Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 20)
20.
Rumah Sakit
Baruna
dibawa ke rumah sakit terdekat dan langsung masuk ke UGD. Taufan, penjual
manik-manik dan wanita berkerudung itu menunggunya di luar. Taufan
sebenarnya memaksa untuk ikut masuk ke ruangan, namun dilarang oleh dokter dan
perawat.
“Saya
akan mengurus administrasinya. Siapa nama temanmu dan dimana tinggalnya?” tanya wanita berkerudung. Taufan pun menyebutkan nama Baruna dan
alamat perkampungan nelayan Wulan. Setelah informasi tentang
Baruna
wanita itu pergi. Sepuluh
menit kemudian dia kembali. “Semua administrasi sudah selesai. Tapi maaf, saya
tidak bisa lama di sini karena harus menjemput kakak saya di stasiun.”
“Tidak
apa-apa Mbak, sudah lebih dari cukup
bantuan dari Mbak. Saya
sangat berterima kasih banyak pada Mbak,” kata Taufan, Wanita berkerudung itu tersenyum, lalu pergi. “Mas juga boleh pergi,
kasihan dagangan Mas. Bantuan Mas sudah begitu banyak. Saya sangat berterima
kasih.” Taufan berkata kepada laki-laki penjual manik-manik.
“Kamu
yakin tidak apa-apa sendirian di sini?” tanya laki-laki itu. Taufan mengangguk
sambil berusaha untuk tersenyum. Setelah menepuk punggung Taufan, laki-laki
penjual manik-manik itu pun pergi. Taufan mengambil
telephon genggamnya, dia menelphon Wulan, mengabarkan apa yang telah terjadi.
Setelah menelphon dia duduk di atas lantai, kepalanya
diletakkan di antara kedua lututnya. “Semoga kamu tidak apa-apa Bar,” katanya
lirih sambil mengangkat kepalanya dan menyandarkannya di dinding. Pintu ruangan
UGD terbuka, salah seorang perawat yang membawa Baruna keluar. Taufan langsung
berdiri dan mendekatinya. “Bagaimana dengan teman saya?”
“Teman
Mas, banyak megeluarkan darah, lambungnya terluka. Tapi kami berusaha
menolongnya. Mas sabar saja.” Perawat itu
kemudian pergi. Taufan menghela nafas dalam-dalam kemudian mengambil handphone
dari saku celananya dan menelphon seseorang.
“Mas Taufan!” Teriak seseorang.
Taufan
yang baru saja menelphon menoleh dan terkejut ketika mengetahui siapa yang baru
saja memanggil namanya. “Mas Amin?!”
“Bagimana
dengan Mas Baruna?” tanya Amin. Taufan mengatakan apa yang telah dijelaskan
oleh perawat tentang luka tusuknya. “Ya Tuhan!” seru Amin dengan penuh
kekuatiran dan langsung mengambil telephon genggamnya untuk menelphon
seseorang. Taufan mendengar Amin menyebutkan nama Ramadhan.
“Mas
Amin menelphon Om-nya Baruna?”
“Ya
Mas. Hanya dia satu-satunya keluarga Mas Baruna yang bisa saya hubungi.”
Taufan
menanyakan bagaimana Amin tahu kalau dia dan Baruna berada di rumah sakit. Amin
mengatakan kalau salah seorang pelayan kios sebelahnya melihat
ada orang terluka di jalan dan mengatakan kalau orang yang tertusuk tersebut
mirip dengan salah satu laki-laki yang pernah datang ke tempatnya. Dia tidak
percaya, lalu mendatangi tempat kejadian dan menanyakan pada seorang tukang
parkir. Tukang parkir itu kemudian menjelaskan apa yang telah terjadi di tempat
tersebut. Dia menanyakan bagaimana cirri-ciri dua laki-laki muda yang berkelahi
dengan preman tersebut. Setelah ciri-ciri disebutkan, Amin menjadi gelisah
karena ciri-cirinya mirip dengan Baruna dan Taufan dan ciri-ciri laki-laki yang
tertusuk adalah ciri-ciri Baruna. Tukang
parkir tersebut kemudian mengatakan kalau laki-laki terluka itu telah dibawa
dengan mobil, kemungkinan ke rumah sakit terdekat. Amin pun langsung
pergi ke rumah sakit. Di UGD
dia menanyakan pada salah seorang perawat apa ada seorang pemuda yang baru masuk UGD karena
luka tusuk. Perawat tersebut membenarkannya.
Dengan mengaku sebagai salah seorang kerabat dari pemuda
yang tertusuk tersebut akhirnya dia diperbolehkan
masuk.
“Ya
Tuhaaaan, kenapa perkelahian dengan preman-preman pasar itu berakibat fatal
seperti ini?” sesal Amin.
“Saya
juga tidak menyangka akan berakibat seperti ini, Mas. Apa yang saya kuatirkan
terjadi juga!” Taufan menghela nafas dalam-dalam.
“Sebenarnya
kalian sedang apa di tempat itu dan mau kemana?”
“Kami
mau pergi ke tempat Mas Amin.” Taufan kemudian menceritakan keinginan Baruna
untuk pergi mengunjungi orang-orang yang berjasa dalam hidupnya dan kenapa dia
sampai di tempat itu.
***
Dua
orang polisi bersama laki-laki penjual manik-manik mendatangi Taufan dan Amin.
Polisi itu mengatakan kalau tiga orang preman telah berhasil ditangkap, sedangkan
preman satu yang berbadan besar berhasil melarikan diri,
tetapi polisi berjanji akan segera menangkapnya. Kedua polisi
itu meminta keterangan dari Taufan. Taufan menceritakan apa yang sebenarnya
terjadi. Pada saat bersamaan seorang dokter keluar dari pintu ruang UGD. Tanpa
menghiraukan yang lainnya, Taufan langsung berlari ke dokter tersebut dan menanyakan keadaan Baruna. Dokter mengatakan
kalau Baruna masih belum sadar dan masih kritis. Taufan
menhela nafasnya, dadanya terasa sesak. Dua
orang polisi tersebut mendekati dokter dan meminta keterangan bagaimana keadaan
pasien Baruna.
Setelah
meminta keterangan dari dokter salah seorang polisi mengatakan kalau Taufan
harus memberikan keterangan dan kesaksian di kantor polisi. Pada awalnya Taufan
menolak karena dia harus menemani Baruna, tapi Amin menyuruhnya untuk pergi
agar persoalan cepat selesai, dia yang akan menunggu Baruma. Dengan masih memakai
baju yang kotor oleh darah Baruna, Taufan
ikut ke kantor polisi bersama dengan laki-laki penjual manik-manik untuk
memberikan kesaksian. Sebelum masuk mobil polisi dia menelphon Bayu tentang
keberadaannya.
***
Taufan
dan laki-laki penjual manik-manik itu memberikan keterangan dan kesaksian di
kantor polisi. Bayu dan Sekar datang setelah Taufan selesai memberikan keterangan
dan kesaksian. Mereka nampak terkejut dan kuatir ketika melihat keadaan Taufan.
Sedangkan laki-laki penjual manik-manik pamit pergi terlebih dahulu karena hari
telah sore, ia harus menutup barang dagangannya. Sekali lagi Taufan berterima kasih dan
meminta maaf atas keterlibatannya dalam masalahnya dan Baruna. Laki-laki itu
tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa karena ini bukan pertama kalinya dia mengalami
hal seperti itu, kemudian dia menyerahkan kunci sepeda motor Taufan, dia datang
menggunakan sepeda motornya, kebetulan kunci motornya masih tergantung.
“Terima
kasih Mas,” kata Taufan sambil menerima kunci sepeda motornya. Laki-laki
penjual manik-manik itu kemudian pergi.
“Fan,
apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bayu.
“Nanti
aku ceritakan saat di mobil. Tapi aku ingin Mas Bayu mengantarkanku ke suatu
tempat. Papa tidak tahu kan Mas Bayu pergi ke sini?” Bayu
menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau Papa sedang menemui kliennya di
sebuah hotel dan kemungkinan akan sampai malam.
Ketika
sudah berada di dalam mobil, Taufan menceritakan apa yang baru saja dialaminya.
“Ya
ampun Fan, kenapa kamu mesti berurusan dengan para preman?” ujar Bayu.
“Ceritanyanya
panjang, Mas.”
“Lalu
bagaimana keadaan Baruna?” tanya Sekar.
Taufan
menceritakan bagaimana keadaan Baruna seperti apa yang telah dikatakan oleh
dokter karena dia belum boleh menjenguknya.
***
Mobil
terus berjalan, Bayu mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh Taufan dan terkejut
ketika Taufan menyuruhnya berhenti di depan sebuah salon, begitu juga dengan
Sekar. Namun mereka tidak berani menanyakannya.
***
Tamara
kaget ketika Taufan datang dan langsung memeluknya. “Ada apa Fan?” tanyanya.
Taufan pun menceritakan apa yang telah terjadi pada Baruna. Tamara terkejut dan
mengatakan kalau dia akan langsung ke rumah sakit. Taufan mengajaknya untuk
ikut bersamanya karena namun Tamara menolaknya karena dia akan membawa sepeda motor.
“Kita
balik ke rumah sakit, Mas,” kata Taufan setelah kembali masuk ke dalam mobil.
“Apa
tidak sebaiknya kamu pulang ke rumah Fan, ganti baju dan membersihkan diri?”
Taufan
menggelengkan kepalanya. “Tidak Mas. Aku tidak akan pulang sebelum menemui dan
melihat keadaan Baruna dan mengetahui kalau dia baik-baik saja.” Bayu tidak
berkata apa-apa lagi, dia tahu betul bagaimana sikap adik iparnya tersebut jika
sudah mempunyai keinginan.
“Siapa
yang kamu temui di salon itu Fan?” tanya Sekar setelah menahan rasa
penasarannya. Taufan yang duduk gelisah di samping Bayu hanya menjawab singkat
kalau yang ditemuinya adalah teman Baruna yang juga temannya.
***
Sekembalinya
ke rumah sakit bersama Bayu dan Sekar, Taufan menemui Amin yang sedang
berbicara dengan seorang pria dengan postur tubuh tinggi berperawakan sedang,
rambut hitam lurus tersisir rapi, berpakaian rapi, atasan berkemeja biru langit,
bercelana hitam dan bersepatu hitam mengkilap. Sekilas
mirip dengan Baruna. Taufan mendekatinya.
“Mamanya
sudah aku kabari. Kebetulan dia sedang berada di Singapura hari ini setelah
empat bulan di Eropa.” Laki-laki berpakaian rapi itu berkata kepada Amin.
“Apa
dia masih mau perhatian terhadap Baruna?!” sela Taufan. Amin dan laki-laki
berpakaian rapi tersebut menoleh kearah Taufan. Amin memperkenalkan Taufan kepada
laki-laki yang tidak lain adalah Ramadhan, Om-nya
Baruna.
“Baruna
pasti sudah bercerita sama kamu,” kata Ramadhan. Taufan menganggukkan kepalanya.
Sepuluh menit berikutnya muncul Tamara. Kecuali
Taufan, semua memperhatikan Tamara dengan penuh tanda tanya. Taufan
memperkenalkan Tamara kepada semuanya dan menceritakan secara singkat siapa
Tamara.
“Terima
kasih telah menyelamatkan keponakan saya,” kata Ramadhan kepada Tamara. Tamara
menanyakan bagaimana keadaan Baruna.
“Belum
ada perkembangan.” Amin yang menjawab.
“Taufan!”
Panggil seseorang. Taufan menoleh, dilihatnya Wulan berlari kecil kearahnya
bersama ayahnya. Taufan langsung memeluknya. Sekar
memperhatikannya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Bagaimana
keadaan dia, Fan?” tanya Syamsul. Taufan menggelengkan
kepalanya dan mengatakan
kalau sampai saat ini dia menunggu keterangan
dari dokter yang masih menangani Barun. Kemudian dia menanyakan dengan apa
mereka ke rumah sakit. Syamsul mengatakan
kalau mereka berboncengan sepeda motor. Taufan kemudian memperkenalkan Wulan
dan Pak Syamsul kepada Ramadhan dan Amin.
“Jadi,
selama ini Baruna tinggal bersama kalian di perkampungan nelayan?”
“Tepatnya
di rumah kakek saya,” sahut Wulan.
Ramadhan
mengucapkan terima kasih dan minta maaf atas keberadaan Baruna di rumah Kakek
selama ini. Syamsul menanggapinya dengan senyum, dia sudah menganggap Baruna
seperti anaknya.
Keheningan
dan kekuatiran menyelimuti orang-orang yang berada diluar ruang UGD. Beberapa
saat kemudian seorang dokter keluar. Taufan dan yang lainnya langsung mendekatinya.
“Bagaimana
keadaan teman saya Dok?!” tanya Taufan.
“Kalian
kerabat dari pasien yang di dalam?”
“Betul!
Kami adalah kerabatnya!” Ramadhan berkata.
“Kami
mohon maaf sebelumnya.” Tubuh Taufan langsung lemas mendengar ucapan dokter
tersebut. Begitu juga dengan Wulan, dia langsung memegang erat tangan Taufan. Sekar
kembali memperhatikannya. “Kami sudah berusaha
semampu kami. Tapi mungkin Tuhan berkehendak. Dia banyak sekali kehilangan darah,
lukanya terlalu dalam hingga mengenai lambungnya.”
“Inalillahi
wainailahi rojiuun.” Semua langsung berseru. Taufan dan Wulan langsung lunglai.
Mereka berpelukan. Wulan tidak dapat menahan airmatanya. Syamsul memeluk keduanya.
Ramadhan terlihat shock, terdiam, tidak tahu harus berkata apa, dia hanya menutup
muka dengan kedua tangannya.
Ramadhan
masuk ke ruangan bersama Taufan dan Wulan.
Saat
melihat tubuh Baruna yang terbujur kaku, Ramadhan tak kuasa lagi, tangisnya
pecah dan langsung memeluk tubuh keponakannya yang terbaring tak bernyaewa.
Wulan terus manangis dalam rangkulan tangan Taufan yang juga tak kuasa menahan
airmatanya. “Kenapa begini Baruna. Kenapa?!” Wulan berkata dalam tangisnya. Taufan
memegang tangan Baruna dengan erat. Seorang perawat menghampiri mereka dan menanyakan
siapa kerabat terdekat dari Baruna yang bertanggung jawab akan jenazahnya. Ramadhan
mengatakan kalau dialah yang bertanggung jawab.
Taufan
memandangi Baruna yang terdiam pucat, hatinya benar-benar terpukul. “Kenapa
harus berakhir seperti ini Bar? Bukankah kamu harus menghadiri upacara wisudaku?
Dan kamu ingin melihatku menjadi seorang pelukis hebat?! Baruna Bangunlah! Bukankah
malam ini kamu berjanji kalau kita akan melaut lagi bersama Pak
Syamsul?” Taufan menggoyang-goyangkan tangan Baruna. “Kamu berjanji akan pulang
ke perkampungan nelayan sebelum malam Bar! Kamu ingat itu kan?!” kata Taufan
diantara tangisnya.
“Fan!
Sudahlah! Ini sudah suratan Tuhan! Tidak ada yang bisa mencegahnya!” Wulan
berusaha menenangkan Taufan dalam tangisnya. Saat akan keluar seorang perawat
perempuan menghampiri Taufan.
“Mas,
ini terjatuh dari kantong celana teman Mas.” Perawat tersebut menyerahkan
sebuah kantung plastik yang berisi dua untai kalung dari kulit kerang. Taufan
menerimanya dan perawat itu pun pergi.
“Kalung
ini! Andai saja Baruna tidak berhenti untuk membeli kalung ini!” benak Taufan
sambil memandangi bungkusan plastik
ditangannya yang kemudian dia masukkan kedalam saku celananya saat Wulan
menarik tangannya untuk keluar dari ruangan. Setelah keluar Taufan langsung
memeluk Tamara dengan erat. “Baruna Mbak, Baruna sudah pergi!” Tamara tidak dapat berkata
apa-apa, air matanya mengalir di kedua pipinya. Sekar dan Bayu memperhatikan
mereka dengan tatapan yang tidak mengerti. Sementara tangis Wulan kembali pecah
saat berada di peluka ayahnya. Syamsul berusaha menenangkan putrinya tersebut.
Beberapa
saat kemudian jenazah Baruna keluar dari ruangan UGD, Ramadhan
mendampinginya. Sementara sebuah ambulance sudah siap di depan pintu. Taufan memaksa
untuk ikut ke dalam ambulance, namun Bayu mencegahnya dan mengatakan lebih baik
kalau dia pulang terlebih dahulu untuk berganti pakaian dan menenangkan diri. Ramadhan
pun mengatakan hal yang sama dan dia juga mengatakan kalau Baruna akan
disemayamkan di rumah orang tuanya dan akan dimakamkan besok pagi di samping
makam papanya, lalu dia menyebutkan sebuah pemakaman umum.
Wulan
bersama ayahnya pamit pulang, tapi dia
berjanji akan datang ke pemakaman Baruna. Sebelum pergi Wulan memeluk Baruna
dengan erat. “Masih ada aku, Fan,” ucap Wulan lirih. Sekar kembali memperhatikannya.
Seorang
polisi datang, berbicara dengan Ramadhan. Beberapa saat kemudian polisi itu
pergi dan bunyi sirene ambulance pun terdengar. Bersama dengan
suara azan maghrib dari sebuah menara masjid. Amin ikut di
dalam ambulance. Mobil Ramadhan mengikutinya. Taufan memandangi
kepergiannya dengan tatapan kosong.
Taufan
pulang bersama Sekar dengan mobil Bayu karena Bayu sendiri pulang dengan
menggunakan motor Taufan. Tamara pun pulang dengan sepeda motornya.
Sekar
yang mengemudikan mobil terdiam, sesekali dia melirik ke arah Taufan yang
membisu disampingnya. Rasa penasaran ingin menanyakan beberapa
pertanyaan ditahannya karena melihat keadaan Taufan yang berantakan dan perasaannya
yang baru saja kehilangan teman dekatnya.
***
(Apa yang terjadi selanjutnya? Baca ya episode 21...)
Komentar
Posting Komentar