Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 24)

24.      Hilang


Senin sore. Sepulang kerja Papa langsung masuk ke kamar Taufan.
 “Kamu jadi apa jika kamu seperti ini terus Fan!” Papa marah ketika dilihatnya anak bungsunya itu sedang termenung di jendela.
“Apa sebenarnya mau Papa! Aku di rumah salah! Aku di luar salah!” Taufan menjawab tanpa melihat Papa.
“Papa ingin kamu tidak membuang waktumu dengan percuma! Ingat tiga hari lagi kamu wisuda! Setelah itu kamu langsung bekerja di tempat Papa!” Taufan terdiam. “Percuma ijazahmu nanti jika kamu hanya bisa berbuat seperti ini! Menjadi orang tidak berguna!” tukas Papa sambil keluar kamar.
Taufan menghela nafasnya lalu menutup muka dengan kedua tangannya.
***
Sore hari berikutnya Taufan berdiri di dermaga kecil sambil memandang matahari sore yang mulai tenggelam.
“Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini Fan?” kata Wulan yang berjalan mendekati Taufan dan kemudian berdiri disampingnya.
 “Apa matahari seperti ini yang selalu dilihat Baruna setiap sore?”
“Matahari yang sama yang juga dilihat seluruh manusia di muka bumi ini.” Wulan tersenyum.  “Kenapa kamu berada di sini, Fan?”
“Karena aku ingin merasakan apa yang dirasakan Baruna saat melihat matahari tenggelam.”
“Lalu, apa yang kamu rasakan sekarang?”
Taufan terdiam. Wulan kemudian mengalihkan pembicaraan dengan mengatakkan kalau dia sudah membereskan barang-barang milik Baruna, memasukkannya kedalam ranselnya dan menyimpannya di dalam lemari.
“Aku akan mengembalikan barang-barang itu kepada Om dan mamanya,” ujar TaTaufan.
Keduanya kemudian terdiam. Sinar surya sore membias lembut diwajah keduanya.
 “Tiga hari lagi aku akan wisuda,” kata Taufan kemudian.
“Oh yah? Selamat kalau begitu. Akhirnya hari itu sampai juga. Sayang Baruna  tidak bisa melihatmu memakai toga.” Wulan menuduk.
“Yah, padahal aku ingin dia berada di sana saat itu. Tanpanya aku ragu aku akan sampai pada saat itu.” Wulan terdiam, dia tahu betul apa yang sedang dirasakan oleh Taufan. “Kamu harus datang, Lan.”
“Aku?”
“Yah, kamu harus datang. Semakin tidak lengkap apa yang aku rasakan jika kamu tidak datang.”
Wulan tidak menjawab.
***
Malam harinya Taufan mengendarai sepeda motor dengan ransel milik Baruna yang berisi barang-barangnya di punggungnya. Teringat saat-saat mereka bersama, berboncengan sepeda motor menyusuri jalanan Kota pada malam hari, makan sate dan gulai kambing juga menikmati wedang ronde. Dia menuju ke rumah Baruna.
Di rumah Baruna Taufan bertemu dengan Ramadhan. Ramadhan dan istrinya untuk sementara tinggal di rumah Sofi sampai kakaknya tersebut merasa tenang. Om Baruna itu langsung mengenalinya. Taufan mengatakan maksud kedatangannya dan langsung menyerahkan ransel milik Baruna yang berisi barang-barangnya. Mata Ramadhan berkaca-kaca menerimanya.
“Kamu sepertinya sangat dekat dengan Barun.” Taufan menganggukkan kepala. “Apa terakhir hidupnya dia nampak bahagia? Atau bahkan sangat menderita?”
Taufan menghela nafasnya. “Dua-duanya. Dia bahagia karena menemukan hidupnya di pantai, namun juga sangat menderita, karena kehilangan papanya dan merindukan kasih sayang mamanya.”
Ramadhan menghela nafasnya. “Baruna menceritakan semuanya padamu?” Taufan kembali mengangguk. “Dan terlambat bagi mamanya untuk menyadari hal itu.” Ramadhan menundukkan kepalanya.
“Tidak ada penyesalan yang datang di awal, pasti dia datang terlambat!” ujar Taufan, lalu  menanyakan keadaan mama Baruna. Ramadhan mengatakan kalau Sofi saat ini sedang syok dan tertidur di kamar karena kedatangan Lukman. Mereka bertengkar hebat. Saling menyalahkan satu sama lain atas kepergian Baruna. Setelah Lukman pergi, Sofi menangis sejadi-jadinya dan kemudian pingsan. Lukman datang ke rumah setelah Ramadhan bertemu Lukman di luar untuk menceritakan tentang siapa Baruna. Karena semua permasalahan awalnya memang datang dari Lukman. “Om menceritakannya padamu, karena sepertinya di antara kamu dan Baruna sudah tidak ada rahasia lagi. Dan kamu sudah tahu siapa itu Lukman,ujar Ramadhan kepada Taufan.
“Penyesalan yang tidak ada gunanya. Untuk apa mereka bertengkar hebat! Toh Baruna sudah pergi untuk selamanya! Tidak mungkin kembali lagi! tukas Taufan yang  kemudian terbatuk.
“Karena Baruna adalah anak mereka satu-satunya. Sofi tidak mungkin mempunyai anak lagi karena bermasalah dengan rahimnya. Sedangkan Lukman, setelah puluhan tahun menikah dia belum dikarunia anak.
“Lalu apa yang akan Om lakukan terhadap mamanya Baruna?”
“Aku berniat membawanya ke suatu tempat, supaya dia bisa tenang.”
Keduanya kemudian terdiam.
“Bagaimana Baruna bisa tinggal di perkampungan nelayan?” tanya Ramadhan kemudian. Taufan menceritakan bagaimana Baruna sampai tinggal di perkampungan nelayan seperti yang pernah Baruna ceritakan padanya. Tentang Amin, preman dan Tamara. Juga tentang Wulan dan keluarganya. “Ya Tuhan!” seru Ramadhan, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Apa perempuan di rumah sakit yang agak…” Ramadhan tidak meneruskan kata-katanya.
Taufan mengangguk. “Dia orang yang menyelamatkan Baruna di jalan. Orangnya sangat baik Om.”
“Dan gadis yang memelukmu itu.”
“Wulan, yang aku perkenalkan pada Om saat di rumah sakit. Dia yang menolong Baruna saat mencoba menenggelamkan diri di laut.”
“Ya Tuhan. Sebegitu menderitanya anak itu. Dia pernah menelponku dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Sofie dan Lukman harus tahu itu! Biar mereka tahu akibat perbuatan mereka!” Ramadhan nampak geram.
“Tapi penderitaannya kini sudah berakhir. Baruna mungkin sudah bahagia di sana, karena bertemu dengan papanya. Yah, orang yang selama ini dia anggap sebagai papanya.”
“Untung ada Dirga. Dia laki-laki yang sangat baik, baik sebagai suami maupun sebagai ayah.”
 Taufan pamit pergi. Dia tidak langsung pulang ke rumah tetapi menuju ke tempat Tamara.
***
Tamara terkejut ketika melihat Taufan berdiri di pintu salonnya saat akan tutup, lalu dia menyuruhnya masuk. Tamara menanyakan keadaan Taufan yang kelihatannya kurang sehat dan sesekali terdengar batuknya ditambah badannya yang terlihat jauh lebih kurus. Taufan menyangkalnya dan mengatakan kalau dia baik-baik saja, hanya kurang tidur dan kecapekan.
Setelah menyuguhkan secangkir teh panas yang kemudian langsung disesap oleh Taufan, Tamara ingin mendengar bagaimana kejadian yang menimpa Baruna sehingga merenggut nyawanya. Taufan pun menceritakan runtutannya.
“Kenapa anak itu selalu berurusan dengan para preman?” keluh Tamara dengan nada sedih. Dia kemudian bercerita bagaimana menemukan Baruna hingga tinggal di tempatnya selama beberapa hari. Ceritanya persis dengan apa yang pernah diceritakan oleh Baruna. “Keadaannya beda sekali saat aku baru mengenalnya dengan saat dia datang bersamamu untuk pertama kalinya. Dia nampak mempunyai semangat hidup, begitu juga dengan terakhir dia datang bersamamu siang itu.” Tamara nampak bersedih. “Aku tidak menyangka siang itu adalah terakhir kalinya aku melihatnya dalam keadaan hidup.” Air mata Tamara menitik dan mengalir di kedua pipinya.
“Aku juga tidak pernah tahu, kalau hari itu dia berpamitan kepada semua orang untuk pergi selamanya.”
Setelah menghabiskan teh nya, Taufan pamit pergi. Tamara mewanti-wanti agar dia menjaga diri dan kesehatannya.
“Iya Mbak, terima kasih. Tapi aku baik-baik saja,” jawab Taufan sambil berusaha untuk tersenyum, lalu segera meninggalkan salon Tamara dengan sepeda motornya.
***
Taufan bersyukur karena sesampainya di rumah Papa dan Mama sudah tidur. Dari cerita Asri, sebelum tidur Papa aetelah Mama menerima telephon dari Badai.
“Apa yang menyebabkan Papa marah-marah Mbak?”
“Ibu menyuruh Mas Badai datang, untuk menghadiri wisuda Mas Taufan sekalian memberi nasihat sama Mas Taufan. Ibu sangat sedih melihat keadaan Mas Taufan sekarang, mungkin dengan kedatangan Mas Badai, keadaan Mas Taufan bisa berubah. Ibu mengatakan tidak mau kehilangan anak lagi.”
“Papa mendengarnya?”
“Iya Mas! Dan langsung menarik telephon dari tangan Ibu dan langsung melemparnya.”
“Apa kata Papa?”
“Ma! Buat apa kamu menyuruh si anak durhaka itu datang! Dia akan mempengaruhi Taufan!” Asri menirukan gaya Papa namun dengan suara yang dilirihkan. “Mama tahu sendiri, Taufan pasti akan melakukan hal yang sama dengan Badai! Anak itu pasti akan mengikuti kakaknya! Aku sudah bersusah payah untuk membuat anak itu lulus kuliah dan mau bekerja denganku! Jangan Mama mementahkannya lagi!”
“Mama menjawab apa?”
“Ibu mengatakan, ‘apa salahnya Pa, Badai menghadiri wisuda adiknya dan memberi nasihat kepadanya untuk tidak hilang semangat hidupnya semenjak kepergian temannya’. Ibu hanya berkata seperti itu, lalu menangis. Bapak tidak menghiraukannya, beliau langsung pergi ke depan. Ibu mencoba mengangkat telephon kembali, tapi ternyata sudah ditutup. Sambil menangis Ibu masuk kamar.”
Taufan menghela nafasnya. “Kasihan Mama, sampai kapan akan terus begini?” ucap nya, kemudian pergi ke kamarnya.
***
            Keesokan harinya, pagi-pagi Taufan sudah pergi dari rumah. Mama bertanya tentang kepergian Taufan kepada Asri. Asri mengatakan kalau anak bungsu majikannya tersebut pamit pergi ke kampus untuk gladi resik upacara wisuda.
            “Pagi-pagi begini?” tanya Mama heran.
            “Mungkin ke rumah temannya lebih dahulu, Bu,” kata Asri menenangkan Mama yang nampak masih sembab matanya.
***
            Taufan pergi ke makam Baruna.
            “Suatu saat kita akan bertemu lagi Bar. Kita akan bercerita seperti dulu lagi, aku ingin berkenalan dengan papamu yang baik itu. Aku juga akan bercerita tentang papa kandungmu. Namanya Lukman, dia tampan, mirip denganmu. Dan mamamu, dia menyesal dengan apa yang telah dia lakukan padamu. Dia syok karena kehilanganmu dan papamu, orang-orang yang sangat mencintainya tanpa dia menyadarinya selama ini.” Taufan menghela nafasnya. “Aku benar-benar kehilanganmu. Kehilangan seorang teman, sahabat dan semangat hidupuku. Tanpa kehadiranmu waktu itu, mungkin aku sudah menenggelamkan diriku di laut, sama seperti yang akan pernah kamu lakukan.” Sesekali dia terbatuk.
***
            Setelah dari makam Baruna, Taufan pergi ke kampus.  
            “Jadi juga kamu Wisuda Fan?” kata Donny. Taufan hanya tersenyum. “Kamu kemana saja. Aku mendengar cerita dari Nina, dan Nina dari Sekar tentang apa yang terjadi dengan temanmu. Aku turut menyesal dan berduka cita.” Taufan mengucapkan terima kasih. Donny kemudian memperhatikan Taufan dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu sakit, Fan? Kamu telihat jauh lebih kurus, wajahmu pucat dan lesu.”
            Taufan mencoba untuk tersenyum. “Aku baik-baik saja. Cuma krang enak badan saja. Tapi itu biasa.”
            “Sepertinya itu tidak biasa Fan. Kamu sangat berbeda!”
            “Kamu bisa saja Don. Sudahlah, aku mau ke gedung graha wisuda, mau mengikuti gladi resik upacara wisuda! Kamu ikut?”
            “Ayo. Biar nanti kalau aku wisuda tidak perlu ikut gladi resik lagi.” Donny tertawa. Keduanya kedmusin pergi ke gedung graha wisuda.
***

Malam harinya, sepulang dari gladi resik dan nongkrong bersama teman-temannya Taufan memperhatikan bayangan dirinya pada cermin di kamarnya. Dia penasaran dengan perkataan teman-temannya tentang perubahan pada dirinya. Dalam cermin, Taufan melihat sosok yang jauh lebih kurus, wajah yang agak pucat, sorot mata yang redup. Dia terbatuk sambil memegang dadanya. “Ah tidak! Aku merasa sehat. Aku tidak apa-apa!” tukasnya pada diri sendiri, lalu menghempaskan badan di atas tempat tidur.

***
(Baca lanjutannya di episode 25 yaaaaaa....................)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)