Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 23)
23.
Sepi
Taufan
berdiri di dalam kamar Baruna, pandangannya menyapu seluruh sudut ruangan.
Semua barang milik Baruna masih pada tempatnya, baik Wulan maupun Kakek belum
menyentuh ataupun memindahkannya. Kemudian diperhatikannya bantal Baruna yang
pernah dipakainya saat tidur di kursi depan. “Seharusnya malam ini kita pergi melaut Bar. Dan aku akan
menceritakan tentang bayangan dan mimpiku itu.” Taufan menghela nafasnya, lalu
menunduk, dilihatnya sepatu kets milik Baruna yang tidak pernah dipakainya
dibawah meja.
***
Sore
hari ketika mengantarkan makan malam untuk Kakek, Wulan tidak melihat Taufan. Dia
menanyakannya pada Kakek.
“Dimana
Taufan Kek? Apa dia pulang?” Kakek mengatakan kalau Taufan sempat tertidur di
kamar Baruna, dia membiarkannya karena dilihatnya anak itu terlalu capek. Menjelang
sore sudah bangun dan duduk di bangku kayu di bawah pohon kelapa. Setelah itu
berjalan ke pantai. Wulan menghela nafasnya. Tanpa berkata apa-apa lagi gadis
manis itu langsung beranjak pergi. Ketika melewati
bangku kayu di bawah pohon kelapa, Wulan menghentikan langkahnya. Dipandanginya
bangku kayu tersebut. “Aku tidak menyangka kalau malam kemarin adalah malam
terahir kita duduk berdua di bangku ini Bar!” Matanya berkaca-kaca, namun
sebelum airmatanya turun dia segera berlalu dan berjalan menuju ke pantai.
***
Wulan
melihat Taufan sedang duduk di atas pasir menghadap ke laut. Sesaat dia berhenti
dan terdiam. “Dia tidak boleh seperti ini terus! Hidupnya masih terus
berlanjut!” benaknya, lalu berjalan mendekati Taufan.
“Baruna
sudah tenang di sana!” Wulan berkata sambil duduk di samping Taufan. Laki-laki
tampan itu terdiam, matanya terus memandang ke laut lepas. “Aku menolongnya di
sana!” Wulan menunjuk ke arah laut.
“Dan
dia menemuiku untuk pertama kalinya di sini. Duduk di sampingku, seperti kamu
saat ini.” Taufan membuka suara. “Dia membuyarkan lamunanku saat itu.”
“Dan
dia memarahiku karena menolongnya!” Wulan tersenyum.
“Kakinya
pincang saat itu.”
“Keadaannya
berantakan dan penuh keputusasaan.”
“Dia
sok tahu!”
“Aku
menamparnya!”
“Dia
mengajakku ke warung ibumu.”
“Aku
mengajaknya ke rumah Kakek!”
“Dia
tidak akan lagi mengajakku melaut bersama ayahmu.”
“Tidak
akan pernah lagi yang mengganggu dan menggodaku dan tidak ada lagi yang aku
panggil dengan si anak bengal!”
Keduanya
kemudian terdiam, berkelut dengan pikirannya masing-masing. Tatapan mereka
lurus ke arah laut.
“Laut
menjadi sepi tanpa dia!” kata Wulan.
“Andai
saja, saat ini dia datang dengan perahu itu,” gumam Taufan lirih.
Wulan
menoleh ke arah Taufan. “Perahu? Perahu apa?”
“Tidak.
Bukan apa-apa!”
Keduanya
kembali terdiam.
“Siapa
gadis itu?” tanya Wulan tiba-tiba.
“Gadis
yang mana?” Taufan balik bertanya tanpa menoleh.
“Gadis
cantik yang bersamamu saat di rumah sakit dan di pemakaman Baruna.”
“Oh
dia. Namanya Sekar.”
“Dia
sangat perhatian padamu. Sepertinya dia menyukaimu Fan!” Taufan terdiam. “Dia
melihatku dengan tatapan curiga saat kamu memelukku di rumah sakit. Begitu juga
saat di pemakaman. Dia cemburu padaku.”
“Sekar
adalah gadis yang dijodohkan denganku!” kata Taufan tanpa
basa basi.
“Oh
yah!” Wulan nampak terkejut menatap Taufan.
“Tepatnya
dijodohkan oleh orang tua kami.”
“Dia
cantik dan sepertinya dia gadis yang baik. Melihatnya sekilas kelihatan kalau
dia gadis yang pintar dan berpendidikan tinggi. Hanya laki-laki bodoh yang
tidak menyukai dia!”
“Baruna
pun mengatakan hal yamg sama.”
“Baruna
tahu tentang dia?!”
“Aku
menceritakannya dan memperkenalkan Sekar padanya.”
“Dan
kamu tahu Sekar menyukaimu?”
Taufan
menghela nafasnya. “Ya aku merasakannya. Tapi perasaan tidak bisa dipaksakan! Dan
aku bukan laki-laki yang tepat buatnya! Aku menganggapnya hanya sebagai teman!”
Wulan
terdiam, dia ingin menceritakan kalau kemarin malam dia mencium Baruna atas
permintaannya. Namun kemudian memutuskan untuk tidak menceritakannya.
Taufan
merogoh kantung celana panjangnya, mengambil
seuntai kalung dari kulit kerang berwarna coklat dan menyerahkannya pada Wulan.
“Ini untukmu dari Baruna.”.
“Baruna?!”
Wulan nampak tidak percaya. Dia menerima kalung tersebut. Taufan kemudian menceritakan tentang kalung tersebut. “Jadi, karena
kalung ini Baruna pergi?!” Wulan berkata
dengan mata
berkaca-kaca.
“Bukan!
Bukan karena kalung itu! Itu semua memang sudah kehendak-Nya.” Taufan menunjuk
ke atas. “Kamu yang mengatakannya padaku, Lan!”
“Iya.
Tapi kalau saja dia tidak membeli kalung ini….” Wulan tidak melanjutkan
kata-katanya, air matanya mulai mengalir di kedua pipinya.
“Dia
menyayangimu dan menganggapmu sebagai salah seorang perempuan terbaik yang
pernah ditemuinya. Begitu juga dengan mamanya, dia sangat menyayanginya
meskipun dengan apa yang telah dilakukannya.”
Tangis
Wulan pecah, digenggam dengan eratnya kalung dari kulit kerang tersebut lalu
diletakkan di dadanya. Taufan merangkulnya.“Aku menyayanginya Fan! Aku bohong, kalau aku membencinya! Aku
bohong kalau aku tidak mau kehadirannya di tempatku! Aku bohong kalau
menginginkan dia pergi dari rumah Kakek! Aku ingin dia ada di sini!”
Taufan
memeluk Wulan. “Yah aku tahu! Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi mungkin
itu yang terbaik buatnya. Mungkin Baruna sudah bahagia di sana, karena telah bertemu
dengan papanya yang sangat disayang dan menyayanginya.”
Mereka berdua cukup lama berada di pantai,
terdengar beberapa kali Taufan terbatuk. Tidak terasa matahari sudah akan
kembali ke peraduannya.
“Kamu
harus pulang, sudah sore,” kata Taufan ketika dilihatnya Wulan sudah tenang dan
tidak menangis lagi.
“Kamu
juga, Fan!” jawab Wulan sambil mengusap sisa air mata di pipinya. “Kamu belum
makan dari pagi. Kamu harus makan, kamu harus sehat. Aku tidak mau kamu sakit
dan tidak mau kehilangan lagi seorang teman!” Taufan tersenyum lalu mengangguk.
Keduanya kemudian berjalan kembali ke rumah Kakek meinggalkan laut sunyi di
senja hari, hanya terdengar suara angin dan deburan ombak yang kemudian pecah
di pantai.
***
Sofi
duduk di ruang kerja Dirga. Meja dan kursi kerja yang terbuat dari kayu jati
tua, rak yang penuh dengan buku-buku dan barang-barangnya, juga beberapa
lukisan yang menggantung di dinding masih tetap di tempatnya,
belum berubah semenjak suaminya meninggal.
Sofi memandang keseluruh sudut ruangan. Dia baru masuk lagi ke ruangan
tersebut.
Tangannya menggenggam kalung kulit kerang pemberian Baruna.
“Lukman! Kamu tahu, ini adalah ruangan Dirga! Laki-laki penggantimu. Laki-laki
yang anakmu anggap sebagai ayah! Bukan kamu!” Wanita cantik itu menahan amarah
dalam dadanya. “Semua karenamu! Gara-gara kamu aku tidak bisa menyayanginya
selayaknya seorang ibu kepada anaknya!” Matanya berkilat mengungkapkan antara
kesedihan dan kebencian.”Semuanya sudah terlambat! Dia sudah pergi! Anak yang
seharusnya aku cintai dan aku sayangi! Anak satu-satunya dari rahimku sendiri!
Ini karena kamu, Lukman!” Sofi menangis dengan menggenggam erat kalung ditangan kanannya.
Matanya menangkap bingkai foto di atas meja Dirga. Dengan segera wanita cantik
itu bangkit dari duduknya dan menghampiri meja kerja Dirga,
lalu meraih bingkai foto itu dengan tangan kirinya. Sebuah
foto bergambar Dirga yang sedang dipeluk Baruna dari belakang, mereka
tersenyum. Lama, Sofi memandangi foto itu, tangannya gemetar. Tiba-tiba
badannya terkulai lemas dan terjatuh, bingkai foto dan kalung yang ada di
tangannya ikut terjatuh. Kaca dari bingkai foto pecah setelah menyentuh lantai
marmer, suara ‘prang’ membuat salah seorang kerabatnya yang mendengarnya langsung
mengetuk pintu dan membuka ruangan kerja Dirga, terkejut
ketika melihat tubuh Sofi yang tergeletak di lantai. Dia berteriak meminta
tolong. Beberapa orang langsung datang, termasuk Ramadhan, mendekati Sofi dan
langsung menggotongnya ke kamar.
***
Taufan ingin ikut melaut, tapi Syamsul melarang karena melihat kondisinya yang terlihat
kurang sehat dan belum tenang apalagi ditambah seringnya dia batuk-batuk, begitu
juga dengan Kakek dan Wulan yang ikut melarangnya. Taufan menurut, dia kemudian
hanya duduk di bangku kayu di bawah pohon kelapa. Wulan mengatakan kepada Kakek
untuk membiarkannya, baru kemudian setelah udara malam terasa lebih dingin dari
biasanya dan hujan rintik-rintik, Kakek menyuruhnya untuk masuk. Tanpa
membantah, Taufan masuk dan tidur di kamar Baruna.
Beberapa saat setelah membaringkan
tubuhnya di atas tempat tidur, Taufan merasa sesak nafas, badannya panas dan
menggigil. Dia mengerang. Kakek dan Wulan yang saat itu
belum pulang mendengarnya. Mereka langsung ke kamar Taufan.
“Fan, kamu kenapa?” Wulan memegang kening Taufan. “Panas
Kek. Tapi dia menggigil seperti kedinginan!” Kakek menyelimuti Taufan, Wulan ke
belakang mengambil air putih dan air untuk mengompres.
Setelah kembali Wulan mengompresnya dengan air
hangat. Taufan disuruh untuk
tenang dan mengatur nafasnya. Beberapa saat kemudian nafas Taufan pun mulai
normal. Kakek dan Wulan mengajaknya untuk pergi ke dokter, namun ditolaknya.
“Tidak
perlu, aku sudah beberapa kali mengalaminya. Nanti juga sembuh sendiri.” Taufan
beralasan. “Aku hanya butuh tidur. Sebaiknya kalian juga istirahat dan tidur.
Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu
dikuatirkan.” Taufan terbatuk-batuk. Wulan
membetulkan selimut di tubuh Taufan. Tidak
lama kemudian laki-laki tampan yang kelihatan semakin kurus itu pun mulai
memejamkan matanya.
“Anak ini sakit,” kata Kakek.
“Iya, tapi dia tidak
mempedulikannya,” ujar Wulan sambil mengusap kening
Taufan.
Setelah Taufan mulai terlelap, tidak
menggigil dan panas badannya turun, Wulan menyuruh Kakek untuk beristirahat. Dia sendiri akan menemani Taufan.
“Aku akan menemaninya Kek, takut dia
menggigil lagi.”
Kakek pun keluar
dari kamar
Baruna, sementara Wulan duduk di samping Taufan yang mulai terlelap. Gadis itu memandanginya dengan tatapan penuh iba. Sesekali dia memegang
kening Taufan untuk memastikan suhu badannya.
***
Keesokan paginya Taufan bangun dan
langsung keluar kamar. Wulan sudah bangun dan keluar kamar saat shubuh.
“Bagaimana keadaanmu Fan?” tanya
Kakek.
“Aku merasa baikan Kek. Maafkan aku
telah menyusahkan Kakek dan Wulan.”
“Lebih baik kamu ke dokter Fan!” kata
Wulan yang baru masuk dari pintu depan sambill membawa sarapan untuk untuknya
juga Kakek.
“Aku tidak apa-apa. Hanya kelelahan
dan kurang istirahat.”
“Kamu sakit Fan! Jangan kamu
sepelekan!”
“Sudah kubilang aku sehat! Aku hanya
kelelahan. Dan sekarang aku lapar, apa kamu juga membawakanku sarapan?” Taufan
tersenyum sambill menunjuk rantang yang dibawa oleh Wulan.
Wulan menghela nafasnya. “Yah, aku
membawakannya juga untukmu!”
***
Hari Sabtu menjelang
siang Taufan pulang ke rumah.
“Memangnya acara pemakaman temanmu
itu sampai berapa jam Fan?! Tidak sampai duapuluh empat jam kan?!”
tegur Papa ketika melihatnya masuk. Taufan terdiam, dia tidak ingin
berdebat dengan Papa pagi-pagi karena dia merasa kurang enak badan. “Semalam
polisi datang ke sini, mereka ingin siang ini kamu pergi ke kantor polisi untuk
menjadi saksi!” sambung Papa. “Kamu dengar Fan! Papa ingin ini kejadian yang pertama
dan terakhir kamu berurusan dengan polisi! Dan Papa juga tidak mau melihatmu
dalam keadaan berantakan seperti itu!” Papa bangkit dari duduknya sambil
membanting gulungan surat kabar yang dipegangnya. Taufan yang berdiri terdiam
menghela nafasnya dalam-dalam, lalu melangkah menuju kamarnya. Terdengar Mama
memanggilnya namun tidak dihiraukannya.
Taufan berbaring di tempat tidurnya,
bayangan Baruna berkelebatan di benaknya namun karena tubuhnya terlalu lelah
dan letih dia pun tertidur.
***
Siang hari. Setelah
memberikan kesaksian di kantor polisi, Taufan pergi ke rumah Kosim.
Kosim mendekati Taufan yang datang
langsung masuk ke studio lukis dan memandangi ketiga lukisan terakhirnya. “Aku
sebenarnya ingin datang ke pemakaman temanmu
itu, tapi tadi pagi aku harus mengantarkan anakku ke dokter.”
“Tidak apa-apa Mas. Memangnya Annisa
kenapa?” tanya Taufan menanyakan keadaan anak Kosim.
“Mencret-mencret, tapi kata dokter
tidak apa-apa. Katanya salah makan. Biasa, anak kecil suka jajan sembarangan.
Sekarang sudah agak mendingan. Kamu sendiri Fan? Kamu kelihatan tidak sehat.”
Taufan terdiam. Kosim menepuk-nepuk punggungnya. “Aku tahu kamu pasti sangat
kehilangannya. Aku juga pernah merasakannya Fan, dulu waktu SMA, sahabatku
meninggal karena kecelakaan.”
“Seharusnya aku bisa menolongnya Mas,
seperti dia menolongku.” Taufan memandang tajam ketiga lukisan di depannya.
Kosim
memperhatikannya lalu mengernyitkan dahinya. “Jadi, dua orang dalam lukisan
ini, kamu dan Baruna?” Taufan mengangguk. “Jadi benar dugaanku,” benak Kosim.
“Ketiga lukisan ini sebuah cerita?”
Taufan
membenarkan, lalu menceritakan
tentang bayangan dan mimpinya yang terus berulang dan pertemuannya dengan
Baruna yang kemudian dia curahkan di atas kanvas. Kosim nampak tidak percaya
mendengarnya.
“Aku juga tidak percaya yang aku alami Mas,
tapi itulah yang terjadi.”
Kosim
mengangguk-angguk. “Mungkin mimpimu itu sebuah pertanda atau apalah…Aku tidak
tahu menahu soal tafsir mimpi. Hanya Tuhan yang tahu. Dia-lah yang mengaturnya.
Kita manusia tidak akan pernah menduga dan tahu apa yang akan terjadi pada diri
kita. Dan kamu Fan, kamu tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi pada
Baruna, itu sudah menjadi suratan Tuhan. Biarkanlah Baruna tenang di alam sana. Kamu
juga harus melanjutkan hidupmu. Dia pasti kecewa jika melihatmu seperti ini
terus. Sekarang makan sianglah bersamaku, Laila sudah menyiapkannya.
Setelah itu istirahatlah di sini, kamu kelihatan tidak sehat Fan.”
Taufan
terbatuk lalu bangkit dari duduknya dan berjalan
bersama Kosim ke ruang makan, dimana istri Kosim sudah menyiapkan makan siang
di atas meja makan.
***
(Lanjut yaaa di episode 23....)
Komentar
Posting Komentar