cerpen "GARA-GARA NAMA"
Apa
yang terjadi jika kamu percaya bahwa nama pasanganmu harus berdasarkan nama
pasangan dari sebuah cerita, legenda atau mitos? Inilah yang terjadi padaku. Namaku
Dewi Anggraini, biasa dipanggil dengan Dewi. Aku duduk dibangku kelas XI-B di
sebuah SMA di sebuah kota besar di Jawa Tengah. Kalian tahu arti nama Dewi
Anggraini untukku? Dewi Anggraini adalah nama seorang tokoh dalam cerita
pewayangan jawa, digambarkan sebagai seorang wanita yang cantik, istri dari
seorang raja dari negara Paranggelung bernama Palgunadi atau Ekalaya (Bambang
Ekalaya). Dewi Anggraini dikenal sangat setia kepada suaminya. Dalam sebuah
cerita wayang Palguna dan Palgunadi dikisahkan Arjuna atau Palguna yang tampan
menyukai dan menggoda Dewi Anggraini, tetapi Dewi Anggraini tidak tergoda dengan
ketampanan dan kesaktian Arjuna atau Palguna dan tetap memegang teguh cintanya
kepada suaminya, Palgunadi. Aku mendengar cerita ini dari kakaekku yang juga telah
memberikan nama Dewi Anggraini padaku. Cerita ini telah aku dengar
berkali-kali, yang akhirnya aku sangat mempercayainya kalau pasangan dari Dewi
Anggraini adalah laki-laki yang bernama Palgunadi atau Ekalaya, ada yang
menyebutnya Bambang Ekalaya, seperti halnya Romeo yang berpasangan dengan
Juliet, Khais dengan Laila atau Romi dengan Yuli. Maka dari itu, aku mencari
seorang pacar atau pasangan harus yang bernama Ekalaya atau Palgunadi, atau
setidaknya mirip. Dan aku merasa senang, karena saat ini aku sudah punya pacar
yang sesuai dengan apa yang aku inginkan. Namanya Gunadi, sama-sama duduk di
kelas XI SMA, tapi dari sekolah lain. Aku dan Gunadi bertemu saat kami sama-sama
mengikuti lomba baca puisi antar sekolah. Walaupun tidak menang tapi aku senang
karena bisa bertemu dengan sosok yang aku cari. Kami berkenalan, saling kagum,
tukaran nomor telephon, dan tidak lama kemudian jadian. Gunadi lumayan ganteng,
jago basket dan sama dengan aku suka membuat dan membaca puisi.
Aku
mempunyai seorang sahabat baik, namanya Bagus Kamajaya, biasa dipanggil Kama.
Kama berpostur tinggi atletis, selain ganteng juga lumayan pintar karena
setidaknya dia selalu berada diperingkat limabelas besar di sekolah juga jago
main voli. Orangnya baik, walaupun terkadang terlalu cukup dan sikapnta tidak
pikir panjang selalu membuat kesal teman-temannya, termasuk aku. Aku dan Kama
dapat dikatakan bersahabat sejak kami sama-sama masih dalam kandungan. Waktu
kami masih dalam kandungan, ibuku dan ibunya sering sama-sama periksa ke bidan
yang sama. Dan lahir pun kami di klinik yang sama hanya selisih dua hari, lebih
dulu Kama. Aku dan Kama bertetangga, rumahku dan rumah dia hanya terpisah tiga
rumah. Keluargaku dan keluarganya saling mengenal dengan baik. Sama seperti
aku, Kama juga percaya kalau nama pasangan harus berdasarkan nama pasangan pada
sebuah sebuah cerita. Namanya sendiri, Bagus Kamajaya, diambil dari nama Batara
Kamajaya, seorang Dewa Cinta dalam cerita pewayangan yang sangat tampan dan
mempunyai seorang istri yang sangat cantik, bernama Dewi Ratih. Batara Kamajaya
dan Dewi Ratih adalah pasangan abadi yang tidak terpisahkan, saling mencintai
dan saling setia. Dan Kama pun, dalam mencari pacar atau pasangan harus seorang
perempuan yang bernama Ratih.
Kenapa
aku dan Kama begitu mempercayai tentang mitos nama pasangan? Hal ini disebabkan
karena kakek aku dan kakeknya sama-sama suka akan wayang. Apalagi kakek Kama
yang seorang dalang wayang kulit. Mereka sangat senang bercerita tentang kisah-kisah
dunia pewayangan kepada para cucu-cucunya, termasuk aku dan Kama. Walaupun aku
dan Kama mempunyai prinsip yang sama tentang nama pasangan tersebut, tapi
kadang-kadang hal itu juga yang membuat bahan keributan kami. Seperti sekarang
ini, Kama tidak setuju waktu pertama aku mengatakan kalau aku jadian dengan
Gunadi, dengan alasan Gunadi itu terkenal playboy. Hal ini berdasarkan
informasi dari sepupunya yang satu sekolah dengan Gunadi. Tentu saja aku marah
dan menganggap Kama hanya ingin membalas atas sikapku yang banyak ikut campur
dan komentar yang membuat Kama putus dengan anak SMK yang bernama Ratih
Noviasari. Kama menyangkalnya, dia mengatakan semua untuk kebaikanku, takut
nantinya aku sakit hati. Tapi aku tidak menghiraukannya, akibatnya aku dan Kama
saling diam selama dua hari. Hal ini membuat Arimbi, sahabatku lainnya yang duduk
satu meja dengan aku dan Khresna, yang duduk satu meja dengan Kama menjadi pusing dan kadang-kadang
sebal dengan sikap kami berdua. Apalagi kalau aku dan Kama sudah mulai mengatur
tentang pasangan mereka dengan prinsip kami, Arimbi dan Khresna akan bertambah
pusing dan senewen. Seperti Arimbi, dalam cerita pewayangan adalah seorang
raksasa perempuan yang kemudian menjelma menjadi gadis cantik dan menikah
dengan Bima. Pernikahan Bima dan Arimbi melahirkan seorang anak yang diberi
nama Gatotkaca. Gara-gara aku cerita Dewi Arimbi yang berbentuk raksasa, Arimbi
protes.
“Jadi, kamu bilang kalau aku ini
raksasa! Mentang-mentang badanku gendut!”
“Bukan begitu maksudku, Rim. Tapi
ceritanya memang begitu. Tapi Dewi Arimbi akhirnya menjadi gadis yang cantik,”
jawabku sambil tertawa.
“Ah, masa bodo. Pokoknya, sekali
lagi, aku tidak akan menuruti apa kata ceritamu dan Kama itu! Masa aku harus
mencari pasangan yang bernama Bima!”
“Tidak harus Bima, bisa juga nama
lainnya Bima, seperti Abilawa, Bratasena, Balawa, Birawa, Pandusiwi, Nagata,
Bayusuta...”
“Cukup...cukup...! Sekali tidak
tetap tidak! Tidak! Tidak!”
“Tapi Rim, itu menyangkut
kelanggengan hubungan kamu.”
“Tidak ada korelasinya sebuah nama
dengan kelanggengan suatu hubungan. Itu kan hanya sebuah cerita. Mungkin saja
kebetulan Bima itu bertemunya dengan Dewi Arimbi. Sama halnya Romeo itu
kebetulan ketemunya Juliet coba kalau dulu ketemunya Maesaroh, pasti ceritanya
akan menjadi Romeo dan Maesaroh, atau sebaliknya yang ditemui Juliet itu bukan
Romeo tapi Sutarman, pasti judulnya kan menjadi Sutarman dan Juliet!” jelas
Arimbi, sedangkan aku hanya tertawa mendengarnya.
Sama halnya dengan Khresna, aku dan
Kama menyarankan dia untuk mencari pasangan dengan nama salah satu istri dari
Batara Khresna.
“Aku tidak akan menurut apa kata
kalian! Kalau aku sudah suka sama perempuan, siapa pun dia, langsung aku tembak
saja. Tidak peduli namanya siapa. Yang penting perempuan tulen!” jawab Khresna.
“Kalian itu yang aneh dan rugi! Coba kamu, Kama! Icha, anak kelas XI-C yang
jadi idola semua anak laki-laki di sekolah kita ini dan ingin sekali menjadi
pacarnya, dia naksir berat sama kamu. Eh, malah kamu cuekin. Kasihan kan dia!
Tahu tidak, dia nangis dan curhat ke aku!”
jelas Khresna sedangkan Kama terdiam. Saat itu sepulang sekolah aku,
Kama, Khresna dan Arimbi sedang duduk di warung bakso Pak Kumis yang berada di
seberang gerbang utama sekolah.
“Kok aku tidak tahu!” protesku
sambil melotot ke arah Kama.
“Kama..Kama...apa harus perempuan
bernama Ratih yang ingin kamu jadikan pasangan! Kalau ternyata sudah ketemu,
sesuai dengan keinginan kamu tapi sudah punya suami bagaimana? Kamu nunggu
jandanya?” sahut Arimbi sambil mengambil sesendok sambel dan memasukannya
kedalam mangkok baksonya.
“Kamu
juga Wi! Sudah tahu si Fajar, yang aktivis Pramuka itu ngejar-ngejar kamu sejak
kelas satu! Kamu main tidak tahu saja!” sambung Khresna.
“Aku juga tidak tahu, kalau Fajar
ngejar-ngejar kamu, Wi!” giliran Kama yang protes dan melotot kearahku.
“Kamu malah pacaran sama Gunadi!
Palyboy kampung itu!” lanjut Khresna.
“Dia tidak playboy yang seperti
kalian duga!” protesku.
Begitulah yang sering menjadi
perdebatan kami berempat. Saat ini Arimbi, gadis manis bertubuh agak sedikit
subur itu sedang saling taksir dengan Panji, anak kelas XI-A yang berpostur
tinggi kurus dan jago basket. Sedangkan Khresna, baik aku, Kama maupun Arimbi
tidak tahu seperti apa perempuan yang sedang Khresna sukai, yang jelas dia
pernah mengatakan kalau sedang jatuh cinta dengan seorang perempuan yang sangat
istimewa.
***
Sekolahku
kedatangan seorang guru matematika baru, menggantikan Pak Burhan yang sudah
pensiun. Anak-anak satu sekolah, terutama anak laki-laki ribut membicarakan
tentang guru baru tersebut, yang katanya seorang wanita, masih muda, cantik dan
masih sendiri alias belum menikah.
Hari
Senin, setelah upacara bendera, Pak Kepala Sekolah memperkenalkan secara resmi
guru matematika baru tersebut. Dan ternyata apa yang diributkan anak-anak
terbukti benar. Guru baru tersebut seorang wanita cantik dengan rambut hitam sebahu,
berpostur sedang, berkulit putih, hidung mancung dan berkacamata. Seluruh siswa
langsung riuh terutama yang laki-laki, terdengar beberapa suara siutan. Pak Keala
Sekolah mencoba menenangkan para siswa dan menyuruh guru baru tersebut
memperkenalkan diri.
“Terima kasih.” Guru baru tersebut
berkata sambil tersenyum, yang menambah aura kecantikannya. “Nama saya dewi
Ratih, saya guru matematika baru pengganti Pak Burhan...”
Aku
sudah tidak mendengar lagi apa yang dikatakan guru baru tersebut setelah
menyebutkan namanya. Perhatianku langsung beralih ke Kama, begitu juga dengan
Arimbi dan Khresna. Kama yang sebelumnya cengangas cengenges dan ikut bersiut
tiba-tiba langsung diam dan bediri teguk, kemudian melihat kearah aku, Arimbi
dan Khresna sambil tersenyum dan mengedipkan mata kirinya.
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri
begitu!” tanya Khresna kepada Kama setelah masuk kelas.
“Akhirnya, aku bertemu dengan
jodohku. Oh dewi Ratih, tak perlu kucari, engkau datang sendiri padaku,” jawab
Kama sambil duduk dikursinya yang tepat berada dibelakangku.
“Hei, sadar! Jangan gila kamu, Kama!
Dia itu guru kita, dan jauh lebih tua!” kataku sambil menepuk buku catatan
sejarah yang aku pegang ke kepalanya.
“Iya. Kamu jangan mengkhayal yang
tidak-tidak Kama! Lebih baik kamu pikirkan nilai matematikamu yang jeblok itu!”
sahut Arimbi.
Kama
tertawa, “kali ini nilai matematikamu ditanggung pasti bagus!”
Jam
kedua dikelasku adalah matematika. Anak laki-laki langsung merapikan
penampilannya dan duduk dengan rapi dan tegak termasuk Kama. Guru baru tersebut
muncul, kembali memperkenalkan diri.
“Bu, kalau ada kesulitan bisa
konsultasi diluar jam sekolah tidak? Di rumahnya ibu misalnya?” Kama yang
berbicara, dan langsung disambut teriakan anak-anak satu kelas. “Huuuuu.....!”
Guru baru tersebut tersenyum. “Boleh
saja.”
“Yesss!” Kama mengepalkan kedua
tangannya yang kemudian langsung disikut oleh Khresna.
***
“Ini memang sudah takdir Tuhan. Kamajaya
pasti akan dipertemukan dengan Dewi Ratih. Bu Ratih memang wanita yang
sempurna!” kata Kama pada waktu istirahat di kantin sekolah.
“Sinting!” kataku sambil melempar
sebutir kacang rebus ke muka Kama.
“Woi! Sadar! Sadar! Sadar!” kata
Arimbi sambil mengetuk-ngetuk meja.
“Ini anak kayaknya mesti dimandikan
air kembang setaman, biar otaknya tidak konsleting!” sahut Khresna sambil
mengacak-acak rambut hitam lurus Kama.
Begitulah, Kama sangat antusias
dengan keberadaan guru matematika baru tersebut.
***
Aku
masuk kelas dengan wajah cemberut dan ditekuk. Dua hari aku menjadi anak
pendiam, membuat Arimbi, Kama dan Khresna bertanya-tanya. Terutama Kama yang selalu
berangkat dan pulang bersama.
“Kesambet dimana si Dewi, sikapnya
jadi aneh begitu. Tidak cerita sama kamu, Kam?” tanya Arimbi yang langsung
dijawab gelengan kepala oleh Kama.
“Kamu sebenarnya kenapa sih, Wi?
Sikapmu jadi berubah begini. Di rumah juga sama saja!” kata Kama yang
sepertinya sudah mulai tidak nyaman dengan perubahan sikapku ketika aku, Kama,
Khresna dan arimbi duduk di pinggir lapangan basket setelah menonton anak-anak
bertanding basket setelah bubaran sekolah.
“Iya Wi. Aku jadi tidak enak
melihatmu begitu,” timpal Arimbi. “Sebenarnya kamu kenapa? Uang jajanmu
dikurangi sama ibumu?” Aku menggeleng.
“Terus kenapa?” sahut Khresna.
“Aku putus dengan Gunadi!”
“Apa!!!” Kama, Khresna dan Arimbi
bersamaan sambil melotot kearahku. Aku kemudian menceritakan kalau waktu aku
pergi bersama ibuku untuk membeli peralatan dapur baru di sebuah pusat
perbelanjaan aku melihat Gunadi sedang jalan dengan perempuan lain, sangat
mesra pakai gandengan tangan dan rangkulan pundak segala, mana orangnya cantik
lagi. Awalnya Gunadi mengatakan kalau perempuan itu saudaranya, tapi setelah
aku terus menerus mencecarnya, akhirnya mengaku kalau perempuan itu pacarnya
yang baru jadian. Aku marah dan merasa dipermainkan, hari itu juga aku putus.
“Apa aku bilang! Si Gunadi itu
memang playboy, sok baik dan perhatian dihadapan semua perempuan! Kamu sih Wi,
tidak percaya sama aku! Baguslah kalau kamu sudah putus sekarang. Kalian kan
baru dua bulan pacaran, daripada ketahuannya sudah lama, malah nanti sakitnya
mendarah daging!” kata Kama.
Hari-hari
pun berlalu, ternyata aku dengan mudah dapat melupakan Gunadi si playboy
kampung itu.
“Sudahlah Wi, mendingan kamu lupakan
prinsip kamu tentang nama pasangan itu, nanti kejadiannnya berulang seperi
kasus Gunadi, si playboy kampung itu” kata Arimbi.
“Tidak Rim. Aku masih mempercayainya.
Mungkin masih ada Palgunadi-Palgunadi atau Ekalaya-Ekalaya lainnya yang jauh
lebih baik dari si playboy kampung itu yang akan menjadi pasanganku,” jawabku
antusias.
“Oalah Dewi..Dewi... Kamu mau jadi
kayak si Kama itu, jadi pemuja rahasianya Bu Ratih! Suka sama guru sendiri yang
sudah tahu umurnya jauh lebih tua, gara-gara nama!” kata Armbi sambil
mendengus.
“Kalau Kama, memang dia itu otaknya
agak konslet!” jawabku.
“Apa bedanya sama kamu!” Arimbi
menarik kunciran rambutku.
***
Anak-anak
kembali geger setelah mendengar Bu Ratih baru saja dilamar oleh seorang dosen.
Kama, langsung menjadi anak pendiam untuk sesaat, membuat Khresna yang satu
meja dengannya tertawa.
“Sudahlah Kam. Cintamu bertepuk
sebelah tangan. Bu Ratih bukan takdir kamu! Jangan jadi punguk yang merindukan
bulan. Yang realistis saja, nanti alih-alih kamu jadi gila!” kata Khresna
sambil menepuk-nepuk punggung Kama.
“Padahal dia itu Dewi Ratih
idamanku. Cantik, anggun, baik, sopan dan pintar. Ya Tuhan, seharusnya aku
dilahirkan terlebih dahulu, atau Bu Ratih yang dilahirkan belakangan. Supaya
kami bisa bersatu,” kata kama sambil menengadahkan kedua tangannya, layaknya
orang berdoa.
“Woi! Sadar! Jangan ngelantur!” Arimbi
menggebrak meja Kama sambil tertawa.
“Kama, kenapa kamu tidak jadian saja
sama Dewi! Dia juga sekarang lagi sendiri!” kata Khresna tiba-tiba.
“Apa!!!” Aku dan Kama bersamaan
sambil melotot kearah Khresna.
“Iya, benar apa kata Khresna. Apa
salahhnya? Toh, kalian sudah saling mengenal dengan baik dari kecil. Istilahya,
baik buruknya, kalian sudah saling tahu,” timpal Arimbi.
“Wah! Itu tidak mungkin!” jawab
Kama.
“Iya benar! Itu mustahil!” sahutku.
“Apanya yang tidak mungkin? Apanya
yang mustahil?” tanya Khresna.
“Karena Kamajaya itu harus
berpasangan dengan dewi Ratih! Dan Dewi Anggraini harus berpasangan dengan
Palgunadi atau Ekalaya!” jelas Kama dan aku membenarkannya, sedangkan Arimbi
dan Khresna hanya menghela nafas.
“Ah! Terserah kalian saja!” kata
Arimbi sambil membuka buku pelajaran bioligi-nya.
***
Tidak ada angin tidak ada hujan,
hari senin pagi Kama tiba-tiba minta bertukar tempat duduk dengan Aryo. Aku dan
Arimbi saling pandang, kemudian menatap Khresna.
“Kalian bertengkar?” tanyaku.
Khresna menggelengkan kepalanya dengan wajah yang agak bingung. “Terus, kenapa
tiba-tiba Kama pindah tempat duduk?”
“Aku juga tidak tahu,” jawab Khresna
sambil mengangkat kedua bahunya.
“Kama juga tidak ngomong apa-apa
sama kamu, Wi?” timpal Arimbi.
“Tidak. Waktu berangkat dari rumah
aku tidak melihat tanda apa-apa dari Kama.”
“Itu anak habis kesambet dan kemasukan
setan dimana ya?” kata Arimbi.
Aku
dan Arimbi duduk bersama Kama di kantin sekolah waktu jam istirahat, bermaksud
menanyakan kenapa tiba-tiba pindah kursi juga nampak memasang wajah permusuhaan
setiap berhadapan dengan Khresna. Baru saja aku akan membuka mulut, Khresna
datang dan tanpa berkata apa-apa Kama langsung pergi. Aku, Arimbi dan Khresna
hanya saling pandang.
Sehabis
bubaran sekolah, aku dan Arimbi berencana mempertemukan Kama dengan Khresna
untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka. Aku mengajak
Khresna ke pinggir lapangan basket sekolah untuk menemui Khresna yang sedang
menunggu bersama Arimbi. Ketika melihat Khresna, Kama berencana untuk berbalik,
tapi aku segera menariknya dan memaksanya untuk menemui Khresna.
“Kama. Sekarang kamu harus
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi hingga sikap kamu berubah terhadap
Khresna. Aku tidak ingin pertemanan dan persahabatan kita rusak dan hancur
gara-gara sesuatu yang tidak jelas!” kataku setelah Kama berhadapan dengan Khresna.
“Aku tidak mau berteman dengan orang
munafik seperti dia!” kata Kama sambil menunjuk Khresna yang tentu saja membuat
kami bertiga terkejut, terutama Khresna.
“Apa maksud kamu, Kama! Aku tidak
mengerti!” kata Khresna kebingungan. Wajah tampannya yang biasa murah senyum
nampak begitu tegang.
“Tidak usah berpura-pura! Kamu
pacaran kan dengan Mbak Aisyah, kakakku, kan?!” kata Kama dengan wajah tidak
kalah tegangnya.
“Apa!!!” Aku dan Arimbi bersamaan
setengah berteriak, terkejut dengan apa yang baru saja kami dengar. Khresna
terdiam, dari wajahnya terlihat kalau dia juga terkejut.
Aisyah adalah kakak perempuan Kama
yang sudah duduk dibangku kuliah tingkat satu, jadi lebih tua dua tahun dari
Kama juga Khresna, wajahnya mirip Kama tapi lebih manis dan agak sedikit tomboy.
“Teman macam apa kamu ini Na?
Diam-diam kamu pacari kakak sahabatmu sendiri. Kamu sudah berpacaran dengan
Mbak Aisyah tiga bulan belakangan ini kan?! Aku kemarin melihat kalian berjalan
berdua keluar dari toko buku dengan bergandengan tangan. Kemudian dirumah aku
menanyakannya ke Mbak Aisyah. Pada awalnya dia tidak mau menjawab tapi akhirnya
dia mengaku juga kalau kalian berpacaran!”
Khresna menghela nafasnya. “Terus
kenapa? Apa salah!” katanya kemudian. Aku dan Arimbi hanya diam, bingung, tidak
tahu harus berkata dan berbuat apa.
“Tentu saja salah! Karena baik kamu
dan Mbak Aisyah tidak pernah mengatakannya padaku! Tiga bulan, kamu
membohongiku! Apa layak disebut teman?!”
“Karena aku tahu kamu akan bersikap
seperti ini!” jawab Khresna.
“Dasar munafik!”
“Apa hakmu mengatakan aku munafik!”
Ketegangan makin tinggi, aku
memegang tangan Kama dan Arimbi memegang tangan Khresna.
“Sudah..sudah... Semuanya bisa
dibicarakan dengan kepala dingin kan, Kam? Kalian ini kan bersahabat,” kataku.
“Iya benar kata Dewi, sebaiknya kita
pulang saja,” sahut Arimbi sambil menarik tangan Khresna.
“Tidak! Aku harus menyelesaikannya
sekarang juga! Aku tidak terima disebut sebagai munafik! Apa haknya dia
mengatakan seperti itu!”
Kama tertawa, kemudian mengingatkan
Khresna yang katanya tidak mempercayai tentang nama pasangan berdasarkan suatu
cerita atau mitos.
“Aku memang tidak mempercayai dan
mempedulikannya!” jawab Khresna yang merasa tidak mengerti apa kaitannya dengan
dirinya dan hubungannya dengan Aisyah.
“Halaah, buktinya kamu berpacaran
dengan Mbak Aisyah. Kenapa harus dia sih, Na! Dia kakakku dan lebih tua dari
kamu! Apa yang kamu lakukan tidak sesuai dengan apa yang kamu katakan!”
“Aku tidak mengerti apa maksud kamu,
Kam! Kenapa kakakmu? Memangnya salah aku suka dia dan dia juga suka denganku?
Kami saling menyukai! Cinta dan suka mendatangi semua mahluk tidak peduli siapa
pun dia! Seperti kamu yang juga pernah menyukai Bu Ratih!” Kama terdiam. “Dan
mengenai mitos nama pasangan yang kamu pegang teguh itu, sungguh aku tidak tahu
apa hubungannya dengan aku, hingga kamu menyebutku munafik!”
“Kamu menyukai kakakku karena nama
dia Rukmini, kan! Salah satu istri dari Batara Khresna!” Kama memandang tajam
Khresna.
“Apa!” Khresna, aku dan Arimbi
bersamaan.
“Yah. Nama lengkap Mbak Aisyah
adalah Aisyah Rukmini!” jelas Kama.
“Aku tidak pernah tahu tentang itu.
Demi Tuhan, aku tidak tahu nama lengkap kakakmu, Kam, dan dia juga tidak pernah
mengatakannya. Aku kira nama lengkap kakakmu Siti Aisyah. Aku menyukai kakakmu
karena memang aku suka! Atau jangan-jangan kakakmu menyukai aku gara-gara
namaku?” Khresna menatap curiga Kama.
“Tidak! Mbak Aisyah tidak percaya
akan hal seperti itu!” jawab Kama. Khresna nampak berafas lega.
Dalam sebuah kisah pewayangan
Khresna dikenal sebagai raja dari kerajaaan Dwarawati yang merupakan titisan
dari Dewa Wisnu Khresna adalah anak dari Prabu Basudewa dari kerajaan Mandura,
mempunyai seorang kakak bernama Baladewa dan adik bernama Sembadra, yang
kemudian dinikahi Arjuna. Digambarkan sebagai tokoh yang bijaksana, cerdas,
pandai berbicara dan sakti mandraguna. Khresna diceritakan mempunyai beberapa
orang istri, diantaranya bernama Dewi Jembawati, Dewi Setyaboma dan Dewi
Rukmini. Ada versi yang menceritakan Khresna mempunyai tiga orang istri tetapi
versi lain menceritakan Khresna mempunyai lebih dari tiga orang istri.
“Jadi, semuanya sudah jelas kan?
Sekarang kalian bisa bersama lagi. Tidak ada perang dingin lagi,” kataku sambil
tersenyum.
“Gara-gara nama persahabatan kita
hampir saja hancur!” sahut Arimbi.
Kama dan Khresna terdiam, keduanya
kemudian saling meminta maaf.
“Tapi aku masih tidak terima, kenapa
Mbak Aisyah mau berpacaran dengan dia! Masih banyak laki-laki yang lebih baik
dari dia!” kata Kama.
“Kama! Jangn mulia lagi!” Arimbi meloto
kearah Kama.
“Hei! Aku adalah laki-laki paling
tampan dan paling baik di sekolah ini!” jawab Khresna tidak mau kalah.
Perang dingin dan ketegangan
berakhir sudah, kami berempat kembali seperti semula. Khresna mengatakan awal
mulai tertarik dengan Mbak Aisyah karena sering betemu saat dia main dan
menginap di rumah Kama untuk menonton bola begitu juga dengan sebaliknya.
“Jadi, mulai saat ini aku melarangmu
menginap dirumahku lagi untuk menonton bola!” kata Kama.
“Jangan begitu Kam, di rumahku tidak
enak, ada nenekku yang super cerewet yang melarangku menonton telivisi sampai
larut malam. Lagipula dirumahmu tv-nya jauh lebih besar.”
“Tidak! Nanti malam-malam kamu malah
nyelenong ke kamar kakakku!”
“Aku bukan laki-laki seperti itu!”
“Cieeh akrabnya adik dan calon kakak
ipar,” ledek Arimbi kepada Kama dan Khresna.
“Tidak! Aku tidak mau punya kakak
ipar seperti dia!” Kama menyikut lengan Khresna.
“Kenapa memangnya? Kamu seharusnya
bangga punya calon kakak ipar sepertiku. Sudah ganteng, baik, pinter, jagi main
voli dan populer di sekolah!” Khresna tertawa sedangkan Kama hanya mencibir.
Aku dan Arimbi tertawa.
Keadaan berjalan normal, sampai
akhirnya kami pun menghadapi ujian tengah semester.
***
Hari
pertama masuk sekolah setelah libur tengah semester. Anak-anak begitu semangat
masuk sekolah termasuk, aku. Apalagi nilai ujian tengah semesterku yang lumayan
bagus, juga Arimbi, Kama dan Khresna. Ada beberapa kabar baik, diantaranya
Arimbi yang akhirnya jadian dengan Panji dan Bu Ratih yang menikah dengan calon
suaminya yang dosen. Tapi diantara kabar baik tersebut ada kejadiaan tidak
mengenakan terjadi. Khresna yang tanpa berkata dan alasan apa-apa minta tukar
tempat dengan Dimas. Sikap Khresna sama persis dengan yang dilakukan Kama waktu
kasus Mbak Aisyah.
“Waduh! Ada apa lagi ini? Baru masuk
sekolah sudah ada masalah lagi!” kata Arimbi, “kamu tahu Wi?” Aku menggeleng.
“Memangnya
ada masalah apa lagi kamu sama Khresna, Kam?” tanya Arimbi kepada Khresna.
“Tidak ada. Aku merasa tidak
mempunyai masalah dengan Khresna. Masalah Mbak Aisyah, aku sudah tidak
mempersoalkannnya lagi.”
“Apa dia putus dengan Mbak Aisyah?”
tanyaku.
“Sepertinya tidak! Aku masih melihat
foto noraknya Khresna di kamar kakakku!”
“Kalau begitu, apa yang membuat
Khresna seperti itu?” kata Arimbi sambil memandang bergantian aku dan Kama.
Arimbi menghampiri Kama yang sedang
berbicara dengan Sena. “Na, sebenarnya ada apa sih?” tanyanya.
“Ada apa memangnya?” jawab Khresna
dengan santainya.
“Ya kamu. Kenapa kamu tiba-tiba
minta tukar tempat duduk?”
Khresna menghela nafas. “Lebih baik
kamu tanyakan saja sama temanmu itu!” Khresna menunjuk Kama dan aku. Arimbi
merasa kebingungan, kemudian kembali ke kursinya, di sebelahku.
“Apa katanya Rim?” tanya Kama.
“Aku malah disuruh tanya ke kamu!”
Kama menggaruk-garuk kepalanya,
“maksudnya si Khresna apa sih!”
Setelah
jam pelajaran terakhir berakhir, Kama, aku dan Arimbi sengaja menghampiri meja
Khresna, menahannya supaya tidak pulang dulu.
“Na. Kita harus bicara!” kata Kama.
“Oooh, jadi ada yang harus
dibicarakan?!”
“Kamu kenapa sih, Na!” timpalku.
“Kamu sebenarnya kenapa? Mau
membalas sikapku yang dulu! Tapi apa alasannya? Ini hari pertama kita masuk
sekolah setelah libur tengah semester dan tiba-tiba sikap kamu seperti ini. Kan
tidak enak, Na!” kata Kama kembali setelah kelas sepi dan hanya tinggal kami
berempat.
Khresna
bangkit dari duduknya, berdiri tepat di depan Kama sambil menatap tajam. “Dasar
munafik!” katanya kemudian yang tentu saja membua Kama, aku dan Arimbi
terkejut. Kejadiannya sama persis waktu Kama menuduh Khresna
“Sebenarnya ada apa lagi sih ini!
Kenapa harus berulang seperti ini!” protes Arimbi.
“Kamu juga Wi!” lanjut Khresna
sambil menunjuk kearahku yang tentu saja membuat aku semakin terkejut dan tidak
mengerti.
“Hei! Apa yang sebenarnya terjadi!
Na, tolong jelaskan!” kembali Arimbi berkata dengan raut wajah yang bertambah
bingung.
“Kita telah dipermainkan oleh dua
orang ini, Rimbi!” Khresna menunjuk Kama dan aku.
“Maksud kamu apa sih, Na! Jangan
menuduh orang sembarangan tanpa alasan!” nada suara Kama mulai meninggi.
Khresna tertawa. “Kalian memang
benar-benar munafik!”
“Khresna!” aku berteriak.
“Dengarkan aku baik-baik Rim. Selama
liburan kemarin, beberapa kali aku melihat dua orang teman kita ini jalan
berdua!”
“Bukannya mereka setiap hari selalu
jalan berdua, berangkat dan pulang sekolah. Mereka kan tetangga dekat!” potong
Arimbi.
“Tidak! Mereka bukan jalan berdua
seperti biasanya. Mereka sangat mesra, selayaknya orang berpacaran!” Arimbi
memandang aku dan Kama yang berdiri terdiam. “Aku merasa yakin kalau dia dan
dia berpacaran!” Khresna menunjuk Kama dan aku. “Dan aku mencoba menanyakannya
ke Mbak Aisyah. Dan jawabannnya apa!”
“Apa memangnya?” tanya Arimbi sambil
memicingkan matanya.
“Lha Na, kamu tidak tahu. Bukannya
mereka sudah lama jadian!” Khresna menirukan ucapan Mbak Aisyah. Kemudian
tersenyum sinis kepadaku dan Kama. Arimbi memandang dengan tajam aku dan Kama
secara bergantian. Kama terdiam dan aku pun terdiam sambil menunduk.
“Apa benar begitu? Kama! Dewi!” kata
Arimbi kemudian. Kama dan aku masih terdiam.
“Jadi, sekarang siapa yang
sebenarnya munafik! Siapa yang dulu pernah bilang mustahil dan tidak mungkin
kalian berpacaran! Mana prinsip kalian itu!”
“Khresna! Kamu bisa diam dulu enggak
sih!” Arimbi menatap Khresna. “Apa benar kamu jadian dan berpacaran denga Kama,
Wi?!” Arimbi menatapku dengan tajam.
“Yah! Kami memang jadian dan
berpacaran! Kalian puas! Terus kenapa?! Salah?! Dosa?!” Kama yang menjawab.
Khresna
tiba-tiba tertawa. “Nah! Begitu dong, ngaku! Tidak usah sembunyi-sembunyi dan
main rahasia-rahasia-an. Kalau sudah saling suka mending ngomong secara jujur,
lupakan mitos nama itu! Kan semuanya jadi enak!” Khresna menepuk punggungku dan
Kama, yang tentu saja membuat kami berdua merasa bingung dengan perubahan
sikapnya.
“Kamu
sengaja mempermainkanku Na!” protes Kama sambil manatap tajam Khresna.
Khresna
hanya tertawa. “Aku hanya ingin kalian jujur! Apa susahnya jujur pada diri
sendiri dan pada orang lain!” katanya kemudian sambil kembali menepuk punggung
Kama.
“Serius
kalian jadian!” kata Arimbi. Aku mengangguk pelan.
“Jadi,
sekarang lupakan prinsip kalian itu!” kata Khresna yang sudah ada diantara aku dan Kama sambil
memegang pundak kami berdua.
“Sebenarnya
aku sudah curiga dengan kalian berdua sejak dulu,” kata Arimbi.
“Curiga
apa?” tanyaku.
“Waktu
si Kama pacaran sama anak SMK yang bernama Ratih itu, kamu protes sama Kama,
yang katanya tidak cocoklah, kurang ini, kurang itu, marah ketika Kama bonceng
berdua dan akhirnya Kama putus dan kamu bersyukur, betul begitu kan, Wi?” Aku
menunduk malu. “Juga Kama, waktu Dewi jadian sama Gunadi kemarin, komentarnya
tidak ada satu pun yang positif tentangnya.”
“Ya
memang si Gunadi memang begitu!” potong Kama.
“Dan
si Kama ini bahagia sekali ketika tahu kamu putus dengan playboy kampung itu,
Wi!” timpal Khresna sambil menepuk pundak pundak Kama. “Memangnya sejak kapan
kamu suka sama Dewi sebagai seorang perempuan dewasa, bukan sebagai teman atau
tetangga,” sambung Khresna sambil tersenyum.
“Sejak
SMP!” jawab Kama lirih.
“Kalau
kamu Wi, sejak kapan suka sama Kama?” tanya Arimbi.
“Sama.
Sejak SMP juga,” jawabku malu.
“Kalian
memang benar-benar bodoh! Hanya gara-gara nama, kalian memendam dan
mengorbankan perasaan masing-masing! Apalah arti sebuah nama, itu kata
Shakespeare,” kata Khresna sambil kembali memegang bahu aku dan Kama.
“Baiklah,
karena semuanya sudah jelas, sebaiknya kita pulang. Sebentar lagi Pak Penjaga
Sekolah pasti mau memeriksa ruangan dan menguncinya,” kata Arimbi.
Kami
berempat keluar ruang kelas.
“Kenapa
kamu harus berbuat sama denganku sih, Na! Main pindah kursi, nuduh orang
munafik! Kenapa waktu kamu melihat aku dan Dewi tidak langsung samperin saja
dan ngomong langsung!” kata Kama sambil berjalan menuju gerbang sekolah.
Khresna
tertawa. “Untuk membalas kamu, Kam. Aku tidak terima dikatakan munafik, karena
aku memang tidak. Sedangkan kamu, apa yang kamu katakan tidak sesuai dengan apa
yang kamu lakukan! Katanya tidak mungkin, katanya mustahil, eh jadian juga!
Lagipula kalau aku langsung tanya waktu itu, kalian mau ngaku kalau pacaran?!”
Khresna tertawa. Aku dan Kama diam. “Pasti kalian tidak mau mengaku, gengsi
kan?” Kama tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Aku tahu alasan si Khresna tidak
mau nyamperin kalian waktu itu, karena dia sedang jalan dengan Mbak Aisyah!
Tengsin dilihat kamu Kam,” kata Arimbi sambil tersenyum. Khresna tertawa.
“Jadi, serius nih, Khresna mau jadi
ipar kamu, Kam?” sahutku sambil tersenyum.
“Apa enaknya punya ipar dia! Nanti
aku bilang sama Mbak Aisyah, untuk berpikir seribu kali lagi berhubungan dengan
kampret satu ini!” Kama menyikut tangan Khresna.
“Sudahlah, kamu terima saja. Kita
ditakdirkan untuk bersaudara, Kam,” Khresna tertawa, begitu juga aku dan
Arimbi.
“Tapi ngomong-ngomong. Kalau masalah
Bu Ratih, kamu benar-benar suka sama dia atau hanya iseng-iseng dan membuat
Dewi marah?” tanya Arimbi.
Kama tersenyum. “Laki-laki mana yang
tidak suka sama dia, Rim. Dia itu sosok perempuan yang sempurna. Waktu itu aku
berpikir, inilah pasangan yang tepat untukku!”
“Apa!” kataku sambil mencubit lengan
Kama.
“Kan aku bilang waktu itu, Wi! Tapi
bener lho, dia itu wanita impian setiap laki-laki, beruntung sekali suaminya
itu. Waktu itu juga aku berpikir, meskipun tidak bisa mendapatkan kamu Wi, karena waktu itu kamu
masih sama si playboy kampung itu, apa salahnya mendapatkan hati Bu Ratih,”
kata Kama sambil melirik kearahku. Aku mendengus kemudian kuinjak kakinya
dengan keras. “Addduhhh!!! Sakit Wi,” Kama mengaduh sambil mengangkat kakinya
yang baru saja kuinjak.
“Biar tahu rasa!” kataku. Arimbi dan
Khresna hanya tertawa melihat kelakukan aku dan Kama.
“Oh iya Kam, kamu tahu nama suaminya
Bu Ratih yang dosen itu?” kata Khresna.
“Tidak! Memang siapa namanya? Kamu
tahu, Na?”
“Namanya Satrio Dananjaya!”
“Apa!” aku dan Kama bersamaan.
“Wah! Seharusnya mereka tidak
bersatu, Dananjaya itu nama lain dari Arjuna, dan Arjuna itu tidak berpasangan
dengan Dewi Ratih tapi dengan Dewi Sembadra, Dewi Srikandi, Dewi Supraba....”
“Yah, mulai lagi deh. Kamu ngomong
dan protes apa pun, percuma, Kam! Bu Ratih sudah menikahinya!” kata Khresna
memotong perkataan Kama.
“Sudah...sudah...Ngomong-ngomong,
aku lapar nih!” kata Arimbi sambil memegang perutnya.
“Ah, si gembul, sebentar-sebentar
lapar!” Khrena mengacak rambut Arimbi.
“Ya jelas lapar, ini kan sudah
waktunya makan siang. Bagaimana kalau kita makan bakso Pak Kumis yang ada di
seberang gerbang sekolah? Dan Kama akan menraktir kita!” kata Arimbi tersenyum.
“Lho! Kok aku!” protes Kama.
“Ya kamu yang traktir, sebagai tanda
kamu jadian sama Dewi. Ya kan Wi?” Arimbi tersenyum sambil memegang pundakku.
Aku hanya nyengir.
“Dan juga sebagai tanda menebus
kesalahan kalian yang telah membohongi aku dan Arimbi!” timpal Khresna.
“Ah! Modus! Baiklah aku traktir
kalian, tapi janji, cuma satu mangkok dan satu gelas es teh saja!”
“No problemo! Yang penting
ditraktir!” Arimbi tertawa.
Setelah sampai di gerbang sekolah,
kami berempat langsung menyeberang jalan menuju warung bakso Pak Kumis yang
terkenal paling top markotop.
Yah, akhirnya hati Dewi Anggraini
berlabuh pada Kamajaya, bukan pada Palgunadi atau Ekalaya dan hati Kamajaya
tidak berlabuh pada Dewi Ratih. Mungkin benar apa kata Shakespeare, apalah arti
sebuah nama. Gara-gara nama, hampir saja rasa cintaku yang aku pendam begitu
lama dikorbankan begitu saja, begitu juga dengan Kama.
***
Keesokan
hari. Arimbi berlari-lari ke arah aku, Kama dan Khresna yang sedang menikmati
mie ayam di kantin sekolah.
“Darimana Rim?” tanyaku. Arimbi
mengambil es jeruk punyaku dan meminumnya. “Jangan dihabiskan, aku belum
minum!”
“Ada apa sih, Rim, kamu lari-lari
sampai ngos-ngosan begitu, nanti kamu kurus lho!” kata Kama tersenyum.
“Ada berita, tapi aku tidak tahu,
ini berita bagus atau berita jelek!”
“Berita apa?”
“Aku baru saja dari kelas Panji.
Disana ada murid baru. Laki-laki. Orangnya? Wuihhhh!” Arimbi mengangkat kedua
jempol tangannya. “Kama dan Khresna, lewat!”
“Masa sih! Padahal aku yang paling
keren di sekolah ini!” protes Khresna.
“Pindahan dari Blora. Kalian tahu
namanya siapa?”
“Siapa memangnya?” Aku, Kama dan
Khresna bersamaan.
“Namanya Bambang Ekalaya!” Arimbi
tersenyum.
“Apa!” Aku dan Kama terkejut,
kemudian saling pandang satu sama lain. Kama melotot kearahku. Khresna
memandang kami berdua begitu juga dengan Arimbi.
“Stop! Semuanya sudah berakhir!
Jangan mulai lagi! Ingat kata Shakespeare!” kata Khresna sambil bangkit dari
duduknya dan menjewer telingaku juga telinga Kama. Aku dan Kama mengaduh
kesakitan.
w
Komentar
Posting Komentar