Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 27)

27.        Kembali ke laut


Sabtu pagi, Taufan pergi tidak menggunakan sepeda motornya. Pak Dirman menawarkan diri untuk mengantarnya karena melihatnya kurang sehat. Namun ditolaknya.
“Tidak apa-apa pak, aku hanya kurang tidur.” Taufan berbohong, sebenarnya dia merasa tidak enak badan, dadanya terasa sesak dan sakit dan tubuhnya agak sedikit lemas. Pak Dirman merasa kuatir dengan keadaan anak bungsu majikannya tersebut.
***
Cuaca sedikit mendung. Angin laut bertiup lebih kencang dari biasanya. Laut pun bergelombang lebih besar. Taufan duduk di pantai sambil memandang ke laut lepas. Ombak yang pecah di atas pasir meninggalkan buih-buih di kakinya. Dia merasa badannyan semakin lemas. Pandangan matanya kemudian diarahkan ke langit yang hitam. Dia teringat akan bayangan dan mimpinya. Lamunannya kemudian terpecah oleh sekumpulan anak-anak SD yang baru pulang sekolah yang berjalan tidak jauh di belakangnya. Taufan memperhatikan anak-anak tersebut. Mereka nampak senang dan bergembira.
“Wah! Kita tidak bisa main bola di pantai sekarang. Langitnya gelab banget. Ombaknya besar!” teriak seorang anak sambil menunjuk ke arah laut.
“Iya benar. Bapakku pasti marah kalau aku main bola di pantai saat cuaca kayak begini. Nanti aku kena jewer lagi. Bisa-bisa telingaku bertambah panjang!” kata anak lainnya yang kemudian disambut tawa teman-temannya.
“Mas jangan dekat-dekat ke laut cuaca seperti ini. Bahaya!” Salah seorang anak berteriak pada Taufan. Taufan tersenyum lalu melambaikan tangan ke arah anak-anak tersebut. Setelah mereka berlalu, Taufan melihat Wulan yang sedang berjalan ke arahnya.
“Akhirnya si anak kota datang juga! Sedang apa di sini?!” tanya Wulan, lalu duduk di samping Taufan. Gadis manis itu terkejut melihat keadaan Taufan yang nampak pucat dan terlihat lemah dengan badan yang semakin kurus.
Taufan tersenyum. Sudah dua minggu lebih, setelah acara wisuda, dia baru datang lagi ke pantai. “Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?”
“Kenapa dengan suaramu? Suaramu serak dan parau! Kamu sedang sakit Fan?!”
Taufan menggelengkan kepalanya. “Aku hanya sedikit batuk. Oh iya, bagaimana kamu tahu aku ada di sini?”
Wulan tersenyum, sambil memainkan pasir pantai dengan kakinya, mengatakan kalau dia melihatnya berjalan kaki menuju pantai.
“Mana sepeda motormu?”
“Di rumah. Aku sedang tidak ingin naik sepeda motor.”
“Cuaca buruk. Orang-orang biasanya menghindari pantai, tapi kamu malah menghampirinya. Kamu tidak sedang berniat bunuh diri kan?” Taufan terbatuk, kemudian tertawa dan mengatakan kalau dia tidak mempunyai pikiran seperti itu. “Lalu, untuk apa kamu ke sini?”
“Aku rindu laut dan ingin kembali ke laut.” Wulan terdiam. “Maafkan Papaku, Lan. Dia tidak seharusnya mengatakan hal seperti itu pada kamu.”
Wulan tersenyum. “Aku sudah melupakannya. Aku kira wajar kalau papamu berkata seperti itu, apalagi ada calon menantu kesayangannya!” Taufan terdiam. Wulan kemudian bertanya tentang bagaimana pengalaman dan perasaan Taufan selama bekerja di kantor papanya. Taufan  menceritakan pengalaman dan juga perasaanya.
“Jadi, kamu sudah berhenti jadi pelukis? Dan sekarang menjadi pekerja kantoran?” ledek Wulan.
“Aku tidak akan pernah berhenti menjadi seorang pelukis! Tapi jujur, setelah kepergian Baruna aku belum melukis lagi. Apalagi setelah bekerja, aku benar-benar tidak punya ide dan semangat untuk melukis.”
“Kamu terbawa perasaanmu, Fan. Cobalah untuk mengatur dan menenangkannya.”
Taufan terdiam sambil memandang ombak yang pecah di kakinya. “Entahlah, aku tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.”
Wulan tertawa sinis.“Aku merasa heran. Kenapa aku berteman dengan dua laki-laki yang menyerah dengan hidupnya?” Taufan menoleh kepada Wulan. “Baruna, dia ingin bunuh diri dengan menenggelamkan ke laut karena merasa hidupnya tidak berarti. Dan kamu, Taufan, hidupmu tidak jelas mau kemana, terombang-ambing tidak menentu. Tidak berusaha memecahkan masalah, malah ingin menghindar masalah. Kalian adalah laki-laki! Seharusnya kalian lebih tangguh dari perempuan!”
“Tidak semua laki-laki tangguh, dan tidak semua perempuan lemah. Itulah makanya mausia diciptakan untuk saling berpasangan dan berdampingan!”
“Kamu memang pandai berbicara. Pantas saja selalu bertengkar dengan papamu. Seharusnya kamu menjadi anggota dewan atau pengacara saja!” Taufan terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya. Wulan memegangi pundaknya dan mengajaknya untuk pergi ke rumah Kakek. Taufan tiba-tiba mengerang kesakitan, wajahnya semakin memucat, nafasnya terputus-putus dan tiba-tiba keluar darah dari mulutnya. “Taufan!” teriak Wulan dan langsung merangkul Taufan yang terlihat kesakitan. “Fan! Kamu kenapa?” Wulan nampak panik. Hujan rintik-rintik mulai turun. Tiba-tiba badan Taufan melunglai. “Taufan!” Wulan mengguncang-guncang tubuh Taufan yang tidak sadarkan diri. Wulan langsung memeluknya dan berteriak meminta tolong.
***
Dengan ditolong beberapa orang dan ayahnya, Wulan membawa Taufan ke dokter puskesmas perkampungan nelayan. Dokter menyarankan untuk membawa Taufan ke rumah sakit, karena memerlukan pertolongan yag lebih lanjut.
Wulan dan Syamsul membawa Taufan ke rumah sakit terdekat dengan mobil ambulance puskesmas.  Di rumah sakit Taufan langsung masuk UGD. Wulan yang masih merasa panik menghubungi Bayu dengan menggunakan hp Taufan yang terjatuh saat di pantai. Hp yang pernah ditertawakannya karena dianggap sudah ketinggalan jaman, namun Taufan berdalih hp tersebut adalah hp pertama yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri, walaupun tidak secanggih hp sekarang namun menurutnya hp tersebut cukup tangguh dan tahan banting. Wulan menghubungi kakak ipar Taufan tersebut. Dia mengatakan kalau Taufan sakit dan dibawa ke rumah sakit.
Dokter yang menangani Taufan ingin bertemu dengan keluarga Taufan karena ada hal penting yang ingin disampaikannya. Wulan mengatakan kalau keluarganya belum datang.
“Apa dia parah dok?” tanya Wulan penasaran. Dokter mengangguk pelan. “Tapi teman saya itu akan sembuh kan dok?”
“Kami akan berusaha sebaik mungkin.”
***
            Kurang dari satu jam, Bayu datang bersama Papa dan Mama. Bayu menemui Wulan dan bertanya apa yang sesungguhnya terjadi dengan adik iparnya tersebut. Wulan menceritakan semuanya.
            “Mau apa anak itu pergi ke pantai dalam cuaca buruk begini!” tukas Papa.
            “Sudahlah Pa! Bukan waktunya untuk menyalahkan siapa-siapa. Yang penting kita tahu bagaimana keadaan Taufan!” sergah Mama dengan nada kuatir, matanya berkaca-kaca. Bayu, Mama dan Papa menemui dokter yang menangani Taufan. Beberapa saat kemudian ketiganya keluar. Bayu nampak sedih, Mama menangis dengan dipapah oleh Papa. yang wajahnya terlihat tegang.
Wulan dan Syamsul menghampiri Bayu. “Apa yang terjadi dengan Taufan?” tanya Wulan.
Bayu menghela nafasnya.
“Taufan menderita kanker paru-paru stadium akhir! Dokter menyesalkan kenapa Taufan sangat terlambat untuk dibawa ke dokter.”
Wulan terkejut. “Tapi masih bisa disembuhkan kan?”
Bayu kembali menghela nafasnya. “Kita hanya bisa berdoa.”
Wulan merasa kakinya lemas, Syamsul memeganginya. Mama menangis dalam pelukan Papa.
***
            Wulan sebenarnya ingin sekali menunggui Taufan di rumah sakit dan ingin melihatnya tersadar, namun dia harus pulang bersama ayahnya, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawabnya di rumah tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Bayu, Papa dan Mama menungguinya di rumah sakit. Mama tak henti-hentinya menangis. Disela tangisnya dia menyebut-nyebut  nama Taufan dan menyalahkan Papa. Papa hanya terdiam sambil terus memeluknya.
***
            Tangis Wulan akhirny pecah seetelah sampai rumah, dia sudah menahannya sejak dari rumah sakit.
            “Sudah, sudah, tidak usah menangis. Sebaiknya kita berdoa untuk kesembuhan si Taufan. Ayah tidak mengira dia menderita penyakit yang cukup parah.”
            “Dia memang anak bodoh! Sudah aku bilang kalau dia itu sakit dan perlu ke dokter! Tapi dia bilang dia tidak apa-apa, baik-baik saja!” tukas Wulan diantara tangisnya. “Aku heran, kenapa aku bertemu dengan dua orang bodoh secara bersamaan! Baruna dan Taufan! Dua-duanya bodoh! Tidak mempunyai semangat hidup dan mudah menyerah!”
Syamsul memeluk Wulan untuk menenangkannya. Dia menyuruh Wulan berisitirahat.
***
            Keesokan  harinya, setelah menyelesaikan tugasnya, Wulan pergi ke rumah sakit. Semalaman dia tidak bisa memejamkan matanya, mengingat apa yang terjadi dengan Taufan. Papa, Mama dan Bayu masih menunggu di depan UGD. Selain itu sudah ada Sekar dan Lintang dengan perut besarnya yang duduk dengan dirangkul suaminya, matanya nampak sembab. Mereka tertunduk lesu.
            Wulan duduk di samping Sekar. “Terima kasih, kamu telah menolong Taufan. Mas Bayu memberitahuku,” ucap Sekar, dengan mata yang juga sembab, lalu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Taufan. Wulan pun menceritakan bagaimana Taufan tidak sadarkan diri di pantai.
Sekar teringat saat kemarin dia mencium Taufan di atap gedung kantor. “Semoga itu bukan ciuman terakhir,” gumamnya lirih.
            “Ada apa?” tanya Wulan karena mendengar Sekar yang bergumam tidak jelas.
            “Tidak apa-apa.” Sekar mencoba tersenyum.
            Keduanya kemudian terdiam sesaat.
 “Kalian berdua sepertinya sangat dekat, dan saling memberi perhatian satu sama lain,” kata Sekar kemudian. Wulan tersenyum, dia mengetahui arah pembicaraannya, lalu dengan jelas menjawab kalau dia dan Taufan hanya berteman saja, perhatian yang mereka berikan pun hanya sebatas teman, tidak kurang dan tidak lebih.
            “Kamu mencintainya?” Wulan balas bertanya.
            Sekar menghela nafasnya. “Bohong, jika aku bilang tidak! Tapi sepertinya dia tidak mempunyai perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan sejak dulu.”
            “Tapi Taufan menyayangimu.”
            “Yah, dia menyayangiku hanya sebagai teman dan sebagai adik.
            Seorang dokter keluar, mengatakan kalau Taufan sudah sadar dan ingin bertemu dengan Mama dan Papa. Mama dan Papa langsung masuk ke ruang UGD, yang lainnya tetap menunggu di luar, ada kelegaan di wajah mereka ketika mendengar Taufan telah sadar.
            Kosim datang bersama dengan istrinya dan Dayat, dia diberitahu oleh Lintang. Lintang dan Bayu menyambut ketiganya. Laila bercerita kepada Bayu dan Lintang tentang Taufan yang datang ke rumahnya jumat sore dalam keadaan pucat dan lemah.
            Wulan mendekati Kosim. “Jadi, Mas ini teman Taufan yang pelukis itu?” tanyanya, kemudian mengenalkan diri. “Taufan pelukis yang berbakat.” Dia menceritakan kalau Taufan telah melukis dirinya dan kakeknya.
            “Sangat berbakat!” kata Kosim dengan tegas.
            Pintu ruang UGD terbuka, Papa keluar sendirian dan langsung mendekati Wulan. “Taufan ingin bertemu denganmu. Papa berkata dengan nada rendah tidak seperti saat upacara wisuda yang berbicara dengan nada tinggi kepada Wulan. Tanpa komentarr apa-apa Wulan langsung ke ruang UGD.
            Wajah Papa menegang saat melihat Kosim dan Dayat. Lintang yang melihat gelagat kurang baik langsung memegang tangan Papa dan menyuruhnya untuk duduk. “Bukan waktunya untuk berdebat Pa,” bisiknya, lalu menanyakan tentang keadaan Taufan.
“Taufan sebaiknya kita pindahkan ke rumah sakit yang lebih besar dan lengkap atau sekalian rumah sakit di luar negeri yang canggih peralatannya.”
            “Memangnya kenapa Pa?”
            Papa menghela nafasnya lalu menggelengkan kepalanya. Tubuh Lintang langsung menjadi lemas melihat reaksi Papa. Bayu memegang dan merangkulnya. Papa menyuruh Bayu untuk membawa Lintang pulang. Namun Lintang menolak, dia ingin menemani Taufan. Sekar yang duduk tidak jauh dari mereka ikut menjadi lemas badannya. Tak terasa sebutir air mata meluncur di pipinya.
***
            Wulan berdiri sambil mengusap air mata yang jatuh dipipinya. Dia tidak tega melihat Taufan berbaring tak berdaya dengan selang-selang ditubuhnya. Dipegangnya tangan Taufan yang kurus dan lemas. Laki-laki tampan itu menyebut namanya dengan lirih kemudian terdengar ucapan terima kasih yang terbata-bata dan parau.
Wulan mengangguk sambil berusaha tersenyum. “Istirahatlah, biar kamu cepat sembuh.” Mama yang berdiri diseberangnya tak henti-hentinya mengusap air mata dengan tangannya.
Taufan mengedipkan matanya, dan tiba-tiba terdengar erangannya, nafasnya tersengal-sengal. Dua orang dokter dan dua perawat langsung menanganinya. Wulan dan Mama nampak panik. Salah seorangg perawat meminta mereka untuk menunggu di luar. Sebelum keluar mereka sempat melihat Taufan terbatuk dan muntah darah.
            Mama dan Wulan keluar ruangan. Mama langsung menubruk Papa dan menangis. Sekar mendekati Wulan. “Bagaimana keadaannya?” Wulan tidak menjawab, dia hanya memandangnya dengan air mata yang mengalir dikedua pipinya. Mata Sekar pun kembali berkaca-kaca.
***
            Taufan yang terombang-ambing di laut menerima uluran tangan dari laki-laki di atas perahu. Dia pun  naik ke perahu. Laki-laki itu kemudian memberinya sebotol air mineral. Setelah meminum habis air tersebut, Taufan merasa tenaganya sedikit pulih dan pengelihatannya jauh lebih jelas. Dia melihat-lihat kesekelilingnya.
            “Apa yang kamu cari?” tanya laki-laki itu.
            “Keluargaku! Aku mencari keluargaku! Dimana mereka!”
            Laki-laki yang sedang mendayung itu tersenyum. “Jadi mereka itu keluargamu? Tidak perlu kuatir, mereka selamat dan baik-baik saja.”
            “Dimana mereka!”
            “Mereka berada di tempat yang semestinya.”
            “Kamu yang menolongnya?”
Laki-laki itu menggeleng. “Bukan. Mereka ditolong oleh orang lain. Oh iya, aku Baruna, Siapa namamu?”
“Aku Taufan.”
“Taufan, maukah kamu ikut bersamaku?”
“Kemana? Tapi aku ingin bertemu keluargaku.”
“Mereka yang akan menemuimu di sana.”
“Dimana?”
Baruna menunjuk ke arah matahari tenggelam. “Mereka akan menemuimu di sana. Seperti juga keluargaku yang akan menemuiku di sana. Jadi, maukah kamu ikut denganku?”
Taufan mengangguk. “Baiklah.”
Kapal yang dinaiki Taufan dan Baruna pun bergerak menuju matahari tenggelam.
***
           
(Mau tau lanjutannya...jangan lupa baca episode 28 yaaaa.....)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)