tegas Bagas. Tiba-tiba Bimo menghentikan langkahnya. “Kenapa berhenti? Apa ini tempatnya? Tapi yang mana? Aku tidak melihat nama Bayu di sini?” Bagas ikut berhenti dan memperhatikan beberapa makam di sekeliling mereka, tapi kemudian Bimo melangkah lagi. “Lho Bim, bukan disini? Terus, kenapa kamu berhenti?”
            Setelah beberapa saat akhirnya Bimo dan Bagas sampai dimakam Bayu. Di makam tersebut mereka melihat seorang perempuan yang sangat mereka kenal sedang berdoa. Perempuan berkerudung biru tua yang telah selesai bedoa itu nampak terkejut ketika melihat kedatangan dua laki-laki itu.
“Sudah lama, Ran?” tanya Bimo.
Perempuan yang tidak lain adalah Khaerani itu mengangguk. “Aku sudah selesai berdoa, sekarang aku mau pulang. Silakan kalau kalian akan berdoa. Khaerani bermaksud melangkah pergi, tapi tiba-tiba Bagas menarik tangannya.
 “Kenapa tidak menunggu kami saja, biar bisa pulang bersama? Toh, kami tidak akan lama. Betulkan Bim?”
            “Iya,” jawab Bimo sambil memperhatikan pegangan tangan Bagas terhadap tangan Khaerani.
“Terima kasih. Aku bisa pulang sendiri, kata Khaerani sambil berusaha melepaskan pegangan tangan Bagas, karena menyadari Bimo memperhatikannya.
Khaerani melangkah kembali setelah Bagas melepaskan pegangan tangannya. Tapi baru dua langkah, tiba-tiba berhenti. Khaerani nampak terkejut oleh kedatangan dua orang wanita yang sedang berjalan ke arahnya, ke makam Bayu. Begitu juga dengan Bimo. Bagas hanya diam dan berusaha menebak siapa dua wanita yang baru saja datang tersebut yang membuat Khaerani dan Bimo terkejut. Apalagi Khaerani yang wajahnya berubah tegang dan sedikit menundukkan kepalanya. “Apa wanita ini...benaknya sambil memperhatikan wanita berkerudung hitam dengan renda-renda dipinggirnya yang baru datang tersebut dan nampak jauh lebih tua dibanding wanita satunya lagi yang juga memakai kerudung hitam namun tidak berenda.
            “Kalian sudah lama disini?” kata wanita yang lebih tua itu kepada Bimo dan Khaerani, dan mengangguk kecil sambil tersenyum tipis kepada Bagas.
Khaerani menjawab kalau dia baru saja akan pulang dan Bimo menjawab baru saja datang. Bimo kemudian berbisik kepada Bagas kalau wanita yang lebih tua itu adalah ibunya Bayu sedangkan yang satunya lagi kakak Bayu.
            Wanita yang lebih tua itu mendekati Khaerani. “Rani, ibu minta kamu jangan pulang dulu, tunggu ibu, ada yang ingin ibu bicarakan sama kamu.”
            “Iya Bu.”

Bagas dan Bimo memperhatikan Khaerani yang wajahnya tampak tegang.  Bagas, Bimo, ibunya Bayu juga kakak Bayu kemudian berdoa diatas makam Bayu setelah menaburkan bunga.
***
            “Kamu bisa ikut ke rumah ibu. Ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan sama kamu?” kata ibunya Bayu kepada Khaerani setelah selesai berdoa.
“Bisa Bu,” jawab Khaerani dengan wajah yang semakin tegang. Kemudian berjalan mengikuti ibu dan kakak Bayu.
            Bagas yang bediri disamping Bimo tiba-tiba berlari kearah Khaerani. “Bagas!” Bimo berusaha menghentikannya.
“Rani!” teriak Bagas hingga membuat gadis itu menghentikan langkahnya. “Kamu serius, akan ikut kerumahnya Bayu?”
            “Memangnya kenapa?”
Bagas terdiam.
            “Rani, ibu tunggu kamu dimobil!” panggil ibunya Bayu yang sudah berjalan mendahului.”
            “Aku sudah ditunggu!” Khaerani kembali melangkah, sedangkan Bagas masih diam berdiri, tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Bimo berjalan mendekati Bagas dan mengajaknya untuk pulang.
            “Kamu tidak mencegahnya, Bim?”
            “Untuk apa? Apa salahnya ibunya Bayu berbicara dengan Rani?”
            Bagas menghela nafasnya. Kemudian keduanya pergi meninggalkan makam Bayu.
***
             “Bagaimana kabar kamu, Ran. Sudah lama kita tidak bertemu ya?” kata kakak Bayu dalam perjalanan pulang dengan mobil, yang duduk di depan di samping sopir. Sedangkan Khaerani duduk di belakangnya bersama ibunya Bayu.
“Baik, Mbak.”
            “Kamu sudah menikah?” tanya ibunya Bayu tiba-tiba.
“Belum Bu,” jawab Khaerani dengan sedikit malu.
            “Kenapa? Kamu sudah pantas menikah dan mempunyai anak.”
            “Mungkin, Tuhan belum mengizinkan dan menunjukkan jodoh untuk saya, Bu.”
            “Apa karena Bayu?” Khaerani terdiam. “Bayu sudah tidak ada, kamu harus melanjutkan hidup kamu Rani, berkeluarga, punya anak, punya kehdupan bahagia sebagaimana semua orang dambakan.”
            “Apa kamu punya kekasih?” tanya kakaknya Bayu sambil tersenyum. Khaerani tersenyum. “Apa kamu dengan Bimo....”
            “Saya dan Bimo hanya berteman.”
            “Atau laki-laki tadi, yang memanggil kamu, itu pacar kamu?” timpal ibunya Bayu.
            “Bukan, itu sepupunya Bimo, namanya Bagas.”
            “Orangnya lumayan ganteng. Melihat sikap dan bahasa tubuhnya ketika melihat dan berhadapan dengan kamu tadi, kayaknya dia suka sama kamu,” kata kakaknya Bayu  sambil tersenyum.
            “Mbak bisa saja, kami baru saling mengenal.” Khaerani nampak malu-malu.
***
            “Apa yang ingin disampaikan ibunya Bayu sama Rani ya?” kata Bagas ketika dalam perjalanan pulang dari makam Bayu bersama Bimo.
“Entahlah. Tapi aku bersyukur, kelihatannya sikap ibunya Bayu sudah berubah terhadap Rani.” Bimo berkata sambil menyetir mobil.
Bagas dan Bimo kemudian terdiam.
            “Apa kamu akan berhenti menyukai Rani, kalau aku mengatakan aku memang menyukainya!” kata Bimo tiba-tiba, membuat Bagas terkejut mendengarnya.
“Apa! Apa aku tidak salah dengar?” Bagas kemudian tertawa. “Hei! Kamu pasti berpikir, aku mengatakan menyukai Rani adalah hanya untuk membuatmu cemburu atau mengujimu? Kalau kamu berpikir seperti itu, kamu salah, Bim! Aku bukan orang seperti itu! Aku menyukai Rani, karena memang aku meyukainya. Tidak ada alasan apa pun!”
 Bimo menoleh dan memandang tajam sepupunya yang duduk disampingnya. Kemudian kembali perhatiannya dialihkan kedepan. “Bagaimana kalau Rani tidak menyukaimu? Atau menolakmu. Seperti waktu Ami menolak lamaranmu?” katanya kemudian.
Bagas tertawa. “Menyukai aku atau tidak, itu hak dia, Bim! Yang penting aku benar-benar dan bersungguh-sungguh menyukainya. Dan perlu kamu tahu, aku akan memperjuangkannya! Kalau urusan ditolak atau diterima, itu urusan nanti!”
            “Kau menyindirku?”
            “Menyindir? Siapa menyindir siapa? Aku tidak merasa menyindir siapa pun! Aku menyukainya. Aku tidak peduli jika kau juga menyukainya, itu adalah urusan dan hak kamu, Bim! Kalau memang benar kamu menyukainya, tunjukkan dan buktikan! Tapi perlu kamu ingat, aku tidak akan menyerah meskipun kamu adalah sepupuku! Pada akhirnya siapa yang Rani sukai, itu urasan nanti!” Bagas tersenyum.
            “Kamu memang gila!”
            “Tapi perlu kamu ingat satu lagi, Bim! Aku tidak akan memaksamu untuk membuktikan rasa suka dan cintamu itu. Tapi tunjukkan dan buktikan pada diri kamu sendiri!” Bimo terdiam.“Hidup didunia ini sudah susah, jangan dibuat susah dan repot lagi untuk urusan yang sebenarnya tidak sudah dan tidak repot!” Bagas tertawa.
Mobil yang mereka tumpangi terus melaju.
            “Oh iya Bim. Ada satu lagi yang aku ingin tanyakan.”
            “Apa lagi?”
            “Kenapa tadi waktu berjalan di pemakaman kamu tiba-tiba berhenti?”
            Bimo menghela nafasnya dalam-dalam. “Aku melihat bayangan Bayu!”
            “Apa! Serius! Jangan becanda kamu, Bim!”
            Bimo mengangguk. “Apa aku pernah berbohong?”
***

(Lanjut yaaaa ke Bagian 29)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)