cerpen " RETNO DAN PANJI "

Liburan semester ini aku pergi seorang diri ke rumah simbah di desa, karena sudah lama aku tidak ke sana. Terakhir aku ke tempat simbah sekitar lima tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMP. Selain karena sudah lama tidak bertemu dengan simbah juga karena aku penasaran tentang Retno, kakak ayah yang sudah meninggal. Kata ayah, setelah aku dewasa, saat ini umurku menginjak dua puluh tahun, aku sangat mirip dengan Retno, wajah, cara bicara juga cara berjalannya.
***
Setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam dengan menggunakan kereta api ekonomi, disambung dengan menggunakan mobil angkutan umum sekitar setengah jam dan berjalan sekitar sepuluh menit akhirnya aku sampai juga di jalan yang menuju desa simbah, sebuah gapura besar bediri tegak di jalan masuk desa. Di depan sebelah kanan gapura tersebut berdiri sebuah tugu kecil yang merupakan tugu perbatasan antar desa.
Aku melihat seorang laki-laki berdiri di sebelah tugu perbatasan tersebut. Laki-laki itu sepertinya sedang memperhatikanku, aku tersenyum padanya, tapi laki-laki itu terdiam.“Laki-laki itu sepertinya terkejut melihatku. Memangnya ada yang salah denganku?” benakku sambil terus berjalan.  
Akhirnya sampai juga aku di rumah simbah. Kulirik jam tanganku, menunjukkan pukul empat sore. Aku mengetuk pintu rumah simbah. Rumah yang cukup besar dengan arsitektur lama. Di rumah besar tersebut tinggal simbah kakung, simbah putri, Bu Lek Asri, adik ayah, Pak Lek Trisno, suami Bu Lek Asri dan juga anak-anaknya, Bagus yang duduk di bangku kelas dua SMA dan Maya yang duduk di bangku kelas satu SMP. Bu Lek Asri yang membuka pintu, wanita ayu itu nampak terkejut ketika melihatku, sesaat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Pasti Bu Lek Asri mengira aku adalah hantunya Retno,” benakku. “Bu Lek, ini aku, Wulan, cucunya simbah dari kota!” kataku sambil tersenyum. Bu Lek Asri langsung menjerit dan memelukku, antara tangis dan tertawa menjadi satu. Orang-orang rumah pun menjadi heboh, apalagi simbah putri yang langsung menangis memelukku sambil menyebut nama Retno. Aku memang sengaja tidak memberi tahu kedatanganku, niatnya memberi kejutan, dan ternyata berhasil. Begitu juga dengan Mak Siti, wanita paruh baya yang membantu simbah dan Bu Lek Asri tak kalah terkejutnya ketika melihatku. Mak Siti tinggal bersama suaminya yang juga ikut membantu simbah untuk urusan sawah dan ladang. Mereka tinggal di sebelah rumah simbah.
Malam harinya, setelah selesai makan malam kami berkumpul di ruang tengah saling berbagi cerita dan kabar, dan tak henti-hentinya simbah kakung, simbah putri dan Bu Lek Asri mengatakan kalau aku sangat mirip dengan Retno, anak simbah yang pertama yang telah meninggal. Simbah mempunyai empat orang anak, yang pertama adalah Retno, Bambang ayahku, Pak Lek Asmoro yang tinggal di Surabaya dan Bu Lek Asri.
“Retno itu seperti apa sih, Bu Lek?” tanyaku. Seperti halnya ayah, Bu Lek Asri pun mengatkan hal yang sama tentang Retno.
Retno adalah seorang gadis cantik yang juga baik hati. Tapi sayang, tidak berumur panjang. Jantungnya tidak mampu lagi bertahan akibat kelainan yang dideritanya sejak kecil. Saat meninggal, usia Retno baru menginjak dua puluh tahun.
Aku memperhatikan foto Retno yang terdapat dalam album keluarga, dan memang benar, wajah Retno sangat mirip dengan aku, hanya badan Retno yang kelihatan lebih kurus dibandingkan aku.
***
Pagi hari, setelah sarapan pagi, aku meminta ijin untuk jalan-jalan. Ketika baru saja keluar pintu aku berpapasan dengan Mak Siti yang akan menjemur cucian. Wanita paruh baya itu menatapku dengan lekat. Mak Siti masih tidak percaya aku benar-benar mirip dengan Retno, yang merupakan sahabat dekatnya sejak kecil.
“Mau kemana Mbak Wulan?” tanya Mak Siti.
“Jalan-jalan Mak. Mau lihat suasana desa di pagi hari,” jawabku.
“Hati-hati Mbak, nanti kesasar,” kata Mak Siti sambil tersenyum.
***
Aku berjalan menyusuri jalan desa, udara terasa sejuk, kulihat orang-orang desa yang akan memulai aktiviasnya yang rata-rata sebagai petani. Ketika melewati sebuah areal persawahan, aku melihat seorang laki-laki yang sedang mengencangkan baut-baut pada traktor tangan untuk membajak. Laki-laki itu tiba-tiba menoleh kearahku, kemudian memperhatikanku dengan seksama.
 “Hei! Bukannya laki-laki itu yang aku lihat di tugu perbatasan?” pikirku setelah mengenali laki-laki itu. “Setelah aku perhatikan, dia ganteng juga,” aku tersenyum di dalam hati. 
“Rama! Traktornya sudah belum!” teriak seseorang dari tengah sawah.
Laki-laki itu menoleh, “sudah Pak! Sebentar aku bawa ke sana!” katanya sambil meletakkan obeng di saku celananya, kemudian mendorongnya menuju ke tempat laki-laki yang memanggilnya.
“Ooooh, jadi namanya Rama,” kataku sambil tersenyum.
Setelah puas berkeliling aku pun kembali pulang.
***
Siang harinya, aku melihat Mak Siti dan Bu Lek Asri sedang menyiapkan banyak nasi bungkus dan memasukkan ke dalam bakul. Mereka mengatakan kalau nasi-nasi tesebut untuk makan siang orang-orang yang sedang bekerja di sawah.
“Siapa yang akan mengantarkannya ke sawah?” tanyaku.
“Mak Siti Mbak,” jawab Mak Siti.
“Bu Lek, aku boleh ikut Mak Siti yah?” aku meminta persetujuan ke Bu Lek Asri. Wanita ayu itu mengangguk sambil tersenyum lembut.
Setelah selesai mengantarkan nasi bungkus lengkap dengan minumannya, aku dan Mak Siti kembali pulang. Saat di jalan, aku kembali bertemu dengan laki-laki itu, kini dia sedang membersihkan traktor tangannya yang penuh dengan tanah. Entah kenapa, aku merasa ada yang mendorongku untuk menghampirinya. Mak Siti memanggilku tapi tidak aku hiraukan.
“Rama,” sapaku tanpa basa-basi. Laki-laki itu menghentikan kesibukannya, nampak terkejut melihatku.
“Bagaimana kamu tahu namaku?” sebuah suara berat keluar dari bibir Rama.
“Apa kamu ingat, pagi tadi ada seseorang yang memanggil nama Rama, dan kamu menengok?” kataku. “Kita telah dua kali bertemu, di tugu perbatasan dan pagi tadi.”
Rama pun tersenyum. “Ada apa kamu memanggilku?”  
Jleg!!! Aku bingung harus menjawab apa.
“Eeeeeh Mas Rama, baru selesai membajak sawah?” suara Mak Siti menyelamatkan kebingunganku. Rama mengangguk sambil tersenyum. “Kalian sudah saling megenal?” tanya Mak Siti sambil memandang bergantian antara aku dan Rama.
“Belum Mak, kami hanya tidak sengaja bertemu,” jawab Rama tersenyum.
“Yah, kami sudah tiga kali ini bertemu secara tidak disengaja,” timpalku.
Mak Siti memandang aku dan Rama secara bergantian dengan tatapan yang menurutku agak sedikit aneh.
“Ada apa Mak?” tanyaku penasaran. Mak Siti tersenyum dan mengatakan tidak ada apa-apa, kemudian Mak Siti memperkenalkan aku kepada Rama. Setelah itu aku dan Mak Siti kembali berjalan sedangkan Rama kembali membersihkan traktornya.
“Melihat Mbak Wulan dengan Mas Rama, Mak seperti melihat Mbak Retno dengan Mas Panji,” kata Mak Siti sambil berjalan.
“Mas Panji?! Siapa dia, Mak?” tanyaku. Mak Siti terdiam, wajahnya tiba-tiba berubah dan mengatakan bukan siapa-siapa. Wanita paruh baya itu terus terdiam hingga sampai rumah. “Sepertinya ada yang disembunyikan Mak Siti tentang Retno,” benakku penasaran.
***
Sore hari, simbah putri, simbah kakung, Bu Lek Asri dan Pak Lek Trisno mengajakku untuk ikut pergi kondangan ke salah satu kerabat jauh di kecamatan tetangga, tapi aku menolaknya karena agak sedikit tidak enak badan. Aku berbaring di tempat tidurku. Tiba-tiba aku teringat kata-kata Mak Siti tentang Retno dan Panji. Aku merasa penasaran. Setelah terdiam beberapa saat aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke rumah Mak Siti.
“Lho, katanya Mbak Wulan sakit, kok malah ke sini, apa tidak istirahat saja di kamar?” tanya Mak Siti ketika melihat kedatanganku.
“Aku tidak apa-apa Mak. “ Mak Siti mengajakku masuk dan duduk di ruang tamunya yang sederhana namun terlihat rapi. “Mak, siapa Mas Panji itu?” tanyaku tanpa basa-basi.
Mak Siti menghela nafas, “mas Panji itu, Pak De-nya Rama!”
“Rama?! Rama yang siang tadi kita ketemu?” Mak Siti mengangguk. “Ada hubungan apa antara Retno dengan Panji? Apa mereka berpacaran?”
Mak Siti terdiam, menghela nafasnya, kemudian mengatakan sebenarnya dia tidak ingin mengungkit tentang masalah Retno dan Panji. Tapi ketika melihatku bersama Rama, entah kenapa kenangan itu muncul begitu saja dan spontanitas keluar dari mulutnya.
“Memangnya kenapa sih, Mak?” tanyaku penasaran.
“Mbak Wulan, pasti sudah mendengar kalau Mbak Retno meninggal karena sakit, kan?” Aku mengangguk. “Yah, sakitnya semakin diperparah dengan sakit akan kehilangan.”
Aku mengerutkan dahi, “kehilangan?”
“Kehilangan akan seseorang yang sangat dicintainya.”
“Panji?!” kataku.
Mak Siti mengangguk, kemudian mulai bercerita.
Retno menjalin hubungan dengan Panji, mereka saling mencintai satu sama lain. Pada awalnya tidak ada yang tahu, kecuali Mak Siti yang merupakan sahabat dekat Retno. Sampai akhirnya ayah Panji mengetahui hubungan anaknya dengan Retno. Ayah Panji langsung melarang hubungan tersebut karena takut apa yang pernah dialaminya berulang kepada Panji.
Waktu muda dulu, ayah Panji pernah menyukai seorang gadis tapi tidak disetujui oleh ayah si gadis. Karena alasan perbedaan status sosial. Ayah si gadis yang merupakan pemilik perkebunan besar di Jawa Timur melarang anak gadisnya berhubungan dengan ayah Panji, anak seorang kuli perkebunan. Ayah Panji mendapat hinaan dari ayah si gadis, yang pada akhirnya terjadi pengusiran ayah Panji dan keluarganya dari perkebunan tersebut, karena meskipun telah ditegur, baik si gadis maupun ayah Panji tetap saja menjalin hubungan secara diam-diam. Setelah ayah Panji pergi, si gadis dinikahkan dengan anak seorang pemilik perkebunan teman ayahnya, yang kemudian pindah ke luar Jawa. Tapi malang nasib mereka,  mereka mengalami kecelakaan, kapal yang mereka tumpangi saat mereka akan kembali ke Jawa tenggelam di tengah laut, tidak ada yang selamat dalam kejadian tersebut. Padahal belum ada satu tahun mereka menikah.
Ayah Panji kuatir Panji akan bernasib sama dengannya, direndahkan dan dihina karena Retno adalah anak dan cucu dari orang kaya, terpandang dan juga berpengaruh, sedangkan Panji hanya anak seorang pegawai rendahan yang bekerja pada kakek Retno.
Ayah Panji adalah seorang pegawai yang bekerja pada kakek Retno. Kekuatiran dan ketakutan ayah Panji sebenarnya tidak beralasan, karena baik ayah maupun kakek Retno adalah orang yang baik, mereka tidak pernah mengungkit soal status, membedakan mana bawahan dan mana atasan. Jadi sebenarnya ketakutannya tersebut karena trauma dirinya, ditambah ayah Panji pernah mendengar kata-kata dari ayah Retno juga kakek Retno yang mengatakan kalau mereka ingin pendamping yang cocok dan sesuai dengan Retno. Mungkin kata-kata tersebut disalahartikan oleh ayah Panji yang berpikiran bahwa pendamping Retno harus mempunyai status dan derajat yang sama. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh ayah dan kakek Retno tersebut adalah pendamping Retno yang mau mengerti dan mau menerima keadaan Retno yang sakit-sakitan, karena jika tidak demikian bisa menyakiti hati Retno yang bisa menambah parah sakitnya.
Sama seperti ayahnya, walaupun sudah ditegur dan dilarang, Panji tidak mempedulikannya, tetap saja menemui dan menjalin hubungan dengan Retno. Ayah Panji pun pernah berkata pada Retno, kalau Panji tidaklah sesuai untuknya, tapi sama halnya dengan Panji, Retno tidak mempedulikanya. Dua anak manusia itu benar-benar sedang kasmaran. Akhirnya Retno dan Panji menjalin hubungan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, karena Retno pun tidak pernah mengatakan hubungannya dengan Panji kepada siapa pun, baik kepada orang tuanya, kakekknya juga adik-adiknya. Keluarganya hanya merasa senang melihat perubahan Retno yang menjadi bersemagat dan lebih ceria, mereka tidak berani menanyakan alasannya, karena takut akan membuat Retno berubah lagi.
Suatu hari ayah dan kakek Retno berbincang-bincang tentang seorang teman kakek Retno yang ingin mempertemukan dan memperkenalkan Retno kepada salah seorang cucunya yang sedang bersekolah kedokteran dan masih sendiri. Ayah Panji mendengar pembicaraan tersebut dan langsung mengatakannya kepada Panji dan semakin memperjelas alasannya kenapa dia melarang Panji berhubungan dengan Retno. Panji pun kemudian mengatakannya kepada Retno. Retno hanya tersenyum menanggapinya dan mengatakan kalau itu hanya keinginan teman kakekknya saja, bagaimana pun masalah jodoh berada ditangannya. Ayah Panji tidak menerima begitu saja, hingga terjadi pertengkaran antara anak dan ayahnya. Sampai akhirnya ayah Panji mengatakan kalau dia akan menyetujui hubungan Panji dengan Retno jika Panji telah menjadi orang sukses, orang yang bisa dibanggakan dan menyuruh Panji untuk pergi ke kota. Panji menyanggupinya. Kemudian Panji pun mengutarakannya kepada Retno. Retno sangat sedih mendengarnya, bagaimana pun dia tidak ingin ditinggal oleh Panji, sudah cukup baginya Panji hanya sebagai orang desa dan sebagai petani kecil yang penting selalu ada di sisinya dan tersenyum untuknya.
Pada hari keberangkatan Panji. Retno menemui Panji di tugu perbatasan bersama dengan Mak Siti. Retno menangis.
“Jangan menangis,” kata Panji sambil mengusap airmata Retno yang mengalir di pipi dengan tangannya, “aku pasti akan kembali untuk kamu, Retno. Tugu ini dan Siti yang menjadi saksinya. Yah, aku berjanji, enam bulan lagi kita pasti akan bertemu kembali.”
“Kenapa ayahmu, begitu jahat, Panji?” kata Retno. “Ketakutan dan kekuatirannya tidak beralasan, aku yakin ayah dan kakek bukan orang yang seperti dia bayangkan.”
Panji tersenyum, “aku tahu. Tapi bagaimana pun dia tetap ayahku, aku menghormati dan menyayanginya. Aku ingin membuktikan kalau aku juga bisa jadi orang sukses seperti yang dia harapkan dan membuktikan kalau ketakutan dan kekutiran terhadap kamu dan keluarga kamu adalah salah.”
Retno mengangguk sambil berusaha tersenyum, “aku akan menunggu kedatanganmu di sini, di tugu ini.”
***
Sepeninggal Panji, keceriaan yang dulu ada pada Retno tiba-tiba menghilang, membuat keluarganya menjadi bingung.
“Retno kenapa? Kenapa jadi pemurung begitu?” tanya kakeknya. Retno hanya mengatakan kalau dia sedang tiak enak badan. Tidak ada yang pernah tahu penyebab Retno menjadi pemurung, kecuali Mak Siti dan ayahnya Panji. Hal ini memperparah sakit yang dideritanya, badannya menjadi semakin kurus.
Sebulan, dua bulan Retno masih bertahan. Kesehatannya semakin menurun. Pada bulan ketiga Retno kritis, jantungnya semakin lemah, seminggu kemudian Retno pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Semua bersedih, termasuk Mak Siti dan ayah Panji, yang merasa bersalah atas sikapnya selama ini. Tapi berita kematian Retno tidak disampaikan kepada Panji, karena takut anaknya yang sedang gigih bekerja hancur perasaannya dan mengakibatkan pekerjannya terbengkalai.
***
Setelah enam bulan, Panji pulang, seperti yang pernah dijanjikannya kepada Retno. Tapi dia tidak bertemu denga Retno di tugu perbatasan seperti yang dijanjikannya, hanya ada Mak Siti yang diam membisu. Dari Mak Siti-lah Panji tahu tentang meninggalnya Retno. Panji seperti mendengar petir di siang bolong, badannya gemeter, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Mak Siti pun mengajaknya ke makam Retno. Di makam Retno, Panji menangis histeris. Kemudian dia pulang dan marah kepada ayahnya, yang dianggapnya penyebab dari kematian Retno. Ayah Panji meminta maaf dan juga bersedih dengan apa yang terjadi pada Retno. Panji kemudian kembali ke kota, untuk menghilangkan kesedihannya.
Dua tahun Panji tidak pernah kembali ke desa. Sampai akhirnya mendengar ayahnya yang sakit dan adiknya yang akan menikah. Panji pulang ke desa, satu bulan setelah adiknya menikah, ayah Panji meninggal dunia, sebelum meninggalnya sempat meminta maaf sekali lagi kepada Panji dan Panji pun memaafkannya.
Setelah ayahnya meninggal Panji tidak kembali ke kota. Panji mengelola sawah peninggalan ayahnya, dan karena keuletannya, Panji menjadi seorang petani yang cukup berhasil, sawahnya pun semakin luas. Satu tahun kemudian, adik Panji melahirkan anak pertamanya, yaitu Rama. Ibu Panji mulai sakit-sakitan, dan menginginkan sebelum meninggal ingin melihat Panji menikah dan punya anak. Panji pun akhir menikah dengan seorang gadis desa yang sangat baik. Satu tahun kemudian ibu Panji meninggal dunia. Setelah menikah bertahun-tahun Panji belum juga dikarunia anak. Panji dan istrinya hanya pasrah. Tapi mereka tidak merasa kesepian, karena ada Rama dan kedua adiknya, juga kegiatan sehari-harinya sebagai seorang petani dapat melupakannya. Tiga tahun yang lalu istri Panji meninggal dunia karena sakit, Panji pun merasa kehilangan. Panji tidak menikah lagi, perhatiannya kini tertuju pada Rama dan adik-adiknya. Rama sangat disayang oleh Panji. Banyak yang mengatakan kalau Rama sangat mirip dengan Panji pada waktu muda. Setengah tahun belakangan ini Panji menderita sakit dan dirawat oleh adik dan kemenakan-kemenakannya yang begitu menyayangi dan mencintainya.
“Cerita yang menyedihkan,” kataku setelah selesai mendengar cerita dari Mak Siti. Mak siti menghela nafas. “Tapi menurutku, konyol juga ya Mak! Ketakutan dan kekuatiran ayahnya Panji tidak beralasan, karena dia trauma dengan dirinya sendiri, anaknya yang menjadi korban, juga Retno!”
“Begitulah yang terjadi, Mbak. Padahal Mak yakin, ayah dan kakek Mba Retno tidak akan berbuat seperti yang dipikirkan oleh ayahnya Panji.”
“Apa simbah dan simbah buyutku tahu, Retno menjalin hubungan dengan Panji?”
Mak Siti menggelengkan kepala, ”sampai Mbak Retno meninggal mereka tidak pernah tahu, hanya Mak yang tahu, dan sekarang Mbak Wulan. Mak mohon rahasia tersebut tetap menjadi rahasia, karena itulah keinginan Mbak Retno.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Oh iya Mak. Tadi Mak Siti bilang Rama sangat mirip dengan Panji?” Mak Siti mengangguk. “Wah! Berarti Panji itu waktu muda, ganteng dong, Mak!” Mak Siti tertawa kecil. Aku pun tertawa, “aku jadi penasaran dengan sosok Panji itu, Mak.”
Kebisuan menyelimuti antara aku dan Mak Siti untuk sesaat.
“Apa Rama seorang petani Mak?” tanyaku tiba-tiba. Mak Siti mengatakan kalau Rama sebenarnya kuliah, dan keberadaannya di desa karena sedang berlibur. Seperti kebiasaannya, setiap pulang dia selalu membantu Pak De-nya, yaitu Panji, dan kedua orang tuanya di sawah, apalagi saat sekarang, sedang musim tanam, para petani sibuk untuk mengolah tanah sawahnya. Adik Rama yang pertama juga kuliah sedangkan adiknya yang kedua masih duduk di bangku SMA.
***
Malam harinya, saat berbaring di ranjang, aku masih teringat cerita Mak Siti tentang Retno dan Panji. “Apa ini sebuah kebetulan atau sebuah takdir Tuhan? Orang-orang mengatakan kalau aku sangat mirip dengan Retno, dan Rama, katanya sangat mirip dengan Panji, dan kami dipertemukan di desa ini!” benakku. “Atau jangan-jangan, Rama itu jodohku! Jika dia memang jodohku, aku akan menerimanya dengan senang hati, Tuhan,” aku tersenyum, lalu kuambil bantal yang tergeletak disampingku kemudian kututpkan di mukaku.
***
Keesokan harinya aku sengaja meminjam sepeda dari Bagus untuk pergi jalan-jalan, dengan harapan di jalan akan bertemu dengan Raman. Tuhan benar-benar mendengar doaku, aku bertemu dengan Rama di pinggir sebuah lapangan bola desa. Laki-laki tampan itu nampak sedang memasukkan rumput-rumput ke dalam karung. Aku menghentikan kayuhan kemudian kutuntun sepedaku berjalan mendekati Rama. “Hai, ketemu lagi,” kataku pada Rama.
Rama nampak terkejut, dia memandangku sesaat, kemudian tersenyum, “hai!”
“Untuk apa rumput-rumput itu?” tanyaku kemudian.
“Untuk pakan kambing di rumah,” jawab Rama sambil memasukkan rumput-rumput yang telah disabitnya ke dalam karung. “Ada apa?” tanyanya.
 Sesaat aku merasa bingung harus menjawab apa, kemudian aku menghela nafas dan berusaha menenangkan diriku. Aku berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaannya.
“Kamu mirip sekali dengannya!” kata Rama tiba-tiba sebelum aku meenjawab pertanyaannya. “Keluargamu pasti mengatakan hal yang sama, kan?” Rama menghentikan kesibukannya. “Retno, yah kamu mirip sekali dengannya!”
Aku tersenyum. “Yah mungkin Panji, Pak De-nya pernah bercerita tentang Retno, dan memperlihatkan foto kekasihnya tersebut,” benakku. “Panji, maksudku Pak De-mu pasti telah bercerita tenang Retno,” kataku tanpa basa-basi.
Rama tersenyum. “Kamu tahu juga tentang Panji dan Retno?” Aku tersenyum. “Yah, Pak De Panji yang bercerita. Dia selalu teringat akan Retno setiap kali menatapku, karena menurutnya aku sangat mirip dengan dirinya waktu masih muda.”
“Apa dia masih menyimpan foto Retno, lalu memperlihatkannya kepadamu, hingga kamu tahu kalau dia mirip aku?” tanyaku.
Rama terdiam sesaat, “Pak De Panji tidak mempunyai foto Retno!” jawabnya kemudian.
Aku heran dengan jawaban dari Rama, “terus, bagaimana kamu tahu kalau Retno mirip dengan aku?!” tanyaku penasaran.
“Karena aku bertemu Retno!”
Aku tertawa mendengar jawaban dari Rama dan mengatakan kalau dia jangan bercanda, karena menurut cerita Mak Siti, Rama lahir setelah Retno meninggal.
“Aku tidak becanda!”
“Bagaimana mungkin!”
Rama menghela nafas, kemudian dia mengajakku untuk berbicara di bawah pohon beringin besar tua yang berdiri kokoh di pinggir lapangan jika aku tidak keberatan. Tentu saja aku tidak keberatan, bahkan aku merasa senang. Kami berdua duduk di bawah pohon beringin tersebut. Untuk sesaat kami duduk dalam kebisuan. Lalu kudengar helaan nafasnya.
“Aku benar-benar bertemu dengannya!” kata Rama memecah kebisuan. Aku memandangnya dengan tatapan tidak percaya. “Yah, mungkin kamu tidak mempercayainya. Tapi itulah kenyataannya.” Rama kemudian mulai bercerita.
Liburan semester kemarin Rama pulang ke desa. Karena sesuatu terjadi dengan dengan lokomotif kereta yang ditumpanginya, maka kereta datang terlambat. Sampai di tugu perbatasan sekitar jam tujuh malam, yang seharusnya jam empat sore sudah sampai. Di tugu perbatasan dia melihat seorang wanita yang sedang berdiri gelisah, seperti sedang menunggu seseorang. Antara takut dan berani Rama pun mendekati wanita itu dan bertanya padanya, apa yang sedang dilakukannnya malam-malam di tugu perbatasan. Wanita itu menjawab kalau dia sedang menunggu seseorang. Karena kasihan Rama menemaninya, tapi setelah setengah jam yang ditunggu wanita itu tidak muncul-muncul. Wanita itu pun kemudian pamit pulang. Rama sempat menayakan namanya dan wanita itu menjawab kalau namanya adalah Retno. Rama pun tersentak, tiba-tiba dia teringat akan kisah Pak De-nya dan Retno. Bulu kuduknya berdiri. Dua hari kemudian kembali bertemu dengan Retno. Rama merahasiakannya pertemuannya dengan Retno dari Pak De-nya. Retno pun sering menemui Rama secara tiba-tiba, dan mengatakan kalau dia mirip dengan Panji kekasihnya yang sedang ditunggu dan dijemputnya.
“Kamu bertemu dengan hantunya Retno!!!” aku bergidik, bulu kudukku berdiri, secara tidak sadar aku menggeser dudukku mendekati Rama.
“Aku tidak tahu apa itu, hantu, arwah, atau apalah istilahnya. Pertama aku memang takut, selanjutnya aku mulai terbiasa, dan aku merasa kasihan dengan Retno, dia begitu ingin bertemu dengan Pak De Panji, kekasihnya, karena sampai akhir hayatnya keinginan tidak tercapai untuk menjemput Pak De Panji di tugu perbatasan.”
“Kasihan sekali,” kataku.
Rama kemudian bercerita, waktu pertama kali melihatku di tugu perbatasan, dia sangat terkejut karena aku begitu mirip dengan Retno, makanya waktu aku tersenyum padanya dia hanya terdiam, karena masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rama pun mengatakan keberadaannya di tugu perbatasan waktu itu atas permintaan Retno, wanita itu megatakan akan datang seseorang yang istimewa, salah seorang kelurganya.
“Dan kamu tahu, Wulan,” Rama menyebut namaku. Entah kenapa dadaku terasa berdesir. “Waktu aku berdiri disana melihatmu, sebenarnya Retno berdiri di sampingku, dia tersenyum, melihatku yang tidak percaya melihatmu!”
“Apa!” aku kembali bergidik dan kembali aku menggeser dudukku, hingga lenganku dan lengan Rama bersentuhan. Rama tersenyum. “Kamu tidak berbohong kan?”
“Aku tidak pernah berbohong!”
“Bagaimana rupanya?” tanyaku penasaran.
“Sangat mirip denganmu, hanya dia kelihatan pucat dan kurus.”
Rama mengatakan kalau saat ini Panji, Pak De-nya kini sedang sakit, sama seperti yang dikatakan oleh Mak Siti kepadaku.
“Aku ingin sekali bertemu dengannya. Apa boleh?” pintaku. Rama tersenyum dan berjanji akan mengajakku untuk menemui Pak De-nya. Setelah itu obrolan kami berlanjut tentang desa, kuliah dan kegiatan kami. Rama lebih tua tiga tahun dariku dan aku pun tidak menyangka kalau Rama kuliah di salah satu Perguruan Tinggi di kotaku tapi berbeda denganku.
Hari menjelang siang, Rama bangkit dari duduknya, melanjutkan pekerjaannya memasukkan rumput ke dalam karung kemudian setelah penuh dinaikkan ke sepedanya. Kami berdua kemudian pulang, aku bersepeda beriringan dengan Rama. Ada perasaan senang ketika berada di dekatnya. 
“Apa hanya karena aku mirip dengan Retno, kamu memperhatikanku waktu di tugu perbatasan saat aku baru pertama datang ke desa?!” tanyaku sambil terus bersepeda.
Rama tertawa kecil, “tidak! Juga karena waktu itu kamu kelihatan lucu dan berantakan!”
Aku tersenyum kecut, menyesal telah menayakan hal yang tidak semestinya. Bagaimana tidak lucu dan berantakan setelah enam jam dalam kereta ekonomi, dan setengah jam dalam angkutan yang berdesakan.
“Aku melihat gadis lucu, berantakan dan cantik!” kata Rama tiba-tiba. Aku pun tersenyum mendengarnya, ada perasaan bahagia mengembang di dadaku.
“Terus, kenapa waktu itu kamu mendekati dan menyapaku?” tanya Rama sambil tersenyum.
Aku teringat ketika pulang bersama Mak Siti, tiba-tiba aku menghampiri Rama dan menyapanya. “Aku tidak tahu! Waktu itu aku merasa ada yang mendorongku untuk mendekati dan menyapamu.”
“Bukannya karena aku ganteng?!” Rama tertawa. Aku hanya tersenyum, dalam hatiku aku membenarkan juga kata-katanya.
***
Setelah bertemu dengan Rama, aku menjadi sangat senang dan bahagia. Hal tersebut ternyata diperhatikan oleh simbah dan yang lainnya. Mereka merasa senang karena aku merasa senang dan betah liburan di desa. Hanya Mak Siti yang mungkin tahu sebab apa aku merasa senang dan bahagia, karena aku hanya bercerita kepadanya tentang pertemuan-pertemuanku dengan Rama.
Sehari sebelum aku kembali ke kota, Rama mengajakku bertemu dengan Panji, seperti yang telah dia janjikan sebelumnya. Sore hari itu rumah Rama kelihatan sepi, ayah dan ibunya sedang pergi kondangan, adiknya yang masih SMA sedang bermain bola bersama teman-temannya di lapangan, adiknya yang kuliah tidak pulang, karena sedang mengikuti semester pendek. Rumah Rama berdampingan dengan rumah Pak De-nya, Panji. Hanya ada seorang laki-laki paruh baya yang bertugas menjaga Panji. Rama kemudian menanyakan keberadaan pak De-nya, laki-laki itu menjawab baru saja dia mengantarkan Panji ke teras belakang, katanya ingin menikmati sore hari yang cerah sambil melihat sawah-sawah yang berada di belakang rumahnya. Rama mengajakku pergi ke teras belakang.
Di teras belakang rumah Panji memang terbentang pemandangan yang cukup indah, ada hamparan sawah yang baru saja di tanam, ada pohon mangga dan pohon cemara, rumput yang menghijau bak permadanai dan beberapa tanaman perdu nampak rimbun menghijau. Matahari sore memancarkan sinarnya dengan lembut. Terdengar cericit burung yang mulai pulang ke sarangnya. Nampak dari belakang, seorang laki-laki duduk di atas kursi roda sedang menikmati semilir angin sore. Rama menarik tanganku untuk mendekat ke arah laki-laki itu. “Pak De,” sapa Rama setelah kami di sampingnya. Laki-laki tua itu menoleh ke arah kami. Aku melihat seorang laki-laki, yang mungkin berumur lima atau tujuh tahun lebih tua dari ayahku, rambutnya hampir semuanya memutih, nampak kurus dan pucat, tapi masih cukup tampan diusianya, duduk dengan selimut menutupi dari pinggang sampai kakinya.
“Rama,” kata laki-laki itu sambil tersenyum kepada Rama, namun tatapannya berubah menjadi terkejut ketika melihatku. “Retno,” katanya lirih sambil pandangannya terus lekat padaku.
“Selamat sore, Pak De Panji,” sapaku pada laki-laki tua itu.
“Kamu Retno, kamu kembali untuk memenuhi janjimu?” wajah Panji nampak bersinar, matanya berkaca-kaca, senyum terlukis di wajah tampan tuanya. Dengan lemah laki-laki itu menarik tanganku. Aku menatap Rama, dan dia menganggukkan kepalanya. Aku berlutut disamping kursi roda Panji, laki-laki tua itu menatapku dengan lekat. “Kamu benar-benar menantiku, Retno. Aku senang sekali, kita akhirnya bisa bertemu kembali.” Panji memegang kepalaku, isaknya pecah dan dengan lemah mendekatkan kepalaku didadanya. Rama ikut berlutut di sampingku dan berbisik di telingaku, “biarlah Pak De menganggapmu sebagai Retno.”
“Aku senang, aku merasa lega, akhirnya kita bertemu, Retno. Aku akan memperkenalkanmu pada Restu,” kata Panji disela-sela isaknya. Rama berbisik kalau Restu adalah nama istri Pak De-nya yang telah meninggal.
Aku menceritakan kunjunganku ke Panji kepada Mak Siti. Wanita paruh baya itu ikut merasa senang.
***
Akhirnya aku pulang, setelah seminggu melewati liburan yang sangat berarti di desa simbah. Waktu aku akan berangkat Rama sudah menungguku di tugu perbatasan. Rama baru akan kembali sekitar seminggu lagi. Aku sangat berharap setelah dia kembali kuliah dia akan menemuiku. Rama tersenyum dan berjanji akan menemuiku setelah kembali ke kota. Dengan sepeda motornya Rama mengantarkanku sampai ke stasiun. Menurut Rama, setelah kedatanganku, Pak De-nya begitu berbahagia, seakan beban yang selama ini dipikulnya telah lepas dan hilang.
***
Aku telah sampai di rumah dengan membawa sejuta cerita dan juga segumpal hati dari desa. Banyak cerita yang aku sampaikan kepada ayah, ibu, juga Tantri, adikku, kecuali cerita tentang Retno dan Panji.
Seminggu kemudian aku sudah kembali ke kampus. Seminggu itu pula aku menunggu kabar dari Rama, aku merasa menyesal kenapa waktu itu tidak meminta nomor telephon atau e-mail-nya, dan aku pun tidak memberikan nomer telephon dan e-mailku kepadanya.
***
Sabtu sore yang cerah. Aku sedang berada di kamarku, membaca sebuah novel sambil tiduran ketika tanpa permisi Tantri nyelonong masuk sambil tersenyum. “Mbak Wulan, kok tidak pernah cerita kalau punya teman laki-laki yang seganteng Leonardo DiCaprio!” katanya sambil mencabut novel yang sedang kubaca. Aku mengernyitkan dahi tidak mengerti apa yang dia katakan. Tantri mengatakan ada seorang laki-laki yang mencariku dan sekarang sedang menunggu di teras depan rumah. Aku tanyakan siapa namanya, Tanri hanya menepuk jidatnya sendiri, katanya lupa menayakan namanya saking terpesonanya.
Dengan masih memakai kaos dan celana pendek dan rambut yang agak berantakan aku langsung ke depan. Dan setelah melihat siapa laki-laki yang sedang menungguku, detak jantungku sesaat berhenti. Luapan kegembiraan membanjiri seluruh rongga dadaku. Aku melihat Rama sedang duduk di kursi teras. Ketika melihatku yang berdiri terpaku di pintu laki-laki yang disebut mirip Leonardo DiCaprio oleh adikku itu tersenyum. “Hai! Apa kabar? Aku memenuhi janjiku, kan?” sapanya kepadaku. Aku tersenyum. Berjalan mendekati Rama perasaan bahagia benar-benar menyelimutiku. “Apa aku mengganggumu?”
“Tidak sama sekali!” jawabku.
“Apa kamu baru bangun tidur?” tanya Rama sambil mengerutkan dahinya.
Aku memperhatikan baju dan celanaku juga memegang rambutku yang berantakan. “Ya Tuhan! Saat ini aku pasti keihatan berantakan sekali!” benakku. Rama tersenyum melihatku yang merasa malu.
***
Aku memperkenalkan Rama kepada ayah dan ibuku, juga Tanri. Ayah sangat senang ketika mengetahui siapa Rama, dan mengatakan cukup mengenal keluarganya, dari mulai kakekknya, Panji dan juga ibunya. Rama bercerita tentang keluarganya dan mengatakan kalau belum lama ini Panji, Pak De-nya baru saja meninggal. Aku yang mendengar berita tersebut terkejut, tiba-tiba ada perasaan kehilangan yang menerobos di relung hatiku.
 Rama meminta ijin kepada ayah dan ibu untuk mengajakku keluar. Entah kenapa tanpa interogasi macam-macam ayah dan ibu mengijinkannya, padahal baru pertama Rama datang ke rumah, mungkin karena Rama berasal dari daerah yang sama dengan ayah, dan mengenal keluarganya.
 “Kenapa Wulan tidak pernah cerita kalau kalian sudah bertemu dan saling mengenal waktu liburan di desa kemarin?” tanya ayah. Rama hanya tersenyum mendengarnya, begitu juga dengan aku yang hanya nyengir.
Sambil makan bakso di salah satu warung bakso terkenal di kotaku Rama bercerita kepadaku kalau sepeninggalku kesehatan Panji semakin menurun dan lima hari kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir. Aku bersedih mendengar kabar tersebut dan jujur aku merasa kehilangannya, walaupun baru satu kali bertemu. Menurut Rama, Pak De-nya itu meninggal dengan tersenyum, ada sinar kebahagiaan di wajahnya, dan satu hari sebelum meninggal mengatakan kalau dia telah bertemu dengan Restu dan Retno.
“Kini Retno telah bertemu kembali kekasih yang sangat dicintainya di alam sana,“ kata Rama
“Apa kamu bertemu lagi dengan Retno?” tanyaku sambil membuat tanda kutip dengan jariku ketika menyebut nama Retno. Rama mengatakan setelah Pak De-nya meninggal dia bertemu lagi dengan Retno, yang mengatakan kalau dia sudah bertemu dengan orang yang ditunggunya, setelah itu Retno tidak pernah menampakkan wujudnya lagi.
“Cerita yang indah, sedih dan juga konyol,” kataku.
“Yah, semoga saja cerita kita hanya indah, tidak sedih dan konyol!” kata Rama. Aku mengernyitkan dahiku ketka mendengar kata-katanya, kupandang wajah tampan di depanku. “Seperti halnya Panji yang menyukai Retno, Rama pun menyukai Wulan!” kata Rama selanjutnya tanpa basa-basi. Dan hal ini membuat aku berhenti bernafas untuk sesaat. “Apakah Wulan juga mempunyai perasaan yang sama terhadap Rama, seperti halnya Retno mempunyai perasaan terhadap Panji?” Aku terbatuk, kemudian kuminum minuman jeruk panasku. “Aku tidak akan memaksamu menjawabnya saat ini, juga tidak akan memaksamu untuk memiliki perasaan yang sama.”
Aku menghela nafas setelah menaruh kembali gelas minuman jeruk panasku, berusaha untuk menenangkan perasaanku yang sedang mengambang di udara. “Setelah kembali dari desa, yang selalu ada dalam pikiranku adalah kamu, Rama. Dua minggu ini aku merasa gelisah karena tidak bertemu denganmu,” kataku kemudian. Rama tersenyum, ditariknya tanganku dan digenggamnya dengan erat. Saat itu aku seperti melayang di udara. Yah, Wulan dengan Rama, semoga tidak menjadi seperti kisah Retno dan Panji.
˜||

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"