Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 28)
28.
Semakin sepi
Sesampainya
di kampung nelayan, Wulan langsung duduk di bangku kaya di bawah pohon kelapa
depan rumah Kakek. Raut sedih terlihat di wajahnya, matanya berkaca-kaca. Dia teringat,
bagaimana tangisan Mama dan Lintang pecah saat dokter yang menangani Taufan
keluar dari pintu ruang UGD dan meminta maaf kalau mereka sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk menolong Taufan, namun
ternyata Tuhan berkehendak lain. Sekar nampak berusaha menguasai diri, namun
ternyata tidak sanggup, tangisnya pun pecah. Terdengar gadis cantik itu
menyebutkan kata cinta kepada Taufan. Wulan yang juga tak sanggup menahan
tangisnya merangkul Sekar yang nampak limbung.
“Siapa
yang namanya Baruna?” Dokter tersebut bertanya. “Dia sempat menyebutkan nama
itu.”
Wulan
yang sedang merangkul Sekar terkejut, lalu mengatakan kalau Baruna adalah teman
Taufan yang sudah meninggal.
“Baruna?” gumamnya, kemudian teringat cerita
mimpi-mimpi Taufan tentang Baruna. “Jadi, akhirnya kamu ikut pergi dengan
Baruna, Fan?”
“Bagaimana
keadaan Taufan?” Suara Syamsul membuyarkan lamunan Wulan. Dilihatnya, ayahnya berdiri
disampingnya bersama dengan Kakek. Tanpa berkata-kata Wulan langsung memeluk
ayahnya, tangisnya pecah. “Taufan Yah.
Taufan Kek!” Dengan sikap Wulan tersebut, Syamsul dan Kakek langsung mengerti
apa yang telah terjadi dengan Taufan. “Dia memang anak bodoh! Sakitnya
dibiarkan saja!” Wulan berkata dalam tangisnya. “Kenapa aku harus bertemu dan
berteman dengan mereka Pak! Berteman dengan dua orang bodoh!” Syamsul membelai
rambut putrinya, sedangkan Kakek membelai punggungnya.
“Itu
sudah rencana Tuhan. Kamu bertemu dan berteman dengan mereka.”
“Bodoh!
Bodoh! Bodoh!”
***
Hari menjelang malam, kesedihan
menyelimuti kediaman Taufan, tak terkecuali Asri, Pak
Dirman, tetangga dan teman-teman
Taufan. Seorang laki-laki dengan membawa ransel nampak bingung ketika melihat
keramaian di depan rumah. Lalu dengan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah
tersebut. Orang-orang memperhatikannya. Laki-laki itu menghentikan langkahnya
didepan jenazah Taufan yang terbujur kaku di ruang tengah. Wajahnya menegang
dan menatap tidak percaya wajah laki-laki yang terbaring diam di depannya.
“Taufan!” Teriaknya, menjatuhkan ranselnya lalu bersimpuh dan memeluk Taufan.
“Kenapa harus seperti ini Fan!” Dia pun menangis.
“Badai!” Mama yang baru keluar kamar
berteriak ketika melihat laki-laki itu.
“Mama!” Laki-laki yang tidak lain
adalah Badai, kakak Taufan bangkit berlari kearah Mama dan memeluknya dengan erat. Tangis Mama kembali
pecah. Begitu juga dengan Lintang yang mendekat bersama Bayu, tangisnya pecah
di pelukan kakaknya. Lintang menanyakan bagaimana kakaknya itu pulang pada
waktu yang bersamaan dengan meninggalnya Taufan. Badai kemudian bercerita kalau
jumat malam dia menelpon ke rumah dan yang mengangkat adalah Asri, waktu itu
dia sedang berada kota kabupaten. Asri menceritakan tentang Taufan yang masuk
ke rumah sakit. Dia mempunyai perasaan tidak enak. Maka saat itu juga dia
memutuskan untuk pulang. Siang hari, dia baru mendapatkan tiket pesawat. Badai kemudian
menanyakan tentang Papa.
“Papa
ada di teras belakang. sejak kembali dari
rumah sakit Papa hanya berdiam diri, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya,”
ungkap Bayu.
“Aku akan menemuinya!” Badai
berjalan ke belakang rumah, dia bertemu dengan Sekar yang baru saja pamit
dengan Papa.
“Mas Badai!”
“Sekar.”
Sekar tidak dapat menahan tangisnya
lagi, Badai memeluknya dengan erat, Dia tahu betul bagaimana hubungan gadis
cantik tersebut dengan adiknya.
“Maafkan Taufan,
Kar. Mungkin dia sudah menyakitimu selama ini,” ucap Badai sambil melepaskan
pelukannya. Dia menyuruh Sekar untuk bersabar dan ikhlas atas
kepergian Taufan, karena semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Sekar
mengangguk, kemudian pergi meninggalkan Badai.
***
Badai melihat Papa sedang duduk seorang diri,
menatap ke depan dengan pandangan mata kosong.
“Pa,” sapa Badai. Papa menoleh, raut
terkejut terlihat di wajahnya. Namun hanya menoleh sebentar lalu kembali
menatap kedepan. Dengan perlahan Badai mendekatinya.
“Kamu ingat pulang!” Papa akhirnya
membuka suara. Badai menghela nafasnya, dia teringat pertengkaran besar dengan
Papa sebelum akhirnya dia pergi dari rumah. “Apa kamu akan pulang kalau adikmu
tidak meninggal?!”
“Pa! Aku tidak tahu kalau Taufan…”
Badai tidak melanjutkan kata-katanya.
“Adikmu memang benar-benar bodoh!
Kenapa dia tidak tahu kalau punya penyakit seperti itu!”
“Papa yang tidak mau tahu! Papa
tidak pernah memperhatikan dia!” tukas Badai. Papa
menoleh dan menatapnya dengan tajam.
“Papa hanya mau tahu keinginan-keinginan dan ambisi Papa yang harus tercapai!”
“Kamu menyalahkan Papa atas
kepergian Taufan!” Badai terdiam. “Jika saja kamu tidak pergi dengan membawa
cita-citamu! Mungkin dia tidak akan menjadi seorang pemberontak yang berakhir
seperti ini!” Mata Papa berkaca-kaca.
“Dan jika saja Papa tidak memaksakan
kehendaknya pada anak-anak Papa!”
“Kalau tidak kalian, siapa yang akan
meneruskan usaha yang telah Papa kerjakan dari nol hingga menjadi besar seperti
sekarang ini!”
“Masih ada Bayu dan Om Burhan, adik
Papa! Mereka orang-orang baik dan pintar! Mereka lebih cocok meneruskan dan
menjalankan usaha Papa daripada aku atau Taufan! Apa sampai sekarang Papa
menganggap mereka sebagai orang lain?!” Papa terdiam. “Kenapa Papa tidak
membiarkan kami berjalan di jalan kami? Toh selama ini, tanpa ada kami, usaha
Papa berjalan dengan lancar bahkan maju. Hal yang mungkin tidak bisa kami
lakukan.”
Papa menghela nafasnya. “Papa tidak
tahu apa yang sebenarnya dalam otak kalian. Anak-anak lain begitu senangnya
dapat meneruskan segala cita dan usaha orang tuanya. Tidak kah kalian pernah
berpikir kalau kalian juga bisa seberuntung mereka. Hidup senang dengan segala
fasilitas yang ada. Lulus kuliah sudah dapat langsung bekerja dengan posisi
yang strategis, tanpa harus melamar pekerjaan kesana kemari, yang terkadang
tidak jelas? Jalan kalian sudah tersedia. Begitu dengan jodoh. Kalian tidak perlu
mencari jodoh yang terbaik, karena mereka sudah ada,”
nada suara Papa menurun.
“Karena kami adalah anak-anak Papa!
Papa yang mengajarkan pada kami untuk berjuang dalam hidup! Papa yang
mengajarkan kami untuk membuat bahagia orang lain! Papa yang mengajarkan kami
untuk mandiri! Papa yang mengajarkan kami untuk meraih apa yang kami
cita-citakan! Papa yang mengajarkan kami untuk menuruti hati!” Papa terdiam,
kemudian terdengar isaknya, air mata jatuh di kedua pipinya.
Badai
melangkah dan berlutut di depan Papa. “Kami menyayangi Papa!”
Papa
menangis. “Taufan mengatakan hal yang sama. Saat dia sadar dia mengatakan kalau
dia menyayangi Papa dan Mama dan meminta maaf untuk segalanya,” ujar Papa
diantara tangisnya. Badai memeluk Papa. “Papa hanya ingin melihat anak-anak Papa
bahagia, tidak menderita seperti Papa dan saudara-saudara Papa!”
“Kami
bahagia di jalan kami Pa!”
Mama yang
mendengar dibalik pintu belakanng menangis mendengar percakapan keduanya.
“Andai Taufan masih berada di sini. Dia pasti bahagia,” batin Mama.
***
Sekar pulang ke rumah. Gadis cantik itu menangis di
kamarnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau ciuman yang diberikannya kepada
Taufan adalah ciuman pertama dan terakhirnya.
Di
tempat lain, Wulan berdiri di atas dermaga kecil. Matanya memandang ke laut lepas yang gelap,
bayangan-bayangan Taufan dan Baruna memenuhi benaknya, hingga tak terasa
bulir-bulir air mata menetes di kedua pipinya.
Syamsul
yang akan berangkat melaut memandangi ruangan kapalnya. Dia teringat bagaimana Taufan dan Baruna ikut
kapalnya dan membantunya mencari ikan.
Kakek
sedang memandangi kamar yang pernah ditempati baik oleh Baruna dan Taufan. “Kalian
pergi dengan begitu cepat padahal kalian masih sangat muda,” ucap kakaek, lalu
pergi meninggalkan kamar tersebut.
***
Siang
hari yang sedikit berawan. Lima hari setelah Taufan
dimakamkan. Wulan
berdiri di pantai, matanya menatap jauh ketengah laut lepas. Masih segar dalam
ingatannya suasana pemakaman Taufan. Mama yang menangis dalam rangkulam Papa dan
laki-laki yang mirip Taufan, Lintang yang menangis dalam pelukan Bayu, Sekar
yang sebentar-sebentar mengusap air matanya. “Wulan?” seseorang menyebut
namanya. Gadis manis itu menoleh, dilihatnya seorang laki-laki berdiri
disampingnya. “Laki-laki ini yang memeluk mamanya Taufan saat di pemakaman,”
benaknya.
“Kamu
Wulan, temannya Taufan?” Wulan
menganggukkan kepala. “Aku Badai!”
“Jadi!
Kamu kakaknya Taufan?” Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu akhirnya pulang?”
“Taufan
pasti bercerita tentang aku?” Wulan mengangguk, melihat Badai mengingatkannya
pada Taufan, karena wajah mereka berdua mirip begitu juga dengan senyum dan
cara bicaranya. Hanya badan Badai lebih tegap dan kulit
yang lebih hitam. Badai mengatakan kalau dia sengaja menemuinya karena menurut
cerita Bayu, Taufan pingsan di pantai dan ditolong oleh temannya yang bernama
Wulan.
“Bagaimana
kamu tahu aku di sini?”
“Aku
tadi bertemu dengan serombongan anak SD, bertanya dimana
rumahmu. Mereka menunjukkan rumahmu, tapi mereka mengatakan kalau melihat kamu
sedang di pantai.” Keduanya terdiam sesaat ketika sebuah ombak pecah
dihadapan mereka. “Kamu sudah lama mengenal Taufan?” tanya Badai kemudian.
Wulan
menggeleng. “Hanya beberapa bulan terakhir.”
“Bagaimana
keadaan dia sebenarnya? Karena saat terakhir aku bertemu dengan Taufan, sebelum aku meninggalkan rumah, dia kelihatan sehat dan
baik-baik saja.” Setelah menghela nafasnya Wulan bercerita bagaimana dia
mengenal Taufan, pertemanannya dengan Baruna, bagaimana Baruna
meninggal hingga Taufan pingsan di pelukannya dan meninggal. “Jadi selain kamu,
ada Baruna yang menjadi teman dekat Taufan? Seberapa dekat pertemanan mereka
hingga membuat Taufan begitu kehilangan atas kepergiannya dan semangatnya
tiba-tiba menghilang?”
“Mereka
sangat dekat!”
“Melebihi
dari seorang teman biasa?!” ujar Badai. Wulan
memandangnya dengan penuh tanda tanya. “Aku mengenal siapa dan bagaimana adikku.”
“Jujur saja, aku tidak tahu hubungan mereka seperti apa,
karena mereka pun tidak tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan!” ungkap Wulan. Tapi, siapa pun, apa pun dan bagaimana
mereka, aku tidak peduli! Mereka adalah teman-temanku. Teman-teman terbaikku!
Aku menyayangi mereka berdua!” Nada suara Wulan meninggi, matanya berkaca-kaca.
“Aku bohong kalau aku membenci mereka, aku bohong kalau tidak mau mereka ada di
sini, aku bohong kalau aku tidak mau melihat mereka di pernikahanku kelak! Aku
mau mereka selalu ada di sini bersama kami!”
tangis Wulan pecah, badannya terguncang. Badai merangkul pundaknya dengan
lembut. “Kenapa satu-persatu dari mereka harus pergi?!
Tidak ada lagi dua laki-laki bodoh yang selalu meledek dan menggangguku, tidak
ada lagi lagi yang mendengarkan dengan serius ketika Kakek bercerita!”
“Mereka
sudah tenang di sana dan aku yakin, mereka pasti senang mempunyai teman
sepertimu.”
“Ketika
Baruna pergi, laut terasa sepi dan sekarang Taufan pun pergi, laut menjadi semakin
sepi!”
Setelah
Wulan tenang dan berhenti manangis, Badai memintanya
untuk melihat ke tempat dimana Taufan tinggal selama
berada di pantai dan bertemu dengan orang-orang yang pernah dikenalnya.
Wulan menuruti kemauan kakak laki-laki Taufan itu. Dia mengajak
Badai ke rumah Kakek, menceritakan bangku kayu di bawah di bawah pohon kelapa
dimana mereka berdua dan juga bertiga bersama Baruna sering bercengkerama dan
saling meledek, mengenalkan Kakek, menunjukkan kamar dimana Taufan tidur dan juga
menunjukkan lukisan dirinya dan Kakek hasil karya Taufan.
“Dia
pelukis yang hebat! Papamu terlalu egois, tidak mau tahu bakat besar anaknya!”
Badai tersenyum.
Setelah
dari rumah Kakek, wulan mengajak Badai ke rumahnya, mengenalkannya pada kedua
orang tuanya, memperlihatkan kapal
penangkap ikan milik ayahnya yang pernah membawa Taufan dan Baruna
menangkap ikan dimalam hari dan bertemu dengan orang-orang yang pernah mengenal
keduanya.
“Dia
bahagia di sini?” tanya Badai saat mereka berdiri di dermaga kecil.
“Aku
tidak tahu pasti. Tapi aku melihat ada perubahan
antara saat dia pertama datang dan setelah kami
berteman.”
“Kalian dan laut ini membuatnya bahagia.”
“Semoga saja begitu. Oh iya Taufan paling bersemangat jika bercerita tentangmu.
Dia
sangat memuja dan mengidolakanmu.” Badai tersenyum. Wulan kemudian menanyakan
tentang Papa dan Mama.
“Mereka
sangat terpukul. Terutama Papa.”
“Taufan
berusaha menuruti keinginan papanya. Selain tidak ingin melihat mamanya
menderita dan bersedih terus, juga karena nasihat dari Baruna.”
“Rupanya
Baruna berpengaruh banyak terhadap hidup Taufan.”
“Sepertinya
seperti itu.”
Badai
bercerita kalau dia menemukan baju bernoda darah dalam plastik di lemari
Taufan, dia menanyakan tentang
keberadaan baju tersebut dan Bayu menceritakan
tentang perkelahian Taufan dan Baruna dengan para preman pasar dan baju tersebut adalah baju Taufan yang terkena darah Baruna.
“Taufan menyimpannya?!” Wulan nampak tidak percaya. Badai mengatakan atas kehendaknya baju tersebut akhirya dia bakar.
“Lebih baik baik memang begitu,” ujar Wulan, lalu dia merogoh
saku celananya dan mengambil handphone milik Taufan. “Ini milik Taufan,
terjatuh saat dia pingsan. Aku lupa mengemabalikannya.”
Badai memandangi handphone yang berada di tangan
Wulan. “Simpanlah. Anggap saja sebagai kenangan dari Taufan dan aku bisa
menghubungimu dengan lebih mudah.” Badai tersenyum.
“Apa kamu akan pergi lagi?”
“Anak-anak
di daerah terpencil itu lebih membutuhkanku, daripada di Kota.”
Mereka
berdua terdiam, hujan rintik-rintik mulai jatuh. Suara ombak yang terbawa angin
terdengar lebih keras. Wulan merasakan ketenangan dan kedamaian ketika berada
disamping Badai.
***
Pameran
lukisan dibuka. Kosim memamerkan seluruh lukisan Taufan atas ijin keluarganya.
Pameran lukisan tersebut mendapat perhatian masyarkat dari segala kalangan,
terutama anak-anak muda saat akhir pekan. Lukisan mimpi Taufan banyak menyedot
perhatian pengunjung. Kosim sengaja memasangnya di tengah-tengah lukisan Baruna
dan Taufan. Pengunjung menanyakan tentang tiga lukisan yang membentuk sebuah
cerita itu. Kosim menjelaskannya bahwa lukisan itu tentang mimpi dan persahabatan
dua orang anak muda.
“Itu
kisah nyata Mas?” tanya seorang pengunjung laki-laki berseragam SMA yang datang
bersama rombongan teman-temannya.
“Ya, itu memang kisah nyata,” jawab
Kosim sambil terseyum.
“Jangan-jangan dua orang anak muda
yang dimaksud Mas ini, lukisan laki-laki yang berada di kanan dan kiri
lukisan-lukisan ini?” tebak teman perempuan anak laki-laki tersebut yang juga
memakai seragam SMA. Kosim membenarkannya dan salah satu dari mereka adalah
yang melukisnya.
“Serius Mas?” tanya yang lainnya,
tidak percaya.
“Lukisannya saja ganteng, gimana
aslinya ya? Apa bisa ketemu sama mereka?”
“Sayang sekali. Mereka sudah meninggal.”
“Waaaaah!” Jawaban serempak
terdengar dari anak-anak SMA itu. Terdengar
bisik-bisik diantara mereka. Salah seorang anak lainnya
bertanya apa Kosim mengenal kedua orang dalam lukisan tersebut dan bagaimana
wujud aslinya. Kosim pun dengan senang hati menggambarkan tentang Taufan dan
Baruna. Setelah puas mereka melanjutkan melihat-lihat lukisan
yang lainnya. Badai yang datang dalam pameran dan melihatnya hanya
tersenyum melihat kelakuan anak-anak SMA tersebut. Dia menghampiri Kosim.
Laki-laki setengah baya itu mengatakan kalau beberapa lukisan Taufan
sudah ada yang menawar.
“Kepada siapa aku harus menyerahkan
hasil penjualannya?” tanya Kosim.
“Ambil saja Mas.”
Kosim terkejut. “Bagaimana mungkin,
itu adalah hak Taufan.”
Badai tersenyum. “Karena itu adalah
hak Taufan. Maka aku berikan sama Mas Kosim. Buat modal membuat sanggar yang
lebih besar lagi.”
“Tapi ...”
“Tidak ada tapi-tapian, kalau Taufan
masih hidup pun, dia pasti akan melakukan hal yang sama.”
“Bagaimana dengan papa dan mamamu?”
“Mereka sudah menyetujui.”
“Aku tidak tahu harus berkata apa
kepada kalian.” Mata Kosim berkaca-kaca. “Aku akan mewujudkan keinginan
Taufan!” Badai tersenyum, keduanya saling berpelukan. Sementara itu seorang laki-laki sedang memperhatikan lukisan
bergambar Baruna dengan seksama. Dia adalah Ramadhan, om Baruna. Matanya nampak
berkaca-kaca.
***
(MAsih lanjut lho....Jangan lupa baca episode terakhirnnya yaaaaaaaaaaaaaaaaaa......................)
Komentar
Posting Komentar