Cerpen KETIKA MBAK LIES BERTEMAN DENGANKU
KETIKA
MBAK LIES BERTEMAN DENGANKU
Oleh:
Eka D. Nuranggraini
Mbak Lies, begitulah aku
memanggil wanita cantik berkulit putih bersih dan berambut indah hitam sebahu itu.
Mbak Lies tinggal di perumahan elit yang bersebelahan dengan kampungku, yang
terpisah oleh sebuah sungai kecil dan sebuah tembok pembatas. Aku berkenalan
dengan Mbak Lies di butik batik tempatku bekerja. Waktu itu Mbak Lies sedang
melihat-lihat koleksi busana muslim di butikku. Mbak Lies melihat dan
memperhatikanku, kemudian tersenyum dan menyapaku.
“Hei, aku sepertinya mengenal
kamu, kamu tinggal di di kampung di sebelah...?” kata Mbak Lies menyebutkan
nama perumahan elit di sebelah kampungku.
“Iya Bu, memang benar saya
tinggal di kampung itu,” jawabku
Mbak Lies mengatakan dia sering
melihatku berjalan di jalan setapak di belakang tembok pembatas di belakang
rumahnya. Dia mengatakan kalau rumahnya memang berada di blok paling belakang
dekat dengan tembok pembatas. Dia sering berada di jendela di lantai dua yang
menghadap ke kampungku juga ke sungai kecil, jadi dari situ dapat melihat siapa
saja yang berjalan di jalan setapak pinggir sungai kecil. Ya, aku memang selalu
berjalan melewati jalan setapak di sebelah sungai di belakang tembok pembatas perumahan
itu setiap berangkat atau pulang kerja. Tidak hanya aku, banyak orang di
kampungku juga melewati jalan itu, karena itu adalah jalan pintas terdekat dari
perkampunganku untuk mencapai jalan raya.
“Liestyana. Panggil saja Lies. Mbak Lies saja,
jangan Bu, karena sepertinya umur kita bertaut tidak terlalu jauh.” Mbak Lies
memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan
kepadaku.
“Sekar,” aku menyebutkan namaku
sambil menyambut uluran tangannya.
Hari itu Mbak Lies membeli dua potong
rok batil dari butik tempatku bekerja.
***
Sejak perkenalan di butik itu,
aku akhirnya berteman dengan Mbak Lies. Mbak Lies sering menghampiriku setiap
aku pulang kerja dan mengajaknya untuk pulang bersama. Mbak Lies mempunyai
sebuah salon kecantikan yang cukup besar dan terkenal dan dia hanya tinggal
bersama seorang pembantu dan seorang tukang kebun di rumah besarnya. Wanita
cantik itu beberapa kali mengajakku main ke rumahnya, tapi belum pernah aku penuhi
permintaanya. Bagaimana tidak, aku merasa tidak enak memasuki rumah mewahnya,
Suatu hari Mbak Lies mengutarakan
ingin ke rumahku. “Untuk apa Mbak?” tanyaku, “rumahku tidak sebagus rumah Mbak
Lies, di kampung lagi, tidak ada yang istimewa, nanti malah membuat Mbak Lies
tidak nyaman.” Mbak Lies tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa, dia ingin
melihat kampungku dari dekat, dan merasakan bagaimana suasananya, karena selama
ini hanya melihatnya dari jendela rumahnya saja.
***
Aku akhirnya memenuhi permintaan
Mbak Lies untuk ke rumahku.
“Pantas saja kamu selalu
mengambil jalan lewat belakang perumahan ya Sekar, ternyata kalau lewat jalan
cukup jauh,” kata Mbak Lies setelah menghentikan mobilnya di depan rumahku. Aku
hanya tersenyum.
“Wah, rumahmu bagus juga, Sekar,
kecil mungil tapi kelihatan indah, rapi, juga terasa nyaman,” puji Mbak Lies
ketika memasuki rumahku. Aku memperkenalkan Mbak Lies kepada keluargaku. Pada saat
yang sama Fajar datang ke rumahku.
“Eeeh, Fajar. Ayo silakan masuk,”
kata ibuku keika melihat Fajar.
Fajar adalah temanku sejak kecil, rumahnya
beda RW dengan rumahku, kini berprofesi sebagai guru di sebuah SMK.
Fajar mengatakan kalau dia
mengantarkan kue dari ibunya. Aku melihat Fajar terkejut ketika melihat
keberadaan Mbak Lies di rumahku, begitu juga dengan sebaliknya. “Mbak, kok bisa
ada di sini?” tanyanya kepada Mbak Lies.
“Kalian saling kenal?” tanyaku heran.
Mbak Lies dan Fajar mengiyakan. “Iya,
kami bebeapa kali bertemu, secara tidak sengaja,” kata Mbak Lies tersenyum.
Fajar mengatakan hal yang sama, kalau
perkenalannya dengan Mak Lies secara tidak sengaja, waktu itu sore hari
sepulang dia mengajar, di jalan melihat mobil yang mogok, dari dalam mobil
keluar wanita, kemudian dia menghampirinya dan menanyakannya ada apa. Wanita
itu mengatakan mesin mobilnya tiba-tiba berhenti. Fajar membantu memperbaiki
mobilnya, agar bisa jalan untuk sementara sebelum dibawa ke bengkel. Mereka pun
berkenalan. Mbak Lies tidak menyangka kalau Fajar tinggal di kampung sebelah
perumahannya. Lalu secara tidak sengaja, mereka beberapa kali bertemu di jalan
“Aku tidak menyangka akan bertemu
lagi Fajar di rumahmu, Sekar,” kata Mbak Lies.
“Kami sudah berteman sejak kecil
Mbak,” tukas Fajar.
“Oh yah? Wah, kebetulan sekali,
jadi kita bertiga bisa menjadi teman,” Mbak Lies menatapku dan Fajar secara
bergantian.
***
Mbak Lies menjadi temanku. Beberapa
kali, saat aku libur kerja, Mbak Lies mengajakku pergi, entah itu ke salon,
makan siang di cafe, ke mall untuk membeli aksesoris, baju dan sepatu. Entah
kenapa aku menurut saja ajakannya, mungkin kata-katanya begitu manis sehingga
aku tidak kuasa untuk menolaknya.
Kata ibuku, beberapa kali wanita
cantik itu datang ke rumahku saat aku belum pulang kerja, dan dia selalu membawa
oleh-oleh setiap kali datang, dari mulai buah-buahan, kue sampai masakan Padang
kelas satu. Tapi jujur saja, aku merasa tidak nyaman berteman dengan Mbak Lies,
tidak seperti aku berteman dengan teman-temanku lainnya. Hal ini mungkin disebabkan
terlalu banyak perbedaan diantara kami. Untung saja, aku tidak pernah diajaknya
berkumpul dengan teman-temannya. Yah, tentu saja tidak, karena aku bukan
kelasnya mereka, lagipula aku juga tidak mengharapkannya. Jika bersama mereka pun
mungkin aku hanya akan jadi kambing congek saja. Aku tidak tahu dan mengerti
dunia mereka dan mungkin mereka juga tidak mau tahu tentang duniaku.
***
Semakin hari aku merasa ada
sesuatu yang disembunyikan Mbak Lies dalam pertemanannya denganku. Hal ini aku
rasakan setelah aku mendengar kata-kata Mbak Lies tentang Fajar. “Fajar itu
laki-laki yang menarik. Sosok laki-laki yang didam-idamkan hampir oleh semua
wanita.” Aku hanya tersenyum mendengarnya, dalam hati aku membenarkan apa yang
dikatakannya. “Dia berhak mendapatkan seorang perempuan yang berkelas daripada
seorang perempuan kampung biasa. Benar begitu kan, Sekar? Sebagai temannya
sejak kecil kamu pasti menginginkan yang terbaik buat dia kan?” Aku tersenyum
kecut mendengar perkataannya, dan kurasakan wajahku memanas. Setiap kali
bertemu, Mbak Lies tidak pernah lupa menanyakan tenang Fajar dan selalu memberi
komentar tentangnya, tentang bagaiamana dia sekarang dan bagaimana dia
seharusnya. “Kalau dipikir-pikir, jika sedikit didandani yang tepat dan
dipoles, Fajar itu keren lho, Sekar, tidak kalah dengan para model,” begitulah
kata Mbak Lies. Aku hanya terdiam, dalam hatiku mengatakan Fajar sudah jauh
sempurna dan baik yang sekarang ini tanpa harus didandani ataupun dipoles.
***
Sabtu sore, aku pergi ke rumah
Fajar untuk mengantarkan kain batik pesanan ibunya dari butikku. Aku
menghentikan langkahku ketika melihat sebuah mobil keluar dari halaman rumah
Fajar, dan jantungku seakan-akan berhenti berdetak ketika mengenali mobil
tersebut. “Itu mobil Mbak Lies,” benakku. Aku bertemu dengan ibunya Fajar, yang
seperti biasanya menyambut gembira setiap kali aku datang. “Ini kainnya, Bu,”
kataku sambil menyerahkan bungkusan yang berada di tanganku. Ibunya Fajar
bermaksud mengganti uang pembelian kerudung tersebut, tapi aku menolaknya.
“Kalau begitu, terima kasih
sekali,” kata ibuna Fajar.
Aku kemudian menanyakan tentang
Mbak Lies yang baru saja pergi. Ibunya Fajar mengatakan kalau Mbak Lies ingin
bertemu Fajar dan ingin memberikan bingkisan sebagai ucapan terima kasih karena
telah menolongnya, tapi Fajar sedang tidak di rumah.
“Wanita itu sudah tiga kali
datang ke rumah. Entah kenapa ibu tidak terlalu suka dengan kedatangannya,”
kata Ibunya Fajar.
Malam harinya aku susah sekali
untuk memejamkan mata. Aku teringat dengan Mbak Lies dan kedatangannya yang sudah
tiga kali ke rumah Fajar. Aku gelisah dan merasa ada sesuatu dengan Mbak Lies
terhadap Fajar. Aku cemburu! Bagaimana aku tidak gelisah dan cemburu, Fajar
adalah kekasihku, kami telah menjalin hubungan sudah hampir lima tahun! Dan
dalam waktu dekat, Fajar akan melamarku! Aku terduduk di ranjangku. “Kenapa
harus hadir Mbak Lies! Wanita yang segala sesuatunya jauh di atasku!” Aku
menyesali pertemuan dan perkenalanku dengan Mbak Lies.
***
Mbak Lies mengajakku ke sebuah
cafe setelah menjemputku seusai kerja. Aku dan Mbak Lies duduk di pojok cafe
tersebut. Kami berdua hanya memesan minuman dan makanan ringan. Untuk beberapa
saat duduk dalam kebisuan, berkutat dengan pikiran kami masing-masing. “Apa sebenarnya yang diinginkan
Mbak Lies?” benakku bertanya.
“Tinggalkan Fajar!” kata Mbak
Lies tiba-tiba setelah meneguk lemon tea
dinginnya. Aku sontak terkejut, bagaikan mendengar suara petir yang pecah tepat
di samping telingaku. Aku terdiam dan berusaha mengatur nafasku, mencoba
tersenyum, dan menganggap Mbak Lies sedang bercanda.
“Ada apa memangnya Mbak?”
“Aku tahu, kamu adalah kekasih
Fajar!” Aku terdiam tapi merasa lega, akhirnya Mbak Lies tahu kalau Fajar
adalah kekasihku. “Tinggalkan Fajar!” Mbak Lies mengulangi kata-katanya.
Aku menatap tajam Mbak Lies,
“kenapa aku harus meninggalkan Fajar?! Hubungan kami baik-baik saja selama
ini!”
“Karena aku mencintainya!” kata
sambil Mbak Lies menatapku tajam. Aku merasa dunia sekelilingku berhenti,
nafasku sesak, kepalaku menegang, seakan telah dialiri listrik tegangan tinggi. Yang aku takutkan akhirnya
terjadi.
***
Malam harinya aku benar-benar
tidak bisa tidur. Aku berusaha memejamkan mataku tapi tidak juga berhasil. Cerita
Mbak Lies waktu di cafe seperti suara petir yang tiada henti-hentinya menggema
di telingaku.
Mbak Lies tersenyum sinis. “Kamu
pikir, untuk apa aku berkenalan dan berteman dengan kamu, Sekar! Semuanya tidak
ada yang kebetulan, semuanya aku sengaja. Aku jatuh cinta pada Fajar sejak
pertama aku bertemu! Aku tertarik dengannya. Laki-laki yang membuatku kehidupanku
akhir-akhir ini terasa berbeda. Aku merasa dianggap sebagai wanita pada
umumnya. Aku merasa senang dan bahagia.” Mbak Lies memotong pie apel yang ada
didepannya dengan pisau dan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya.
Aku masih terdiam tidak tahu harus berkata apa. Setelah habis potongan pie di
mulutnya, Mbak Lies mulai berbicara lagi. “Sekali dua kali, memang tidak
sengaja aku bertemu dengannya, selanjutnya, aku yang mencarinya dan aku buat sedemikian
rupa supaya menjadi sebuah kebetulan. Kamu tahu kenapa aku selalu membuka
jendela lantai dua rumahku dan selalu memperhatikan kampungmu, Sekar? Yah, agar
aku bisa melihatnya dan berharap dia jalan di jalan yang biasa kamu lalui, tapi
ternyata dia jarang sekali melewati jalan itu. Aku hanya melihatnya sekali,
ketika kampungmu mengadakan kerja bakti membersihkan sungai, setelah itu aku
tidak pernah melihatnya lagi. Lalu timbul ide, bagaimana bisa berada dekat
dengannya dan masuk ke kampungnya, karena kalau tiba-tiba aku memasuki
kampungmu dan menanyakan tentang Fajar, apa nanti kata dia juga orang-orang
kampungmu. Aku tidak ingin dia menganggapku buruk.” Mbak Lies menghela
nafasnya. “Sampai akhirnya aku melihatmu melewati jalan belakang perumahan itu.
Ide itu muncul begitu saja, aku harus mengenalmu dan berteman denganmu untuk
bisa masuk kampungmu dan mengenal dekat dengan Fajar, karena kurasa kau yang
paling tepat menjadi temanku, karena kita hampir sebaya. Aku membuntutimu,
mencari tahu dimana kamu kerja. Dan akhirnya hari itu, aku mengenalmu!” Mbak
Lies tersenyum, “kamu pikir untuk apa kau masuk ke butik kecilmu? Aku bisa
masuk ke butik besar dan terkenal!” Aku menatap Mbak Lies dengan tajam, dadaku
terasa sesak. “Aku akhirnya bisa masuk ke kampungmu, dan secara tidak sengaja,
kedatangan pertamaku di rumahmu bersamaan dengan Fajar. Aku senang! Tapi aku
juga curiga! Dan ternyata kecurigaanku benar, kalian berpacaran! Tapi tidak!
Aku tidak menyerah begitu saja, janur kuning belum melengkung! Dengan berbagai
alasan aku mengunjungi rumahmu, aku sengaja pergi ke rumahmu ketika kamu tidak
berada di rumah, dan dari ibumu aku tahu alamat rumah Fajar!” Mbak Lies
tertawa. “Dan dengan berbagai alasan pula, aku datangi rumah Fajar!”
“Kenapa harus Fajar! Padahal Mbak
sudah tahu kami berpacaran, kami saling mencintai sudah sejak lama!” Aku
berusaha menahan emosiku.
“Sudah aku katakan padamu, Sekar.
Karena aku mencintainya, aku senang dan bahagia jika bersamanya! Dan kamu tahu
Sekar, aku tidak ingin kebahagiannku hilang begitu saja. Sudah dari kecil, apa
yang aku inginkan harus tercapai!”
“Kebahagiaan apa?! Kebahagiaan
yang dirampas dari kebahagiaan orang lain?!” emosiku meningkat. “Semua orang
berhak untuk berbahagia! Bukan hanya milik orang-orang seperti Mbak!” Aku
berdiri dan meninggalkan Mbak Lies.
Aku menghela nafasku dalam-dalam.
“Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menceritakannya pada Fajar? Atau aku
diamkan begitu saja? Bagaimana kalau Mbak Lies semakin menjadi-jadi? Terus,
bagaimana kalau ternyata Fajar meynukai Mbak Lies?!” rasa takut tiba-tiba
merasuki perasaanku. Aku menggulungan badanku dan memeluk bantal.
***
Beberapa hari setelah percakapan
di cafe tersebut aku tidak pernah bertemu dengan Mbak Lies lagi. “Mungkin Mbak
Lies tersinggung dengan apa yang aku katakan,” pikirku. Tapi aku bersyukur
tidak lagi bertemu dengannya dan aku juga berharap kalau dia tidak menemui
Fajar lagi.
Fajar menemuiku dan mengajakku
keluar, katanya ada yang ingin dibicarakan denganku. Aku bertanya-tanya dalam
hati, apa yang sebenarnya ingin Fajar bicarakan denganku? Ada rasa gelisah
tiba-tiba menyelimutiku, bayangan Mbak Lies yang tersenyum penuh kemenangan
berputar-putar di kepalaku.
Aku dan Fajar duduk di sebuah
bangku dalam warung bakso. Entah kenapa bakso yang biasanya enak rasanya terasa
hambar di mulutku. Kulihat Fajar masih menikmati baksonya, seperti biasanya
sikap dan mata beningnya selalu menunjukkan ketenangan yang luar biasa.
“Kenapa Sekar, sepertinya kamu
sedang tidak bernafsu makan bakso kesukaanmu ini?” tegur Fajar.
Aku hanya tersenyum dan mengatakan tidak ada
apa-apa. “Mulutku agak sedikit sariawan,” aku memberikan alasan, dan tampaknya Fajar
mempercayainya.
“Mbak Lies mengatakan kalau dia
menyukaiku!” kata Fajar tiba-tiba. Aku menatap tajam Fajar. Dadaku terasa sesak
seperti baru saja ditindih batu besar. “Aku mengatakan kalau aku sudah
mempunyai kekasih yang sangat aku cintai,” lanjut Fajar. Aku merasa ada
hembusan udara segar merasuk dadaku yang terasa sesak. “Mbak Lies tidak mau
tahu, dia mengatakan selagi janur kuning belum melengkung, semua laki-laki dan
wanita masih bebas. Aku bilang tidak, hati dan perasaanku sudah tidak bebas
lagi, karena aku sudah jadi miliknya dan dia sudah jadi milikku. Mbak Lies tertawa
dan mengatakan kalau aku bodoh. Aku bilang aku akan melamarnya dalam waktu
dekat. Mbak Lies tiba-tiba marah, dia menanyakan siapa wanita itu. Aku menjawab
kamu, Sekar.” Tiba-tiba aku merasa batu yang menindih dadaku terangkat, aku
seperti mau melayang. “Dia mengatakan kalau kamu tidak pantas untukku, dan aku
tidak pantas untuk kamu. Dia menyuruhku untuk meninggalkan kamu. Aku bilang
tidak, karena kamulah satu-satunya wanita yang aku cintai, karena kamu adalah
temanku, sahabatku, adikku, kakakku, ibuku dan kekasihku, kamu adalah wanita
sempurna untukku. Mbak Lies bertambah marah. Dia mengatakan kalau dia jauh
lebih baik dari kamu, Sekar, dia dapat memenuhi apa yang aku inginkan, baik
lahir dan batin.” Fajar behenti sesaat untuk meneguk minumannya. Dia memohon
padaku,” Lanjut Fajar, “dia mengatakan kalau dia benar-benar menyukai dan
mencintaiku. Bersamaku dia merasakan kebahagiaan dan ketulusan, tidak seperti
dengan laki-laki yang pernah dekat dengannya. Kemudian dia mengatakan kalau dia
selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, dia tidak suka dan benci kalau
keinginannya tidak terkabulkan.” Aku masih terdiam tidak tahu harus memberi
komentar apa. Terdengar lagi suara Fajar, “tidak! Aku bilang tidak. Aku bukan
benda atau barang, aku laki-laki yang punya hati dan perasaan. Dan masalah hati
dan perasaan tidak ada yang bisa dipaksakan, kecuali Tuhan yang mengubahnya.
Aku mengatakan, Mbak Lies adalah adalah wanita cantik yang sempurna, dia pasti
akan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari aku dan lebih pantas
untuknya. Mbak Lies terdiam, dan kelihatan marah. Kemudian pergi
meninggalkanku. Sekar, ini terjadi sekitar empat hari yang lalu.” Aku melihat
Fajar menghela nafasnya, ada tatapan bersalah di matanya. “Sebenarnya aku ingin
langsung mengatakannya kepadamu, tapi aku putuskan untuk tidak mengatakannya,
karena aku pikir ini tidak berhubungan dengannmu, ini adalah masalah Mbak Lies
dengan aku, dan aku tidak ingin membuatmu kecewa, karena aku lihat kamu dan
Mbak Lies berteman baik.” Aku tersenyum, dan benar-benar aku merasa lega, semua
beban dan kegelisahan menguap begitu saja setelah mendengar cerita Fajar. Aku
kemudian menceritakan juga pertemuanku dengan Mbak Lies. Fajar pun terkejut
mendengarnya. Aku yakin Mbak Lies menemuiku setelah menemui Fajar dan tidak
berhasil utuk meyakinkannya.
“Dia benar-benar nekat!” kata
Fajar.
***
Sekembalinya ke rumah, aku
menerima sebuah surat tanpa perangko. Kata ibu surat itu diantarkan oleh orang
suruhannya Mbak Lies. Aku langsung membuka surat tersebut.
Sekar,
maafkan aku. Aku memang egois. Baru kali ini apa yang aku inginkan tidak aku
dapatkan. Aku marah, aku benci. Aku baru merasakan beginilah rasanya jika apa
yang kita inginkan tidak terpenuhi, dan beginilah rasanya jika cinta kita
ditolak oleh seorang laki-laki yang kita cintai, karena selama ini tidak ada
yang pernah menolakku. Sebelum menemuimu kamu, aku telah menemui Fajar, karena
aku berharap kalau tidak Fajar yang meninggalkanmu maka kamu yang akan
meninggalkannya. Tapi ternyata tidak semudah yang aku bayangkan, ikatan hati
kalian terlalu kuat. Aku kalah dan aku marah! Dan satu lagi, aku sangat malu!
Baik terhadap diri kamu dan Fajar, juga terhadap diri sendiri. Beberapa hari
aku mengurung diri di dalam rumah, aku malu jika nanti bertemu kamu dan Fajar
di luar.
Aku
akhirnya memutuskan untuk pergi jauh, ketika kamu membaca surat ini mungkin aku
sudah di dalam pesawat yang akan membawaku pergi jauh. Rumahku kini ditinggali
oleh kakak laki-lakiku bersama istrinya.
Sekar,
kumohon apa yang terjadi antara aku, kamu dan Fajar tidak diketahui oleh orang
lain, kecuali kita bertiga, cukup sudah rasa maluku. Sekali lagi, aku minta
maaf Sekar, semoga kamu mau memaafkanku, juga kepada Fajar. Dan, terima kasih,
kamu mau menjadi temanku.
Liestyana
Aku menghela nafas kemudian
melipat surat dari Mbak Lies, ada kelegaan mengembang di dalam hatiku. “Mbak
Lies, benar-benar sosok wanita yang tidak pernah aku mengerti,” benakku. Ada
sedikit rasa kasihan menyelinap di dadaku. Aku segera keluar dan pergi ke rumah
fajar, untuk memperlihatkan surat dari Mbak Lies.
|
Komentar
Posting Komentar