Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 26)

26.        Bekerja


Taufan akhirnya mengikuti kemauan Papa dengan bekerja di kantornya. Faktor pendorong utamanya karena ingin melihat Mama senang dan bahagia, juga karena dia teringat nasihat Baruna yang mengatakan apa salahnya jika mengikuti kemauan Papa. Taufan satu ruangan dengan Bayu di kantor. Kakak iparnya tersebut dan juga Sekar membantunya.
Seminggu berlalu. Taufan yang bekerja tanpa semangat semakin merasa tidak betah dan tidak nyaman dengan dunia barunya tersebut.
“Aku tidak bisa bekerja seperti ini,” keluh Taufan pada Bayu.
“Belajar sedikit demi sediti Fan, nanti kamu juga akan bisa dan terbiasa.” Bayu mencoba memberikan semangat.
Taufan terbatuk. “Ini bukan duniaku, Mas. Jika aku terus di sini, pasti akan selalu merepotkan dan membuang waktumu, juga Sekar!”
Bayu menghela nafasnya. “Aku tahu Fan, ini bukan keinginanmu, tapi keinginan Papa. Kamu pasti melakukannya dengan terpaksa. Cobalah, setidaknya demi Mama, seperti yang kamu bilang.” Taufan kembali terbatuk sambil memegang dadanya. Bayu memperhatikannya. “Aku perhatikan kamu sering sekali batuk Sepertinya kamu tidak sehat, Fan. Apa kamu tidak sadar, kamu terlihat jauh lebih kurus?
 “Aku tidak apa-apa. Cuma kurang enak badan, Aku hanya sedikit lelah dan lemas.”
“Tapi Fan, sepertinya kamu memang sakit. Apa tidak sebaiknya kamu periksa ke dokter?”
“Tidak perlu. Aku hanya butuh istirahat saja, Mas. Kalau juga sakit, wajar Mas. Aku manusia biasa, bukan manusia super yang kebal terhadap penyakit.” Taufan tersenyum. Bayu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawabannya, kemudian dia menyuruhnya istirahat.  Taufan menurut, dia keluar ruangan.
“Kamu mau kemana, Fan?” tanya Sekar saat bertemu Taufan di depan ruangan Bayu.
“Aku akan keluar sebentar. Refreshing. Mas Bayu yang menyuruhku.”
“Keluar kemana?”
“Ke tempat dimana aku menemukan duniaku sendiri.” Taufan tersenyum lalu pergi.
“Semoga kamu tidak pergi untuk bertemu dengannya, Fan. Sudah cukup aku melihaat kalian berdua waktu itu. Dan itu menyakitkanku!” benak Sekar sambil memandang kepergian Taufan. Setelah Taufan tidak tampak lagi, dia masuk ruangan.
***
Setelah pergi dari kantor, Taufan langsung ke tempat Kosim. Di studio lukisnya dia memandang lukisan bergambar Baruna dan tiga lukisan mimpinya. “Bar, aku merindukan kehadiranmu. Aku ingin kita bermain di pantai lagi, bermotor berdua dan menangkap ikan di malam hari. Aku masih berhutang banyak padamu. Aku belum membayarnya!” Taufan menghela nafasnya. “Oh iya, aku mecoba mengikuti nasihatmu untuk menuruti kehendak Papa! Tapi aku tidak betah, bosan dan merasa tidak nyaman. Itu bukan duniaku.” Taufan memejamkan matanya dan menghela nafasnya. “Aku ingin bertemu lagi denganmu, Bar!” ungkapnya. Kemudian megambil kanvas kosong dan meletakannya di penyangganya. Tidak ada yang dilakukan Taufan dengan kanvas kosong tersebut. Dia hanya memandanginya. ”Apa yang harus aku lukis? Padahal aku ingin sekali melukis!” keluhnya, lalu berjalan menuju balai kecil di sudut ruangan, membaringkan badannya dan tidak terasa dia pun tertidur.
***
Kosim yang baru pulang mengajar geleng-geleng kepala ketika melihat Taufan yang sedang tertidur di balai kecil di dalam studio lukis. aufan mendengar kedatangannya, dia membuka mata dan menyapa Kosim, kemudian duduk dibalai.
“Kenapa kamu tidur di sini, bukankah ini masih jam kantor?” tanya Kosim.
“Aku tidak betah Mas, aku benar-benar tidak nyaman di kantor. Benar-benar bukan duniaku. Setengah hari di kantor rasanya seperti seabad di dalam penjara!”
Kosim tertawa. “Papamu tahu?” Taufan menggelengkan kepalanya. “Itu namanya kamu kembali menabuh genderang peperangan dengan papmu lagi, Fan.” Taufan mendengus. “Kamu mau melukis?” Kosim menunjuk kanvas kosong yang sudah terpasang di penyangganya.
“Aku ingin melukis, tapi aku tidak mempunyai ide sedikit pun. Kepalaku seperti kosong!” Taufan memegang kepala dengan kedua tangannya.
 “Bagaimana perkembangan pameran lukisannya, Mas?” tanya Taufan.
Kosim tersenyum. “Minggu besok pameran akan dilaksanakan di galeri kesenian.”
“Syukurlah, akhirnya pameran tersebut terlaksana juga setelah mundur beberapa kali.”
“Aku dan Dayat ingin lukisanmu juga diikutsertakan, Fan.”
Taufan tersenyum. “Terserah kalian saja.”
***
            Taufan pulang ke rumah menjelang malam, langsung masuk kamar dan tidak mempedulikan Papa yang memarahinya karena dianggap telah berbuat seenaknya sendiri dengan pergi dari kantor sebelum jam pulang kerja. Dia merasakan badannya sangat lemas dan dadanya terasa sesak.
            “Kamu seharusnya bersyukur bisa langsung kerja Fan! Lihat teman-temanmu? Belum tentu nasib mereka sebaik kamu!” teriak Papa.
            “Pa, jangan terlalu keras seperti itu! Belum ada sebulan dia bekerja. Biarkan dia menyesuaikan diri dan belajar sedikit-demi sedikit. Taufan sudah menuruti kemauan Papa, apa salahnya kalau Papa sedikit memberikan kelonggaran padanya. Jangan membuat dia semakin tertekan dan menderita. Apa Papa tidak melihat dia sepertinya kurang sehat? Dan tubuhnya semakin kurus?” Mama mencoba membela Taufan.
            “Itu salahnya sendiri Ma! Dia tidak mau menurut apa kata Papa selama ini! Penderitaan yang dibuat sendiri,” tukas Papa sambil pergi dan masuk ke kamar.
            Taufan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, terbatuk-batuk, dadanya terasa bertambah sesak dan sakit. Dia berteriak memanggil Asri untuk membawakannya segelas air putih hangat. Mama yang mendengar suara teriakan yang parau dan diselingi batuk-batuk langsung pergi ke kamarnya. Wanita cantik itu terkejut dan terlihat panik ketika melihat anak bungsunya sedang kesakitan memegangi dadanya dan sesak nafas. “Kamu kenapa Fan?  Kamu sakit?”
            Taufan menggeleng. “Hanya sesak nafas biasa, nanti juga sembuh.”
            “Badanmu panas, Fan!” Mama meraba kening Taufan.
            Asri masuk membawa segelas air putih hangat. Mama menyuruhnya mengambil handuk dan air hangat untuk mengompres. Taufan berusaha mengatur nafas dengan terus memegang dadanya. Setelah agak teratur Mama memberikan air hangat kepada Taufan. Anak bungsunya itu langsung menyesapnya.
            “Kita ke dokter Fan!” kata Mama sambil terus memegangi kening Taufan.
            “Tidak perlu Ma. Sebentar juga sembuh.” Taufan terbatuk-batuk.
“Batukmu belum sembuh-sembuh Fan?”
            “Tidak apa-apa Ma, ini hanya batuk biasa, tenggorokanku gatal!” Taufan memberi alasan, kemudian mengangkat tubuhnya, badannya menggigil.
            “Kamu menggigil Fan!” Mama bertambah kuatir. “Kamu harus ke dokter!”
            “Tidak Ma, aku hanya demam biasa. Mungkin hanya masuk angin dan terlalu capek!” Taufan kembali terbatuk.
            “Tapi Fan…”
            “Sudahlah Ma, tidak perlu kuatir. Aku hanya butuh istirahat.”
            “Bagaimana tidak kuatir melihat keadaanmu seperti ini. Apalagi semakin hari badanmu semakin terlihat semakin kurus!” Mama memegang tangan Taufan. “Kalau tidak, seenggaknya kamu minum obat!” Taufan menganggukkan kepalanya dengan pelan. Asri datang membawa air dan handuk kompres. Mama langsung mengompres dahi Taufan.
            “Terima kasih, Ma. Aku sayang sama Mama,” kata Taufan lirih. Mama tersenyum.
            Mama dengan telaten mengompres anak bungsunya tersebut dan menyuruhnya meminum obat turun panas. Taufan menurut. Tidak lama kemudian, dia pun tertidur. Setelah suhu badannya mulai normal dan sudah tidak menggigil lagi, Mama keluar kamar.
***
            “Selamat Fan, akhirnya kamu wisuda juga.” Baruna berkata sambil menjabat tangan Taufan.
            “Terima kasih. Sayang sekali kamu tidak menghadiri upacara wisudaku. Padahal aku ingin sekali kamu berada di sana. Akan aku katakan kepada semuanya, kalau tanpamu mungkin aku tidak akan memakai toga dan topi wisuda.”
            Baruna tertawa. “Kamu terlalu berlebihan. Itu juga berkat dirimu sendiri! Tanpa ada kemauan dalam dirimu, tanpa atau dengan adanya aku hal itu tidak mungkin terjadi.”
            “Tapi kamulah yang membuat kemauanku itu ada!”
            “Terima kasih kalau begitu. Tapi jujur saja, aku ingin melihat kamu diwisuda dan ingin melihat bagaimana suasana wisuda, karena aku tidak pernah merasakannya.”
            “Kenapa kamu tidak ikut wisuda waktu itu?”
            “Papaku sakit di rumah sakit. Aku tidak tega untuk meninggalkannya. Oh iya, ngomong-ngomong bagaimana bekerja di kantor papamu?”
            Taufan mendengus. “Benar-benar bukan duniaku. Aku seperti terpenjara! Tidak bisa berbuat sesuatu seperti apa yang dikatakan kata hatiku!” Baruna tertawa. “Aku bekerja di sana karena mengikuti anjuranmu dan mencoba untuk berdamai dengan Papa, demi Mama. Tapi sungguh! Aku tidak mau berada di sana! Itu membuatku tidak bisa berpikir dan berkarya!”
            Baruna menghela nafasnya. “Kalau begitu, kamu bisa gila di sana!”
            “Yah! Baru seminggu aku sudah merasa mulai gila!”
            “Kenapa tidak mencoba memberi pengertian pada papamu!”
            “Kamu seperti tidak mengenal papaku, Bar! Dia tidak mau tahu! Apa yang diinginkannya harus selalu dilaksanakan! Oleh siapa pun!”
            “Kalau dengan kata-kata dia tidak percaya maka kamu harus memberinya bukti!”
            “Bukti apa?”
            “Kalau kamu bisa hidup dan bahagia tanpa harus menjadi seorang pekerja kantor atau menjadi pengusaha seperti papamu!” Taufan terdiam. “Hidup tidak harus mengandalkan selembar ijazah. Tapi seperti kata pepatah, dimana ada kemauan di situ pasti ada jalan!”
            “Yah, aku harus membuktikannya pada Papa!” ujar Taufan.            
            Keduanya kemudian duduk terdiam di atas pasir pantai sambil menatap tenggelamnya matahari. Sinar jingga nampak berpendar di cakrawala.
            “Aku ingin pergi!” kata Baruna tiba-tiba.
            “Kemana?”
            “Ke tempat tenggelamnya matahari! Apa kamu mau ikut denganku?” Baruna berdiri dari duduknya.
            “Untuk apa?”
Baruna tersenyum. “Untuk menemukan kebahagiaan sejati.”
“Oh yah?”Taufan berdiri. Baruna melangka menuju perahu yang tertambat di pantai. Taufan pun ikut bangkit, namun belum lagi dia melangkah, tiba-tiba sebuah suara meneriakkan namanya. “Taufaaaan!” Taufan menoleh, dilihatnya sorang laki-laki berdiri jauh di bawah pohon kelapa. “Mas Badai!” Wajah Taufan langsung berseri-seri ketika mengenali laki-laki yang memanggilnya.
“Fan! Jadi ikut atau tidak?” Baruna berteriak. Taufan menoleh kearahnya.
“Taufan! Kamu harus berbicara dengan Papa!” Badai berteriak.
Taufan nampak bingung, antara pergi dengan Baruna atau berlari kearah kakaknya.
“Fan! Sebelum pergi berbicaralah pada Papa, juga Mama!” Badai kembali berteriak.
“Taufan!” teriak Baruna.
“Taufan!” teriak badai.
“Baruna! Mas Badai!” Taufan terbangun dari tidurnya lalu duduk. “Mas Badai, Baruna!” Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu malam lalu mengambil segelas air putih yang disediakan oleh Asri dan Mama di atas meja di samping tempat tidurnya, meminumnya sampai habis. Setelah itu kembali membaringkan tubuhnya, beberapa saat kemudian matanya kembali terpejam.
***
            Saat sarapan pagi, Papa menanyakan tentang keberadaan Taufan kepada Mama. Sambil tersenyum Mama mengatakan kalau anak bungsunya tersebut pagi-pagi sudah berpakaian rapi dan pamit akan pergi ke kantor dengan menggunakan sepeda motor.
“Benarkah? Tapi apa tidak terlalu pagi?” tanya Papa heran sambil mengernyitkan dahinya. “Kenapa juga dia tidak mau berangkat bareng Papa?”
Mama mengatakan kalau sebelum ke kantor, Taufan akan pergi ke tempat temannya terlebih dahulu. Papa kembali curiga kalau Taufan akan ke rumah Kosim. Namun Mama membela kalau apa salahnya Taufan pergi ke sana, setidaknya dia sudah mau menurut apa keinginan Papa.
“Aku takut Taufan terpengaruh oleh mereka dan mengurungkan niatnya.”
“Jangan berprasangka buruk dulu, Pa.”
“Kita lihat saja nanti. Kalau dia sampai terpengaruh lagi. Papa tidak akan memberi ampun pada anak itu!”
“Jangan bicara seperti itu Pa.”
Papa tidak menjawab dia melanjutkan sarapan paginya.
***
            Taufan berdiri di depan makam Baruna. “Bar, aku sudah mengikuti nasihatmu untuk mengikuti kemauan Papa dengan bekerja di kantornya. Oh iya Bar, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mamamu, mendengar cerita dari Om Ramadhan, sepertinya mamamu sakit setelah bertengkar hebat dengan papa kandungmu. Mereka saling menyalahkan atas kepergianmu. Kedua-duanya sangat terpukul.” Taufan terbatuk. Setelah berdoa, dia pun pergi. Ketika baru saja menaiki sepeda motornya, dilihatnya sebuah mobil datang. Dari dalam mobil keluar seorang pria dengan membawa seikat mawar putih di tangannya. “Pak Lukman!” benak Taufan saat mengenali laki-laki tersebut. “Bar, papamu memberikan perhatian padamu, walaupun kamu tidak akan pernah merasakannya, tapi bunga mawar itu menandakan kalau dia menyayangimu. Aku rasa dia laki-laki yang baik.” Taufan pergi meninggalkan area pemakaman dan menuju kantor papanya.
***
            Kosim memandangi lukisan hasil karyanya semalam. Laila, istrinya yang datang membawakan segelas teh manis untuknya ikut melihat lukisan tersebut.
            “Jadi ini yang Bapak lukis semalam?” Kosim mengangguk. “Tidak aslinya, tidak lukisannya si Taufan memang tampan ya Pak?” Kosim tertawa mendengar celoteh istrinya. “Tapi Pak, kenapa lukisannya Taufan terlihat murung dan sedih?”
            “Masa? Padahal aku melukis dia yang sedang tersenyum, lho Bu.”
“Ah, Bapak semalam pasti melukisnya sambil mengantuk, mau melukis orang tersenyum malah jadi bersedih.” Kosim memandangi lukisan bergambar Taufan dengan seksama. “Sudah, tidak usah dipandangi terus. Dia tidak bakal tersenyum dengan sendirinya,” canda Laila, lalu menyuruh suaminya itu untuk segera sarapan pagi dan segera pergi mengajar.”
***
            Sekar sangat senang ketika melihat Taufan di kantor, dia sempat berpikir kalau Taufan tidak akan kembali lagi ke kantor. Taufan bekerja membantu Bayu dan Sekar dan berusaha mengikuti ritme kerja kantor papanya, namun semakin dia mengerti tentang kehidupan rutinas kerja semakin membuatnya tidak nyaman.
            Jumat sore, Taufan berdiri di atap kantor Papa sambil memandang langit Kota yang nampak muram. Angin bertiup agak kencang dan udara agak lebih dingin dari biasanya. Beberapa kali terdengar dia terbatuk sambil memegangi dadanya dan setelah itu berusaha mengatur nafasnya.
            “Rupanya kamu di sini.” Taufan menoleh, dilihatnya Sekar berjalan mendekat dan kemudian berdiri di sampingnya. “Sayang sekali, cuaca sore ini sedang tidak bagus. Biasanya kalau sore begini kita bisa melihat langit jingga yang indah dan burung-burung walet yang kembali ke sarangnya.”  Taufan tersenyum kemudian terbatuk-batuk lagi sambil memegang dadanya.
            “Kamu sakit Fan?”
            Taufan menggeleng. “Hanya batuk biasa.”
            “Tapi sepertinya bukan batuk biasa. Aku melihat kamu sudah menderita batuk sejak lama. Dan lihat tubuhmu yang semakin kurus ini. Cobalah untuk pergi ke dokter Fan.” Sekar nampak kuatir.
            Taufan menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja, disamping itu aku malas ke dokter. Kalau ke dokter malah ketahuan apa penyakitnya, nanti malah kepikiran.”
            “Tapi apa salahnya kan? Dengan tahu apa penyakitnya maka akan tahu obatnya.”
            “Sudahlah tidak usah kita bicarakan. Aku baik-baik saja kok.” Taufan mencoba untuk tersenyum.
Keduanya terdiam, menatap awan mendung yang sedang berarak di langit sore.
            “Fan…” Sekar berkata namun kelihatan ragu-ragu.
            “Iya. Ada apa?”
            Sekar menghela nafasnya. “Aku tidak ingin kita hanya sebagai teman biasa!” Taufan menoleh dan memandang Sekar. “Kamu tahu Fan Aku sangat ingin perjodohan itu tetap berlangsung.” Gadis cantik itu balik memandang Taufan dan tiba-tiba mendekat dan mencium bibirnya. “Aku sangat mencintaimu, Fan!” kata Sekar setelah mencium Taufan. Taufan yang terkejut hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. “Dan perlu kamu ketahui, aku cemburu ketika melihatmu bersama Wulan!” Sekar kemudian pergi meninggalkan Taufan.
            “Aku tidak tahu harus berkata apa padamu, Sekar! Aku tidak bisa membalas perasaanmu!” Taufan memandangi kepergian Sekar, hingga gadis cantik itu turun dan tidak terlihat lagi. “Maafkan aku!” Taufan terbatuk-batuk, sambil memegangi dadanya, terasa begitu sakit dari sebelum-sebelumnya. Karena tidak kuat menahan sakit Taufan terduduk. Dia merasa ada cairan yang keluar dari batuknya yang menempel di tangan. Darah! Taufan mecoba mengatur nafasnya. Cukup lama dia terduduk. Setelah dirasakan nafasnya teratur dan rasa sakitnya sudah menghilang, Taufan pun turun dari atap.
            Sepulang dari kantor, Taufan pergi ke rumah Kosim. Laila, istri Kosim terkejut melihat wajahnya yang terlihat pucat dan lemah. Kosim sedang ikut syukuran anak tetangganya yang baru dikhitan. Laila menyuruhnya beristirahat. Taufan beristirahat di studio lukis. Dia terkejut ketika melihat lukisan dirinya yang terpasang di antara lukisan milik Kosim. Laila masuk sambil membawa segelas teh manis dan sepiring makanan.
            “Kamu minum teh dan makan dulu, Fan. Kamu pucat sekali. Kamu sakit?” Taufan menggeleng dan mengatakan kalau dia hanya belum makan saja, lalu bertanya tentang lukisan dirinya. Laila mengatakan kalau Kosim yang melukisnya.
 “Sama tampannya dengan aslinya,ujar Laila tersenyum. Taufan tertawa. “Cuma sayang, gambarnya terlihat muram!”
“Masa sih, Mbak?” Taufan memperhatikan lukisan dirinya.
“Kata Mas Kosim, waktu itu dia melukis kamu yang sedang tersenyum. Eeeh ternyata jadinya kamu sedang muram. Mungkin karena malam hari, dia ngantuk, jadi salah melukisnya! Tapi tidak apalah, kamu tersenyum atau cemberut tetap saja tampan!”
“Mbak Laila bisa saja.”
***
Taufan pulang ke rumah ketika jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Langsung masuk kamar. Papa yang akan marah langsung dicegah oleh Mama.
            “Biarkanlah Pa, dia mungkin pusing dan capek setelah seminggu berkutat dengan pekerjaan di kantor. Apa salahnya memberikan dia sedikit kebebasan di akhir minggu. Kasihan dia. Belum terbiasa dengan rutinitasnya.” Papa pun mengurungkan niatnya.
***
            Taufan menunjukkan lukisan-lukisan mimpinya dan menceritakan mimpinya kepada Baruna. “Laut yang membuat aku mengenalmu dan laut yang mempertemukan aku dengan Wulan dan keluarganya.” Baruna yang berdiri di sampingnya tersenyum.
“Aku sangat merindukan laut. Tidakkah kamu merindukannya Fan?” Taufan mengangguk. “Aku ingin merasakan air dan angin laut lagi, bersamamu, Pak Syaiful, Wulan, Kakek dan yang lainnya. Aku juga rindu duduk di atas pasir pantai dan memandang matahari yang tenggelam. Aku rindu berada di dalam kapal Pak Syamsul. Kapan kita akan naik perahu bersama lagi Fan?”
Taufan tersnyum. “Yah, suatu saat kita akan naik perahu bersama lagi. Aku yang akan mengajakmu atau…kamu yang akan mengajakku.”
Taufan terbangun dari tidurnya, langsung duduk, terbatuk-batuk sambil memegang dadanya yang terasa sakit dan sesak. “Baruna, sama sepertimu, aku juga merindukan laut! Aku ingin berlayar lagi bersamamu!” katanya lirih, lalu merebahkan kembali badannya sambil terus memegang dadanya yang sakit.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)