Cerpen "Gadis Cilik Berponi"
GADIS CILIK BERPONI
Oleh : Eka D.
Nuranggraini
Satrio
tertidur di kamar kost-nya sepulang kuliah. Meja belajarnya nampak sedikit
berantakan, buku-buku yang sebelumnya tersusun rapi menjadi berserakan karena terkena
lemparan tasnya. Sebuah buku terjatuh di lantai. Tahun ini adalah tahun pertama
Satrio menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas ternama di kota
Jogja. Di tempat kost-nya, Satrio satu kamar dengan Ardi, sepupunya yang
berasal dari Malang, Satrio sendiri berasal dari Purwokerto. Ardi kuliah pada tempat
yang sama dengan Satrio, hanya saja beda fakultas dan jurusan, juga beda
angkatan, karena Ardi sudah memasuki tahun ketiga.
Pintu
kamar terbuka perlahan. Ardi, laki-laki tampan berkulit putih itu masuk. “Sudah pulang, Yo?” tanya Ardi sambil meletakan tas kuliahnya di atas
meja belajarnya yang berseberangan dengan meja belajar Satrio. Tidak ada
jawaban dari Satrio, hanya terdengar dengkuran halusnya. “Waduh! Ini anak,
sore-sore begini tidur!” Ardi berjalan ke tempat tidur Satrio yang juga berseberangan
dengan tempat tidurnya. “Yo! Bangun! Sudah sore!” Ardi menggoyang-goyang tubuh
Satrio. Satrio menggeliat membalikkan tubuhnya. “Sore-sore tidur! Malu sama
anak-anak kecil di luar. Mereka jam segini sudah mandi dan bermain di luar!” Satrio
membuka matanya, “memangnya sekarang jam berapa?”
“Jam setengah lima, “ jawab Ardi
sambil membuka bajunya.
“Kamu baru pulang Di?” kata Satrio
sambil duduk di tempat tidurnya.
“Iya, tadi ke rumah teman dulu. Oh
iya, itu aku bawa martabak manis, “Ardi menunjuk sebuah bungkusan di atas meja
belajarnya di samping tas kuliahnya. “Aku mau mandi dulu.” Ardi keluar kamar.
Satrio
turun dari tempat tidurnya, berjalan ke meja belajar Ardi, membuka bungkusan
martabak manis, mengambilnya sepotong dan langsung dimakannya. “Ini pasti dari
Laras!” pikir Satrio sambil tersnyum. Tidak lama kemudian Ardi sudah muncul
kembali dengan badan dan wajah yang nampak segar. “Cepat sekali mandinya. Di?
Kamu beneran mandi apa cuma cipretin air ke badan?”
“Dingin Yo!” jawab Ardi sambil membuka
lemari bajunya.
“Di. Ngomong-ngomong, ini pasti
martabak pemberian Laras, ya?” Satrio tertawa.
“Enak saja! Aku beli sendiri, tahu!”
“Kenapa kamu tidak terima cintanya
sih, Di?” Satrio tertawa ketika sebuah handuk basah yang dilempar Ardi mengenai
mukanya. Satrio berlari keluar kamar untuk mandi sambil melempar balik handuk
basah tersebut.
Sepeninggal
Satrio, Ardi melihat meja belajar Satrio yang nampak berantakan. “Ya ampuun,
ini anak kebiasaan lempar tas sembarangannya tidak hilang-hilang dari dulu!”
Ardi mendekati meja belajar Satrio untuk mengambil sebuah buku yang terjatuh di
lantai. Ketika mengambil buku tersebut, selembar foto berukuran postcard tersembul keluar. “Foto apa
ini? Jangan-jangan foto pacarnya Satrio,” Ardi tersenyum sambil mengambil foto
tersebut. “Yah, ini sih foto si Tiyo waktu kecil. Foto ini pasti diambil waktu
mama-nya Tiyo baru melahirkan Maya, adik Tiyo,” Ardi memperhatikan foto
bergambar seorang wanita muda sedang duduk menimang bayi, disampingnya berdiri
seorang anak laki-laki yang sedang dirangkul seorang gadis cilik. “Tapi, siapa
gadis cilik berponi dan berkepang dua yang sedang merangkul Tiyo kecil ini?”
Satrio masuk kamar kembali sambil
menggigil. “Kamu benar Di, airnya dingin sekali!” Ardi tertawa. “Apa itu Di?” tanya Satrio ketika
melihat foto yang sedang dipegang sepupunya. Ardi memperlihatkan foto yang
dipegangnya. “Kamu dapat dari mana?” Satrio mengambil foto tersebut. Ardi
mengatakan kalau dia menemukannya pada buku Satrio yang terjatuh. Satrio memandang
foto yang kini berada ditangannya, kemudian diletakkan diatas meja belajarnya.
“Anak laki-laki jelek yang ada
difoto itu kamu kan, Yo?” Satrio tertawa sambil memakai kaos yang baru saja
diambilnya dari lemari.
“Tidak sholat ashar, Yo?”
“Sudah, di kampus!”
“Oh iya Yo, gadis cilik berponi dan
berkepang dua yang sedang merangkulmu di foto itu, siapa?” tanya Ardi sambil
membuka tas kuliahnya dan mengeluarkan buku-buku serta diktat-diktat kuliahnya.
Satrio
mengambil kembali foto yang diatas meja belajarnya, kemudian duduk di tepi
tempat tidurnya. Dipandanginya foto yang berada ditangannya, kemudian
tersenyum. “Dia tetanggaku.”
“Oh
yah? Sekarang gadis cilik itu pasti sudah besar dan menjadi gadis yang cantik,
karena aku lihat kecilnya sangat cantik dan lucu.”
“Aku
tidak tahu!”
“Lho!
Katanya tetanggamu, kok kamu tidak tahu?!”
“Dia
dan keluarganya pindah ke Jogja setelah lulus SD!” Satrio mengatakan kalau foto
itu diambil waktu dia kelas satu SD, satu minggu setelah kelahiran adiknya, dan
gadis cilik berponi tersebut duduk di bangku kelas tiga SD.
“Siapa
nama gadis cilik berponi itu?”
“Aku
memanggilnya dengan Mbak Ade,” Satrio memandang foto yang ada ditangannya. “Di
Jogja ini aku sedang mencarinya!”
“Apa!”
Ardi melihat Satrio sambil mengerutkan dahinya, menghentikan kesibukannya yang
sedang menata buku.
“Yah,
aku ingin mencari dan menemuinya. Aku ingin melihatnya lagi!”
Ardi
tertawa, kemudian berjalan dan duduk di samping Satrio. “Apakah gadis cilik
bernama Ade itu sangat berarti bagimu,Yo? Sampai kamu ingin sekali bertemu lagi
dengannya setelah bertahun-tahun.”
Satrio
tersenyum. “Usiaku tujuh tahun, dan baru duduk di bangku kelas satu SD saat
Maya lahir. Kamu tahu Di, bagaimana rasanya setelah tujuh tahun menjadi anak
tunggal, menjadi jagoan yang paling disayang dikeluarga, tiba-tiba datang
seorang adik perempuan?” Ardi tersenyum. “Rasa iri dan takut tidak disayang
mama papa lagi! Itulah yang kurasakan saat itu!”
“Terus,
apa hubungannya denga gadis cilik berponi dan berkepang dua itu?”
Satrio
menghela nafas. “ Waktu itu aku sedih dan marah! Aku lari ke belakang rumah.
duduk sendiri dan menangis!” Ardi tertawa. “Kemudian Mbak Ade mendatangiku.”
“Satrio,
kok menangis sendirian disini?” tanya gadis cilik berponi sambil duduk
disamping Satrio kecil. “Kenapa kamu
menangis? Seharusnya kamu senang, sekarang kamu punya adik bayi.” Satrio
menangis bertambah keras. “Lho, kok nangisnya tambah keras?” gadis cilik
berponi itu merangkul pundak Satrio. “Kamu kenapa? Ada yang nakal sama kamu?
Ngomong sama Mbak Ade, biar nanti yag nakal sama kamu Mbak Ade cubit sama jewer
telinganya!” gadis cilik berponi itu bangkit dari duduknya, berdiri sambil
berkacak pinggang, seperti seorang yang siap menantang. Satrio menggelengkan
kepalanya. “Terus kenapa?”
“Bapak
sama ibu sudah tidak sayang lagi sama Satrio! Bapak sama ibu lebih sayang sama
adik bayi!”
Gadis
cilik berponi itu merangkul pundak satrio sambil menepuk-nepuk dengan tangan
kecilnya. “Itu karena adik bayi masih kecil, belum bisa apa-apa, jadi bapak
sama ibu Satrio harus membantunya. Kalau Satrio kan sudah gede, jadi tidak
perlu dibantu lagi. Mbak Ade yakin, bapak sama ibu masih sayang sama Satrio.”
“Apa
betul begitu, Mbak Ade?”
Gadis
cilik berponi itu mengangguk. Satrio pun akhirnya tersenyum. “Kalaupun bapak
dan ibu tidak sayang lagi sama Satrio, kan masih ada Mbak Ade, yang akan selalu
sayang sama Satrio!”
“Sejak
saat itulah, Mbak Ade selalu menjadi temanku, sahabatku, kakakku juga
pelindungku. Dia selalu mengajakku setiap kali bermain, membelaku kalau ada
yang menakaliku juga selalu membagi jajanan yang dia punya!” jelas Satrio
sambil tersenyum.
“Dia
kan perempuan! Apa kamu juga diajak main boneka dan masak-masakan, Yo?! kata
Ardi tersenyum sambil memandang Satrio.
Satrio
tertawa. “Dia bukan gadis kecil seperti yang kau kira dan terlihat di foto.
Kelihatannya saja dia anak perempuan yang manis dan lucu dengan poni dan rambut
panjang yang dikepang dua, tapi sebenarnya sifatnya seperti anak laki-laki! Dia
selalu bermain dengan anak laki-laki, main sepeda, mobil-mobilan,
perang-perangan, main kelereng juga gambaran. Jarang sekali dia bermain boneka.
Bahkan dia menganggap dirinya adalah superman.” Satrio tersenyum. “Ibunya
pernah berkata kalau perempuan itu supergirl, bukan superman, tapi Mbak Ade
tidak mau tahu. Mungkin semua itu disebabkan Mbak Ade adalah satu-satunya anak
perempuan di keluarganya, dua kakaknya adalah laki-laki apalagi ditambah bapaknya
seorang polisi. Ibunya yang selalu mendandani Mbak Ade seperti layaknya anak
perempun dan selalu membelikannya boneka, mungkin takut sikap laki-lakinya
semakin menjadi-jadi.” Satrio tertawa.
Ardi
pun tertawa. “Terus, kenapa pindah?”
“Karena
tugas bapaknya. Juga karena kedua orang tua Mbak Ade yang memang asli Jogja.”
“Waktu
dia pindah, kamu sedih Yo?”
“Ya,
sangat sedih. Waktu itu aku naik kelas empat SD. Aku merasa kehilangan tetangga
yang sangat baik, kehilangan seorang teman, seorang kakak dan seorang
pelindung.” Satrio menghela nafas. “Ada satu kejadian yang selalu aku ingat.
Suatu hari kami main balapan gendong-gendongan saat hujan. Aku digendong Mbak
Ade balapan dengan teman-teman lainnya. Saking semangatnya, Mbak Ade tidak
melihat ada batu, Mbak Ade tersandung dan kami berdua terjatuh! Aku terlempar
dari gendongan Mbak Ade, tersungkur, keningku berdarah kena batu. Aku menangis.
Mbak Ade yang juga terjatuh bangun, berjalan mendekatiku, mengusap darahku,
berusaha membuatku diam, kemudian menggendongku sampai ke rumah dengan
terpincang-pincang. Sampai di rumah Mbak Ade menjelaskan apa yang yang terjadi pada
kami, dia menangis sambil meminta maaf kepada mama. Mama tersenyum dan
mengatakan tidak apa-apa. Mama mengobati luka di keningku juga lutut Mbak Ade
yang berdarah. Setelah menyuruhku mandi, mama mengantarkan Mbak Ade pulang ke
rumahnya.”
“Apa
yang terjadi dengan Mbak Ade?”
“Kata
mama, ibunya Mbak Ade meminta maaf sama mama karena telah membuat aku terluka
dan berterima kasih telah mengobati luka Mbak Ade. Mama sempat melihat Mbak Ade
yang dijewer telinganya oleh ibunya dan mengatakannya sebagai anak bandel!”
Satrio memperlihatkan bekas luka yang ada dikeningnya kepada Ardi, “bekas
lukanya masih ada sampai sekarang!”
Ardi
tertawa. “Wah, bekas lukamu mirip bekas luka Harry Potter, Yo!”
“Aku
ingat sekali waktu hari kepindahannya. Mbak Ade menangis, merengek tidak mau
ikut pindah, dia ingin tetap tinggal di Purwokerto.”
“Kasihan
sekali. Apa setelah kepergiannya, kamu sangat kehilangan dan merindukannya,
Yo?”
“Sangat!
Seminggu aku tidak mau bermain dengan teman-temanku yang lain. Aku hanya
memandangi rumahnya yang kosong.”
Pandangan mata satrio menerawang. “Dia gadis kecil yang sangat baik.
Pernah suatu hari dia mengambil makanan yang banyak dari rumahnya dan
memberikannya kepada seorang temannya yang tidak mampu. Dia juga pernah
mengambil beras satu plastik dari dapur ibunya untuk diberikan kepada seorang
pemulung yang kebetulan lewat didepan rumahnya, ibunya ingin marah tapi tidak
bisa.” Satrio tersenyum. “Dia pernah berkata kalau suatu hari ingin punya sawah
yang luas buat ditanam padi dan jadi beras, kemudian akan dibagikannya ke
orang-orang yang tidak mampu, biar tidak kelaparan lagi.”
“Wah,
gadis cilik yang baik dan sangat mulia hatinya.” Ardi tersenyum. “Jadi sampai
sekarang kamu belum melupakannya, Yo?”
Satrio
menggeleng. “Maka dari itu, setelah lulus SMA dan aku diterima kuliah di Jogja,
aku sangat senang. Aku membayangkan di Jogja bakal bertemu Mbak Ade kembali.”
“Apa
kamu tahu alamatnya di Jogja?” Satrio menggeleng. “Jogja ini luas Yo, ada kota
Jogja sendiri, Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo dan Gunung Kidul. Kamu tahu
dia berada dimana?” Satrio kembali menggeleng. “Terus, bagaimana kamu akan
mencari Mbak Ade-mu itu? Itu juga kalau dia masih ada di Jogja. Kalau pindah?!”
“Aku
yakin tidak pindah! Karena kedua orang tuanya asli Jogja!”
“Ya
orang tuanya, kalau ternyata Mbak Ade itu sekolah atau kuliah di kota lain?!”
“Setidaknya
bertemu dengan orang tuanya.”
“Kamu
tahu nama mereka?” Satrio menggeleng. “Mama dan papa sering memanggilnya dengan
Pak dan Bu Nono.”
Ardi
menghela nafas. “Nono itu bisa Sartono, Surono, Paino, Wartono dan masih banyak
sekali nama dengan kata No. Kalau nama lengkap Mbak Ade?” Satrio menggeleng
kembali. “Waduh Yo...Yo... bagaimana bisa mencarinya? Nama-nama kakaknya, kamu
juga pasti tidak tahu!”
“Aku
hanya tahu nama-nama panggilan mereke. Mas Didit dan Mas Koko. Aku tidak tahu
nama lengkap mereka.”
“Kamu
sudah cari di facebook, twitter aau jejaring sosial lainnya? Siapa tahu ada.
Biasanya orang-orang suka meng-upload foto-foto masa lalu atau masa kecil
mereka!”
“Aku sudah mencoba mencarinya, tapi tidak kutemukan Mbak Ade yang aku maksud!”
“Aku sudah mencoba mencarinya, tapi tidak kutemukan Mbak Ade yang aku maksud!”
Ardi
bangkit dari duduknya. “Susah juga mencarinya kalau begitu, Yo.”
“Aku
juga tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku berharap bisa menemukannya. Semoga
Tuhan mendengarkan permohonanku,” Satrio menengadahkan tangannya seperti orang
berdoa.
Ardi
tertawa. “Yah, semoga saja begitu.” Sepupu Satrio itu berjalan ke mejanya,
mengambil sepotong martabak dan memakannya. Tidak lama kemudian terdengar suara
adzan maghrib. “Maghrib Yo. Kita sholat dulu di musholla, setelah itu kita cari
makan malam.” Satrio bangkit dari duduknya, meletakkan foto yang dipegangnya di
atas meja, kemudian mengambil kain sarung dan berjalan keluar kamar, diikuti
oleh Ardi.
***
Satrio
pulang dari tempat kost Andy, teman kuliahnya, untuk meminjam sebuah buku dengan menggunakan
sepeda ketika melihat sebuah mobil smart
car menyenggol seorang bapak bersepeda yang membawa sekarung beras di
jalanan yang sepi. Sepeda itu oleng hingga karung beras yang dibawanya jatuh
dan isinya tumpah, tapi bapak pengendara sepeda itu tidak apa-apa. Satrio
segera berhenti, meletakkan sepedanya dan berlari ke arahnya. “Bapak tidak
apa-apa?” Bapak pengendara sepeda itu menggeleng. Satrio melihat karung beras
yang terjatuh lalu menggeser dan mendirikannya.
Pengendara
mobil membuka kaca jendela mobilnya dan mengeluarkan kepalanya. “Bapak tidak
apa-apa kan?” tanyanya kemudian.
“Tidak
apa-apa Mas,” jawab bapak pengendara sepeda.
“Maafkan
saya Pak, soalnya saya agak terburu-buru!”
“Hei!
Keluar!” teriak seorang perempuan yang datang tiba-tiba. Perempuan berkacamata
dengan rambut ekor kuda berdiri tepat di depan kepala pengendara mobil yang
sedang melongok dari jendela mobil. “Ayo keluar! Kalau tidak aku akan berteriak
biar semua orang datang kesini dan mengeroyok kamu atau aku laporkan ke
polisi!” Satrio terkejut dengan kedatangan perempuan berkaca mata tersebut.
Diperhatikannya perempuan itu sambil mengambil beras yang tumpah di jalan
dengan bapak pengendara sepeda menggunakan kedua tangannya.
Pengendara
mobil itu akhirnya keluar. “Aku sudah minta maaf dengan bapak itu!” katanya
sambil menunjuk bapak pengendara sepeda yang sedang mengambil beras yang
tumpah.
“Ambil
beras itu!” kata perempuan berkacamata kepada pengendara mobil.
“Tapi...”
“Kamu
mahasiswa?” Pengendara mobil itu mengangguk. “Mobil ini milik kamu?” Pengendara
mobil itu kembali megangguk. “Apa susahnya mengambil beras itu! Dengarkan! Satu
butir beras itu sangat berarti bagi bapak itu! Bagi kamu, mahasiswa kaya,
mungkin tidak ada harganya beras sebanyak itu! Sekarang ambil beras yang tumpah
itu, masukkan kembali ke dalam karung dan naikkan ke sepedanya!” Satrio terdiam
mendengar kata-kata perempuan berkacamata itu, pikirannya melayang ke sosok
Mbak Ade, gadis cilik berponi tetangganya yang kini sedang dicarinya.
“Tidak
apa-apa Mbak,” kata bapak pengendara sepeda yang nampak agak sedikit ketakutan.
Perempuan
berkacamata itu tiba-tiba menarik tangan Satrio. “Biarkan dia yang
mengambilnya!” Laki-laki pengendara mobil itu pun akhirnya mengambili beras
yang tumpah di jalan dan memasukkannya ke dalam karung. Setelah selesai
kemudian menaikkan karung beras tersebut ke sepeda, lalu kembali meminta maaf
kepada bapak pengendara sepeda itu dan ingin memberikannya sejumlah uang
sebagai ganti rugi, tapi bapak pengendara sepeda itu menolaknya.
“Terima
saja Pak, sebagai ganti rugi beras bapak yang tumpah dan kotor. Itu rezeki
bapak!” kata perempuan berkacamata itu tiba-tiba. Bapak pengendara sepeda itu
pun akhirnya menerimanya lalu pamit pergi.
Setelah
kepergian bapak pengendara sepeda, perempuan berkacamata itu mendekati
laki-laki pengendara mobil yang akan masuk kembali ke mobilnya. “Maafkan aku.
Bukan maksudku untuk berkata dan bertindak kasar sama kamu. Bagi kamu, beras
yang tumpah itu mungkin tidak seberapa dan tidak ada harganya, tapi bagi bapak
itu, beras sebanyak itu adalah jatah makan dia dan keluarganya untuk beberapa
hari, dan untuk mendapatkannya tidak mudah!” Laki-laki pengendara mobil itu
menunduk. “Apa kamu sedang terburu-buru?”
“Hanya
sedang ditunggu teman untuk nonton film,” jawab laki-laki pengendara mobil itu
malu, kemudian sebuah kata maaf terucap dari bibirnya.
Perempuan
berkacamata itu tersenyum. “Aku juga minta maaf,” katanya sambil mengulurkan
tangan untuk berjabat tangan. Laki-laki pengendara mobil itu pun tersenyum
sambil menyambut uluran tangannya, setelah itu masuk ke dalam mobil dan melaju.
Satrio berdiri mematung memperhatikannya. Perempuan berkacamata itu mendekati
Satrio. “Terima kasih kamu telah menolong bapak itu,” katanya sambil tersenyum
sambil menatap Satrio. Belum sempat Satrio membalas kata-katanya, perempuan
berkacamata itu sudah berlalu dari hadapannya, mengambil sepedanya yang
tergeletak begitu saja, kemudian mengayuhnya.
“Perempuan
yang unik dan aneh!” gumam Satrio sambil memandang kepergian perempuan
berkacamata itu. Setelah sosoknya menghilang di sebuah tikungan, Satrio pun
mengambil sepedanya kemudian kembali menaikinya dan mengayuhnya. “Senyumannya
sepertinya tidak asing bagiku!” benak Satrio. “Yah, mirip senyuman Mbak Ade!
Jangan-jangan dia memang Mbak Ade yang aku cari! Aduh, kenapa tadi tidak aku
tanyakan namanya!” Satrio memukul dahinya sendiri.
***
“Di,
siang tadi aku bertemu dengan perempuan cantik yang unik, juga aneh!” kata
Satrio kepada Ardi saat mereka makan di sebuah warung pecel lele selepas isya.
“Unik
dan aneh bagaimana?” tanya Ardi. Satrio kemudan menceritakan kejadian bapak
pengendara sepeda pembawa beras. “Unik juga perempuan yang kamu ceritakan itu
Yo. Gara-gara beras dia marah-marah, terus setelah itu minta maaf!” komentar
Ardi sambil tersenyum setelah selesai mendengar cerita sepupunya itu. “Dia
mahasiswa?”
“Sepertinya
begitu. Dan satu lagi Di, ketika aku melihat senyumnya, aku jadi teringat
dengan Mbak Ade!”
Ardi
tertawa. “Mestinya waktu itu kamu tanyakan namanya, Yo!”
“Dia
keburu pergi sebelum aku tanyakan namanya.”
“Ngomong-ngomong soal perempuan unik, aku juga
punya teman kuliah perempuan yang agak unik!”
“Seunik
apa?”
“Cantik
tapi galak!”
“Itu
sih biasa, Di!” Satrio tertawa.
“Tapi
dia sangat baik, sederhana, tidak centil dan apa adanya. Aku sering satu
kelompok dengannya dalam beberapa tugas kuliah!”
“Waduh!
Sebegitunya kamu memuji dia, Di. Jangan-jangan kamu suka dia!” Satrio tertawa.
Ardi terdiam, hanya seulas senyum tipis di bibirnya.
“Ardi!
Kamu makan disini juga?!” suara seorang perempuan dari arah samping kanan
membuat Ardi dan Satrio terkejut.
“Laras!!!”
kata Ardi.
“Wah,
kebetulan sekali. Jadi kita bisa makan bersama-sama, “ kata Laras tersenyum
sambil duduk di samping Ardi. Ardi tersenyum terpaksa sedangkan Satrio nampak
menahan tawanya.
“Malam
ini kita bakal makan gratis Di, berani taruhan, pasti Laras-mu ini dengan
memaksa akan membayar makan kita!” kata Satrio berbisik kepada sepupunya.
Ardi
menyikut Satrio. “Aku masih sanggup bayar sendiri!”
***
“Laras
itu seperti hantu! Ada dimana-mana! Tidak di kampus, di jalan, di warung pecel
lele! Di mana pun aku berada selalu saja bertemu dengannya!” kata Ardi sambil
melepas jaket dan menaruhnya di gantungan baju sebelah lemari.
“Mungkin
sudah jodoh!” Satrio tertawa. Ari tersenyum kecut. “Apa salahnya sih, Di? Apa
yang kurang dari Laras? Semua yang diinginkan laki-laki pada perempuan
sepertinya ada semua di Laras! Cantik, baik, kata kamu otaknya juga lumayan,
dan kaya!”
“Bukan
masalah itu Yo, tapi masalah ini!” Ardi menunjuk dadanya sendiri. “Ini masalah
hati dan perasaan!”
“Jadi,
di hatimu sudah ada perempuan lain?!” Ardi terdiam. “Jangan-jangan perempuan
unik yang kamu ceritakan itu yang kini ada di hatimu. Betul begitu, Di?!” tebak
Satrio sambil membuka bajunya dan menggantinya denga kaos. Tidak ada jawaban
dari Ardi. ”Kamu diam, berarti betul!” Satrio tertawa.
“Sok
tahu kamu Yo! Sudah ah! Tidak usah dibahas! Aku mau ke kamar mandi!” kata Ardi
sambil membuka pintu dan keluar kamar. Meninggalkan Satrio yang masih tertawa.
***
Satrio
sedang membuka-buka sebuah majalah otomotif di bagian majalah di sebuah toko
buku besar pada sebuah pusat perbelanjaan pada waktu minggu sore ketika seorang
perempuan berkacamata berdiri disampingnya. “Hei! Kamu yang waktu itu ikut
menolong, kan?” kata perempuan berkacamata itu tiba-tiba. Satrio menoleh ke arah
perempuan yang berdiri disampingnya. “Perempuan unik itu!” benaknya.
Diperhatikannya perempuan berkacamata yang kini mengurai rambutnya, hanya ada
sebuah bando hitam kecil yang melingkar di kepalanya. “Betulkan, kamu yang
waktu itu?” perempuan berkacamata itu kembali berkata. Satrio pun mengangguk
sambil tersenyum.
“Ni,
aku sudah dapat bukunya! Ayo sekarang kita pergi! Yang lain sudah menunggu!”
seorang perempuan lain menarik tangan perempuan berkacamata tersebut.
“Maaf
aku harus pergi!” kata perempuan berkacamata kepada Satrio. Satrio pun
tersenyum sambil memandangi kepergiannya. “Senyum itu! Ya, senyum itu mirip
sekali dengan senyuman Mbak Ade! Tapi dia bukan Mbak Ade! Tadi temannya
memanggilnya dengan nama Ni!” benak Satrio.
***
“Yo,
kamu mau kemana?” tanya Andy ketika melihat satrio bergegas bangkit dari
duduknya setelah selesai mata kuliah terakhir.
“Mau
mengembalikan buku-buku ke perpustakaan pusat. Kamu mau ikut?”
“Tidak.
Aku sudah ditunggu Agus di ruang senat,” jawab Andy.
***
Satrio
mengeluarkan beberapa buku dari tas ranselnya ketika sudah berada di depan meja
petugas perpustakaan. Bersamaan dengan itu selembar kertas ukuran kartu pos terjatuh
dari buku-buku tersebut. Satrio tidak menyadarinya hingga seseorang mengambilnya
dari lantai.
“Terima
kasih, Bu,” kata Satrio kepada petugas perpustakaan setelah selesai
mengembalikan buku-bukunya dan menerima kembali kartu perpustakaannya. Satrio
berbalik dan terkejut ketika melihat perempuan berkacamata dengan rambut ekor kuda
yang sedang berdiri memandang dengan serius selembar kertas ukuran kartu pos
yang dipegangnya. “Eh, Mbak, ketemu
lagi,” sapanya sambil tersenyum kepada perempuan berkacamata tersebut.
“Apa
ini milikmu?” kata perempuan berkacamata itu sambil membalikkan kertas dan
menunjukkannya kepada Satrio.
“Ya
ampuuun, kenapa aku masih menyelipkan foto itu dalam buku sejarah timur tengah
yang baru saja kukembalikan ke perpustakaan?! Pasti tadi terjatuh waktu aku
mengeluarkannya dari ransel!” benak Satrio.
“Apa
foto ini milikmu?” Perempuan berkacamata itu mengulag lagi pertanyaannya sambil
menatap tajam Satrio.
Satrio
tersenyum. “Iya. Mungkin tadi terjatuh sewaktu aku mengeluarkan buku dari
ransel.”
“Apa
anak laki-laki dalam foto ini kamu?” wajah perempuan berkacamata itu menegang.
Satrio
mengernyitkan dahinya. “Iya, itu memang aku. Memangnya kenapa, Mbak?”
“Kamu
Tiyo! Satrio!” teriak perempuan berkacamata itu hingga membuat sebagian orang
yang berada di perpustakaan melihat kearahnya. “Benar, kamu Satrio!” katanya kemudian
dengan volume suara yang dikecilkan. Satrio sontak terkejut. “Kamu tidak
mengenaliku, Tiyo?!” perempuan berkacamata itu menyodorkan foto yang
dipegangnya kepada Satrio. “Apa kamu sudah melupakan gadis cilik berponi yang
sedang merangkulmu ini?!” Satrio semakin terkejut, ditatapnya perempuan yang
berdiri didepannya tersebut. “Apa kamu tidak ingat Mbak Ade?! Superman kecil
yang menggendongmu dan membuatmu terjatuh saat hujan?!”
“Mbak
Ade!” Satrio menatapnya tidak percaya. Perempuan berkacamata itu mengangguk
sambil tersenyum. “Ini benar-benar Mbak Ade, gadis cilik tetanggaku di
Purwokerto?!” tanpa sadar Satrio memegang kedua lengannya.
“Iya.
Aku Mbak Ade, yang dulu menemanimu saat kamu menangis seorang diri di belakang
rumah.” Satrio tiba-tiba menarik gadis berkacamata itu dan memeluknya, hingga
kembali menjadi perhatian orang-orang. Satrio langsung menyadarinya lalu
melepaskan pelukannya. Perempuan berkacamata itu kemudian mengajak Satrio
keluar dan pergi ke kafetaria perpustakaan di lantai dasar gedung, melupakan
niatnya untuk mengembalikan buku perpustakaan.
“Aku
benar-benar tidak menyangka Mbak adalah Mba Ade! Aku benar-benar tidak
mengenalinya. Mbak Ade sekarang jauh berbeda dari Mbak Ade kecil yang dulu aku
kenal!” kata Satrio setelah duduk berhadapan dengan perempuan berkacamata yang
kemudian diketahuinya sebagai Mbak Ade gadis cilik berponi dan berkepang dua
tetangganya, di salah satu sudut di kafetaria.
Mbak
ade tertawa. “Aku juga tidak menyangka kalau kamu adalah Satrio, anak laki-laki
kecil yang menangis karena mempunyai adik baru.” Satrio tertawa. “Kamu sangat
berbeda sekali dengan Satrio kecil. Sekarang kamu tinggi dan ganteng!” Mbak Ade
tersenyum. “Bagaimana dengan adikmu, Maya?”
“Dia
sudah besar, sekarang sudah kelas satu SMP. Dia cantik tapi agak sedikit
tomboy!”
Mbak
Ade dan Satrio kemudian saling bercerita tentang keadaan keluarga dan kehidupan
masing-masing setelah mereka berpisah. Satrio mengatakan kalau dia sangat
kehilangan Mbak Ade, setelah kepindahannya. Begitu juga dengan Mbak Ade yang
sangat kehilangan teman-temannya, termasuk Satrio yang sudah dianggapnya
seperti adiknya sendiri.
“Oh
iya Mbak, apa keinginanmu untuk mempunyai sawah yang luas dan bertanam padi
sudah terwujud?” tanya Satrio sambil tersenyum. Mbak Ade hanya tertawa,
kemudian mengatakan kalau bapak-nya lah yang sudah mempunyai sawah, karena
setelah pensiun dari kepolisan bapaknya memutuskan untuk bertani di tempat
kelahirannya di Bantul.
“Aku
benar-benar ingin sekali bertemu dengan Mbak Ade!” kata Satrio, “waktu aku tahu
aku diterima kuliah di Jogja aku sangat senang, karena dalam pikiranku, di
Jogja aku pasti akan bertemu kembali dengan Mbak Ade.” Mbak Ade tertawa. “Tapi
aku tidak tahu informasi apa-apa tentag Mbak Ade. Sampai akhirnya aku bertemu
dengan seorang perempuan berkacamata yang marah-marah kepada seorang pengendara
mobil di jalan. Kemudian aku melihat Mbak tersenyum, dan senyuman itu mengingatkanku
pada Mbak Ade. Dalam hati kecilku, aku berharap kalau Mbak memang Mbak Ade.
Tapi setelah bertemu lagi dengan Mbak di sebuah toko buku, aku kecewa ketika
seorang temannya memanggilnya dengan nama lain, bukan Ade!”
Mbak
Ade tertawa. “Namaku memang bukan Ade! Tapi Seruni. Seruni Wulandari. Ade
adalah panggilan dari keluargaku yang berarti adik, karena aku adalah anak paling
kecil dan satu-satunya anak perempuan di keluargaku. Yah, boleh dibilang
panggilan sayang waktu kecil. Setelah masuk SMP aku sudah tidak dipanggil Ade
lagi.”
Satrio
tertawa. “Aku tidak pernah tahu tentang itu. Aku hanya tahu nama Mbak adalah
Ade. Pantas saja, aku cari di facebook, twitter dan jejaring soial lainnya aku
tidak menemukan Mbak.”
“Aku
memang tidak mempunyai facebook, twitter, atau yang lainnya! Ketinggalan sekali
aku, ya!” Mbak Ade tersenyum.
“Aku
punya, tapi tidak begitu aktif!” kata Satrio.
Mbak Ade mengatakan kalau dia tidak pernah
melupakan Satrio, adik laki-laki kecil kesayangannya. Saat bertemu dengan
Satrio untuk pertama kalinya saat menolong bapak pengendara sepeda yang membawa
karung beras, dia tidak dapat melupakannya, karena merasa sangat mengenal
tatapan mata Satrio, begitu juga saat bertemu untuk kedua kalinya di toko buku.
“Kamu ingat, waktu kita terjatuh saat balapan gendong waktu hujan?” tanya Mbak
Ade. Satrio mengangguk sambil tersenyum. “Kamu terluka di keningmu dan aku terluka
di lututku, yang kemudian diobati oleh mama kamu.” Satrio tertawa kecil. “Luka
itu membekas sampai sekarang!” Mbak Ade menggeser kursi yang didudukinya dan
berdiri, kemudian menarik celana panjang bagian bawahnya hingga ke lutut dan
memperlihatkan sebuah bekas luka yang berwarna coklat tua di lutut kanannya.
“Bekas luka ini yang selalu mengingatkan aku sama kamu, Tiyo!” Satrio
memperhatikan bekas luka tersebut. Mbak Ade kemudian menurunkan celananya dan
duduk kembali.
“Aku juga mempunyai bekas luka saat
itu,” Satrio menyibak rambut yang menutup kenibg sebelah kanannya. Terlihat
sebuah cekungan kecil dan bekas luka berwarna coklat.
“Ya
Tuhan!” Mbak Ade berdiri dan menyentuh bekas luka di kening Satrio. “Ini semua
karena aku ya?” katanya sambil tersenyum.
“Tiyo!
Runi!” Sebuah suara mengagetkan Satrio dan Mbak Ade. “Kalian rupanya saling
kenal!”
“Ardi!”
kata Satrio dan Mbak Ade bersamaan ketika melihat Ardi yang sudah berdiri di
antara mereka. Mbak Ade duduk kembali, dan nampak jelas perubahan rona wajahnya
ketika melihat Ardi. Satrio memperhatikannya.
“Kalian
salng mengenal?” tanya Satrio kepada Ardi dan Mbak Ade.
“Ardi
teman kuliahku, satu juruasan dan satu fakultas,” jawab Mbak Ade.
“Oh
ya!” Satrio nampak terkejut.
“Kalian
juga saling kenal?” Mbak Ade memandang Satrio dan Ardi secara bergantian.
“Satrio
sepupuku,” jawab Ardi.
“Ya
Tuhan! Betapa sempitnya dunia ini. Aku tidak menyangka, Ardi yang selama hampir
tiga tahun aku kenal adalah sepupumu, Yo!” Mbak Ade tertawa.
“Bagaimana
kalian saling mengenal?” tanya Ardi keheranan.
Satrio
tersenyum, kemudian mengambil foto yang ada di atas meja dan menunjukkan kepada
Ardi. “Kau ingat gadis kecil berponi dan berkepang dua yang ada dalam foto ini
yang pernah aku ceritakan, Di?” Ardi mengangguk. “Dia adalah Mbak Ade!” Satrio
menunjuk ke Mbak Ade yang tersenyum.
“Seruni?!”
kata Ardi menatap Mbak Ade dengan tatapan tidak percaya. Mbak Ade mengangguk.
“Ya Tuhan! Dunia benar-benar sempit!”
Satrio
tertawa. “Ardi pernah berkata kalau Mbak Ade waktu kecil sangat cantik dan
lucu, terus penasaran bagaimana besarnya.”
“Apa
betul begitu, Di?” tanya Mbak Ade dengan wajah nampak berseri.
“Nah,
sekarang kamu sudah tahu bagaimana rupa gadis cilik berponi itu setelah besar.
Bagaimana menurutmu Di?” Ardi tersinyum simpul.
***
“Yo,
ada yang mencarimu,” kata Ardi yang baru pulang kuliah kepada Satrio yang
sedang duduk ditempat tidurnya sambil membaca sebuah buku.
“Siapa?”
“Siapa
lagi kalau bukan gadis cilik berponi bekas tetanggamu itu,” jawab Ardi
tersenyum sambil meletakkan tas kuliahnya di atas meja belajarnya. “Sekarang
dia ada di teras depan.”
“Siang
ini aku akan jalan dengan Mbak Ade,” kata Satrio yang langsung menghentikan
kesibukannya dan berjalan keluar kamar.
Sepeninggal
Satrio, Ardi duduk di tepi tempat tidurnya.
“Kamu
pernah bertanya Yo, kenapa aku tidak bisa menyukai Laras? Dan aku tidak
menjawab ketika kamu bertanya apakah aku menyukai perempuan unik temanku?! Ya!
Aku memang menyukainya! Sejak pertama aku mengenalnya! Kamu tahu siapa dia Yo?!
Dia adalah Seruni! Gadis cilik berponi dan berkepang dua tetanggamu, yang kamu
kenal sebagai Mbak Ade!” Ardi menghela nafas. “Dan Runi, selama aku berteman
denganmu, aku tidak pernah melihatmu sebahagia ini, wajahmu berseri, tersenyum
dan tidak segalak biasanya sebelum kamu bertemu dengan Satrio, sepupuku yang
juga tetanggamu dan teman kecilmu dulu!” Ardi menunduk.
Di
teras, Satrio melihat seorang perempuan berkepang satu sedang memperhatikan sebuah
lukisan pemandangan di dinding. Satrio berdehem. Perempuan tersebut menoleh dan
tersenyum. “Mbak Ade!” Satrio terkejut melihat penampilan Mbak Ade yang tanpa
kacamata dan kini dengan rambut berponi.
“Bagaimana
Yo? Apa aku sudah mirip dengan gadis cilik berponi di foto itu?” Mbak ade
tersenyum. Satrio tertawa. “Tapi aku tidak berani lagi mengepang dua rambutku,
karena teman-temanku pasti akan mentertawaiku, jadi aku hanya mengepang satu
rambutku!”
“Apa
pun dan bagaimana pun penampilannya, Mbak Ade tetaplah Mbak Ade-ku yang dulu!”
kata satrio. Mbak Ade tersenyum. Keduanya kemudian pergi dengan berboncengan
motor yang dibawa Mbak Ade.
***
“Bagaiman kencannya Yo?” tanya Ardi
ketika melihat kedatangan Satrio.
“Kencan? Siapa yang kencan?” jawab
Satrio sambil duduk di kursi meja belajarnya.
“Kamu dengan gadis cilik berponi
itu!” Satrio tertawa. “Kamu pasti sangat senang ya Yo? Begitu juga dengan Runi,
kulihat dia berubah setelah bertemu denganmu. Dia kelihatan bahagia!
“Kamu
cemburu, Di?”
“Cemburu? Cemburu dengan siapa?”
“Karena aku jalan dengan Mbak Ade!”
Satrio tertawa. Ardi tersenyum sambil memainkan bolpen yang dipegangnya. “Mbak
Ade menyukaimu, Di!” Ardi terbatuk. Satrio tertawa. “Sudahlah Di. Kamu juga
jangan berpura-pura! Gadis unik yang pernah kamu ceritakan itu maksudnya adalah
Mbak Ade alias Seruni, kan?!” Ardi terdiam.
“Aku tidak bohong, Mbak Ade
benar-benar menyukaimu!”
“Bagaimana denganmu?”
“Aku!” Satrio tertawa. “Apa kamu
pernah mendengar aku mengatakan aku menyukai atau mencintai Mbak Ade? Aku hanya
menganggapnya sebagai kakak, begitu juga dengan Mbak Ade yang menganggapku hanya
sebagai adiknya. Satrio kemudian bercerita kalau Mbak Ade atau Seruni sudah
menyukai Ardi sejak lama.
“Benarkah?!” kata Ardi bersemangat.
Satrio
mengangguk. “Seperti itulah yang Mbak Ade katakan padaku.”
“Tapi dia kelihatan bahagia bersamamu sampai dia merubah penampilannya!”
Satrio tertawa. “Disamping bahagia karena memang bertemu denganku, juga karena aku adalah sepupumu, jadi banyak kesempatan dia bertemu denganmu, Di. Soal merubah penampilannya, apa kamu ingat ketika aku mengatakan di perpustakaan, kalau kamu pernah mengatakan kalau gadis cilik berponi dan berkepang dua di foto itu sangat cantik dan lucu? Mbak Ade ingin seperti itu, agar kamu bisa memujinya!” Ardi terdiam, tapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kalau dia kelihatan senang. “Lagipula aku dan Mbak Ade baru beberapa hari bertemu. Sedangkan kalian sudah saling mengenal hampir tiga tahun!”
“Tapi dia kelihatan bahagia bersamamu sampai dia merubah penampilannya!”
Satrio tertawa. “Disamping bahagia karena memang bertemu denganku, juga karena aku adalah sepupumu, jadi banyak kesempatan dia bertemu denganmu, Di. Soal merubah penampilannya, apa kamu ingat ketika aku mengatakan di perpustakaan, kalau kamu pernah mengatakan kalau gadis cilik berponi dan berkepang dua di foto itu sangat cantik dan lucu? Mbak Ade ingin seperti itu, agar kamu bisa memujinya!” Ardi terdiam, tapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kalau dia kelihatan senang. “Lagipula aku dan Mbak Ade baru beberapa hari bertemu. Sedangkan kalian sudah saling mengenal hampir tiga tahun!”
“Tapi
kamu telah mengenalnya sejak kecil!”
“Memang
benar, tapi sebagai anak-anak, sebagai teman kecil. Tapi aku belum mengenal
Mbak Ade yang sekarang ini, begitu juga sebaliknya!” Ardi kembali terdiam.
“Kamu benar-benar menyukainya, kan Di?”
“Ya!
Aku menyukainya sejak pertama aku mengenalnya!!”
“Begitu
juga dengan Mbak Ade! Dia pun sudah merasakan kalau kamu juga menyukainya. Tapi
kamu tidak pernah mengatakannya. Mbak Ade menunggu kamu mengungkapkan kalau
kamu menyukainya, Di. Tapi akhir-akhir ini dia agak sedikit cemburu, karena
kamu sering terlihat bersama Laras.”
“Laras
yang mendekatiku! Aku tidak pernah menyukainya!” nada suara Ardi agak sedkit
meninggi.
Satrio
tertawa. “Tenang saja, aku sudah mengatakan kalau kamu tidak menyukai Laras.
Aku bilang kamu menyukainya!” Ardi melotot kepada Satrio. “Katakan padanya,
kalau kamu mencintainya. Mbak Ade sudah terlalu lama menunggu ucapanmu!”
Ardi
tersenyum, hatinya merasa lega dan berniat esok hari akan mengatakan
perasaannya yang selama ini dia simpan kepada Mbak Ade atau Seruni.
{{|{{
Komentar
Posting Komentar