My Little Doctor (bagin 3-selesai)
“Indah menikah sama Agus
gendut!” Lestari membelakan matanya ketika mendengar tentang kabar tentang
sahabat kecilnya itu.
Firman tersenyum dan mengatakan sekarang mereka sudah dikarunia
tiga anak yang masih kecil-kecil, sekarang kakaknya itu menjadi ibu rumah
tangga dan ikut suaminya ke Jawa Timur, Agus menjadi seorang tentara seperti
yang selalu dicita-citakannya sejak kecil. Firman pun berkata kalau Agus tidak
segendut waktu kecil, dia sekarang tinggi, tegap dan gagah.
“Waduuuh, bagaimana sekarang mereka ya?” Indah berkata sambil
mengira-ngira keadaan kedua teman kecilnya itu. Lestari mengira dengan
Lukman-lah sahabatnya itu akan menikah, karena memang Indah sangat menyukainya
sejak kecil, bahkan dia sebal dengan Agus gendut.
Firman mengambil telepon
genggamnya, kemudian menekan sebuah nomor telepon. Terdengar nada sambung,
kemudian terdengar suara seorang perempuan. Firman mengatakan ada seseorang
yang ingin berbicara dengan suara perempuan yang ada di hp tersebut. Dokter
muda tersebut menyerahkannya Lestari, gadis itu sedikit bingung, tapi menjadi
bersemangat ketika mengetahui siapa yang sebenarnya baru dihubungi Firman.
Lestari mengucapkan salam dan menyapa suara yang ada di telepon tersebut,
sesaat tidak ada suara, kemudian terdengar teriakan “Lestariiiiiiiiii!!!!”
Suara tangisan pun pecah bergantian dengan suara tawa. Hampir lima belas menit
Lestari berbicara dengan sahabat masa kecilnya itu. “Lestari, nanti disambung
lagi ya, anakku menangis. Kamu harus janji jangan menghilang lagi!” Suara
perempuan di telepon yang tak lain adalah Indah, kemudian terdengar bunyi klik. Lestari
menyerahkan kembali hp Firman, ada segurat kebahagiaan di wajahnya.
Sesaat keduanya nampak terdiam, kemudian dokter muda itu mulai
angkat bicara, bercerita alasannya ketika dia harus pulang mendadak, sehingga
tidak dapat menghadiri upacara wisuda Lestari, saat itu dia menerima telegram
kalau pamannya yang menempati rumahnya dimana dulu masih menjadi tetangga
Lestari, keadaannya kritis yang pada akhirnya meninggal dunia. Kabar yang
mendadak, sehingga dia tidak menghubungi siapa pun, hanya ijin kepada teman
sebelah kamarnya, itu pun hanya mengatakan harus pulang ada keperluan mendadak.
Bahkan dia lupa akan janjinya kepada Lestari, teringat ketika dia sudah di
tengah perjalanan, sayang waktu itu teknologi belum secanggih sekarang, jadi
hanya bisa menyesali dalam hati.
“Pamanmu, yang fotografer itu?” tanya Lestari dan dijawab anggukan
oleh Firman. Kemudian Firman melanjutkan ceritanya. Karena dia dianggap
jaraknya yang paling dekat, dan satu-satunya laki-laki sebagai wakil ayahnya
yang kini tinggal di daerah pedesaan. Selama hampir dua minggu dia mengurus
segala sesuatunya. Setelah tujuh hari, istri pamannya memutuskan untuk ikut
anak pertamanya ke Jawa Timur. Kemudian dia bersama keluarganya berunding
tentang rumah, yang pada akhirnya memutuskan untuk menjualnya.
“Sayang sekali yah, rumahku yang disana juga sudah menjadi milik
orang lain. Padahal tertalu banyak kenangan di sana.” Lestari berkata sambil
matanya menerawang jauh. Firman mengatakan, kalau yang membeli rumahnya adalah
Pak Budi, tetangga sebelahnya, yang dulu mantan lurah.
***
“Aku pernah berkirim surat, ke alamat yang pernah kamu tulis di
surat yang kamu tingglkan di tempat kostku dulu.”
Lestari menghela nafas, kemudian dia pun bercerita. Saat dia
wisuda, ternyata adalah masa pensiun bapaknya di kedinasan, alamat yang diberikan
ke Firman adalah alamat rumah dinas. Karena masa tugasnya selesai, ayahnya
tidak mau tinggal lebih lama lagi di rumah yang bukan haknya, sambil menunggu
mendapatkan rumah baru, mereka sekeluarga mengontrak rumah di suatu tempat, dan
setelah hampir setengah tahun, akhirnya bapak dan ibu memutuskan ke desa. Waktu
itu tidak disengaja, ketika bapak dan ibunya pergi ke rumah paman dan bibi
Lestari, mereka seperti jatuh cinta pada tempat itu, kemudian memutuskan untuk
membeli tanah dekat rumah paman dan bibinya, membangun rumah sederhana dengan
halaman yang cukup luas, juga sepetak sawah. Setelah pindah ke desa, Lestari
diterima kerja di suatu tempat, dan tinggal bersama Dhini, kakaknya. Hampir dua
tahun menjalani rutinitas kerja, berangkat pagi dan pulang sore, Lestari tidak
menemui suatu kenyamanan, akhirnya memutuskan untuk berhenti dengan seijin
bapak dan ibunya. Dan sampai sekarang dia kini tinggal di desa dengan segala
aktifitasnya.
“Apa aktivitasmu sekarang?” tanya Firman.
“Yaa, hanya sebagai perempuan desa.” Jawan Lestari tersenyum.
“Benar-benar menjadi orang desa, bertani, beternak, ikut kumpulan ibu-ibu,
dan...ya kegiatan desa yang ada.”
“Sudah menikah?” tanya Firman secara tiba-tiba.
“Hampir!!!” Jawaban yang spontan keluar dari mulut Lestari,
membuat Firman sedikit mengernyitkan dahi. Lestari sendiri nampak tersenyum dan
mengangkat kedua bahunya. “Mungkin belum jodoh. Bagaimana denganmu, Firman?”
dalam hati Llestari tersenyum, karena sebenarnya dia sudah mengetahui status
Firman dari wanita di Puskesmas.
“Hampir juga!” Jawabnya sambil tertawa, seakan tidak mau kalah
dengan jawaban dari Lestari. Firman bangkit dan berjalan menuju jendela ruang
praktek yang terbuka, sinar matahari nampak merayap melalui kisi-kisinya.
Dokter muda itu menatap keluar, dengan kedua tangan dimasukkan kedalam kedua
saku celananya, menghela nafas sesaat.
“Kenapa belum menikah, mbak
Indah sudah tiga anaknya lho?” Firman membalikkan badannya dan menghadap
Lestari yang sedang duduk dengan tangan memainkan sebuah pulpen yang tergeletak di atas meja praktek Firman. Gadis
itu tersenyum mendengar perkataan Firman.
“Perempuan mana, dengan umur yang lebih dari cukup tidak ingin
menikah, Firman. Mungkin Tuhan belum mengijinkan.”
Lestari kemudian bercerita, bagaimana kedua orang tuanya
menginginkan dia untuk segera menikah, delapan tahun yang lalu. Waktu itu dia
bertemu dengan seseorang yang begitu perhatian dan menyayanginya dan bermaksud
serius dalam menjalin hubungan, tapi apa hendak dikata orang tua pihak
laki-laki tidak menyetujui hubungan anaknya dengan Lestari.
“Kenapa?” Firman bertanya dengan nada penasaran. Lestari
mengangkat kedua bahunya, “Aku tidak tahu pastinya, tapi dari kabar yang sempat
aku dengar, kedua orang tuanya menginginkan pendamping anaknya yang lebih dari
aku, punya jabatan mungkin, status sosial. Entahlah.”
“Laki-laki itu yang memutuskanmu, dia benar-benar bodoh!”
Lestari menggeleng sambil tersenyum. “Tidak! Tapi aku yang
menyuruhnya untuk menurut perkataan orang tuanya. Aku juga tidak mau menjalani
suatu hubungan karena sebuah kompromi.”
Firman nampak memandang
aneh Lestari. “Kompromi? Mbak Tari tidak pernah menyukai laki-laki itu.
Lestari terdiam.”Sudahlah, itu sudah terjadi bertahun-tahu yang
lalu, aku hampir tidak tidak pernah memikirkannya lagi. Bagaimana denganmu, pak
dokter, pasti hidupmu selalu dikelilingi dokter dan wanita-wanita cantik. Tapi
kenapa belum menikah?”
Firman tertawa. “Seperti kataku, hampir. Tapi mungkin belum jodoh.
Apa mau dikata.”
“Seorang dokter?”
Firman mengangguk. “Karena terlalu banyak perbedaan, kami berpisah.
Sebelum aku tugas pertama kedokteraku di Sumatera, enam tahun yang lalu, ketika aku baru saja
jadi dokter.”
“Jadi, kamu pernah tugas di Sumatera?” Firman mengangguk, hampir
enam tahun sebelum dia dipindahkan di Puskesmas kecamatan yang sekarang. Firman
menceritakan pengalamannya sebagai dokter muda di daerah yang terpencil di
Sumatera, tahun pertama yang benar-benar menguji mental, fisik juga
kesabarannya. Lestari nampak mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh.
“Kamu tidak tertarik dengan perempuan di sana?”
Firman tertawa. “Waktu disana, aku tidak sempat memikirkannya. Hal
sama pernah ditanyakan ayah dan ibuku.”
“Terus, bagaimana dengan ayah dan ibumu, dengan keadaanmu
sekarang?”
“Ayah dan ibu menyerahkan semuanya kepadaku, karena semua yang menjalani
adalah aku. Karena aku laki-laki, mungkin.”
“Ya, Firman kecilnya mbak Tari kini sudah jadi laki-laki, seorang
dokter!” Lestari bangkit dari duduknya dan menghampiri Firman, dia berdiri di
depan dokter muda itu, seperti biasa dengan reflek, dia mengangkat kedua
tangannya dan menepuk-nepuk kedua pipinya.
“Seorang dokter!” Lestari
berkata sambil memandangi wajah tampan didepannya itu. Firman tersenyum, dia
tidak memprotes perlakuan Lestari tersebut. Gadis itu kemudian memegang kedua
tangan Firman. “Dengan tangan ini sudah berapa yang kamu sembuhkan dan
selamatkan, Firman? Tangan kecil yang dulu selalu mbak gandeng dan memegang kue
coklat. Lestari memandangi tangan Firman, matanya sedikit berkaca-kaca,
sedangkan dokter muda itu hanya tersenyum dan tiba-tiba menggenggam erat kedua
tangan Lestarii yang memegangi tangannya tersebut. Gadis itu sedikit terkejut
dan memandang laki-laki didepannya itu.
“Ada sesuatu yang ingin aku
katakan ceritakan, mbak Tari.”
“Apa?”
Firman melepas genggaman tangannya pada tangan Lestari,
pandangannya kembali diarahkan keluar jendela. “Sebenarnya, ada sesuatu yang
membuat aku selalu gagal menjalin suatu hubungan dengan seorang perempuan mana
pun.”
“Apa itu?” Tanya Lestari sedikit penasaran.
“Sebenarnya, aku menyimpan perasaan sayang dan kagum pada
seseorang, sudah sangat lama.”
“Ta-pi perempuan, kan?” Lestari berkata dengan nada meyakinkan,
hal ini membuat Firman tertawa.
“Perempuan.” Dokter muda itu menegaskan.
“Syukurlah.” Lestari berkata sambil mengelus dadanya sendiri. “Aku
kira, kamu selalu gagal menjalin hubungan dengan perempuan karena rasa sayang
dan kagum kamu dengan ......”
Firman tertawa. “Pikiranmu terlalu jauh, mbak.” Firman kemudian
berkata, kalau sudah lama sekali dia menyimpan perasaan itu, tapi tidak tahu
harus bagaimana.
“Siapa dia? sekarang dimana? seperti apa orang itu? Orang yang
telah membuat Firman kecilku begitu menyayangi dan mengaguminya?” Tanya Lestari.
“Kamu ingin tahu orang itu?” Firman berjalan menuju prakteknya dan
mengambil sesuatu dari laci mejanya, mengeluarkan sebuah foto. “Perempuan dalam
foto inilah yang telah membuatku kagum dan menyayangi sejak lama.” Firman
nampak memandangi foto tersebut.
“Boleh aku melihatnya? Aku ingin tahu perempuan seperti apa yang
begitu Firman kecilku begitu mengagumi dan menyayanginya.” Lestari berjalan
menuju meja kerja Firman dan duduk di depannya. Gadis itui nampak penasaran,
tiba-tiba ada perasaan kuatir merayapi dadanya. Firman kemudian menyodorkan
foto yang ada di tangannya. Lestari langsung mengambil foto tersebut. Degg!!!
Detak jantungnya seakan terhenti setelah melihat foto yang kini ditangannya,
foto lama yang sudah berwarna kecoklatan, nampak ada sedikit warna buram,
mungkin karena pengaruh kelembaban udara, bergambar seorang anak perempuan yang
tersenyum sedang memangku seorang bocah laki-laki kecil yang sedang tertawa
dengan wajah belepotanan tangan kanan memegang kue.
“Bukankah.” Lestari masih terkejut.
“Yah, perempuan yang berada digambar itu. Aku tidak punya gambar
lainnya. Itu pun aku temukan setelah Om-ku meninggal, dan istrinya meyerahkan
segala sesuatunya kepadaku. Aku menemukan foto ini dalam salah satu album
koleksi karyanya. Aku juga mengambil foto yang lainnya.” Firman mengambil
kembali sebuah foto dan memperlihatkannya kepada Lestari, sebuah foto yang
bergambar beberapa anak, nampak pula didalamnya foto anak perempuan itu
menggandenga bocah laki-laki kecil yang ada dalam foto sebelumnya.
Pikiran Lestari tiba-tiba melayang berpuluh-puluh tahun yang lalu,
mengingat ketika dia duduk di sekolah dasar dan saat foto-foto yang ada
ditangannya itu dibuat oleh Om-nya Firman yang kini sudah almarhum. Dia masih
terdiam membisu, tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.
Firman kemudian bercerita, bagaiman saat itu sebagai anak yang
paling kecil, dia begitu senangnya diajak bermain oleh anak-anak yang lebih
besar.
“Aku waktu itu merasa sendiri, duduk dekat pintu, sambil memakan
kue coklat, memandangi kalian yang sedang bermain. Aku ingin sekali bermain
bersama kalian, tapi tidak ada yang mengajakku, sampai akhirnya mbak Tari
memanggil namaku, menggandeng tanganku untuk ikut bermain. Kau ingat, aku
adalah pasangan pengantin kecilmu?” Firman tertawa, sedangkan Lestari nampak
tersenyum sambil terus memandagi foto bergambar dirinya yang masih berumur
delapan tahun dan Firman dipangkuannya yang masih berumur lima tahun. Dia
mengingat saat itu, waktu dia bermain pengantin-pengantinan bersama
teman-temannya, karena tidak ada pasangan lagi, dia mengajak Firman kecil yang
berusia lima tahun sebagai pasangannya.
“Waktu itu, aku merasa kau adalah pahlawanku. Aku merasa, dianggap
sudah besar. Tidakkah kau ingat, sepanjang bermain aku begitu bergembira? Juga
saat Om-ku mengajak berfoto, kau yang menggandeng tanganku untuk ikut berfoto,
juga kau meminta Om-ku untuk memfoto kita berdua?” Firman menunjuk foto
kecilnya ketika sedang dipangku Lestari.
Gadis itu tersenyum, tentu
saja dia mengingatnya, saat itu dia tidak tega melihat Firman kecil yang bermain
sendirian, bukannya Indah, kakak Firman tidak mengajaknya bermain, tapi dia
sibuk mencari perhatian Lukman.
“Mbak Tari selalu ada untukku. Apakah masih ingat, ketika
menggendongku dari lapangan sampai rumah, saat aku terjatuh dan hampir saja
menangis? Saat itu, aku merasa mbak benar-benar seorang pahlawan dan seorang
malaikat.”
Lestari tersenyum mengingat kejadian itu. “Waktu itu, kau cukup
berat.” Dia pun mengingat, ketika waktu kecil dulu, dia bersama Indah ingin
bermain sepeda di lapangan, tiba-tiba Firman kecil merengek ingin ikut
bersepeda kakaknya, tapi karena sepeda Indah tidak mempunyai boncengan, maka
Firman membonceng sepeda miliknya.
“Aku juga sangat senang
waktu kau bilang aku sangat ganteng dengan seragam baruku. Waktu pertama kali
aku masuk SD. Rasanya waktu itu dadaku membusung.”Firman tersenyum. Kemudian saat
duduk di bangku SMP, dia pernah sangat sebal dan marah ketika suatu ketika
melihat Lestari berjalan dengan seorang cowok, saat iru dia merasa Lestari ada
yang merebut darinya. “Mbak Tari ingat, saat aku bermain bola, soal cowok itu
aku pernah menanyakannya kepadamu. Hatiku merasa lega, saat mbak mengatakan
kalau cowok itu hanya teman yang sedang mengerjakan tugas sekolah bersama.”
Lestari mencoba mengingatnya. “Ya aku ingat, cowok itu namanya
Fikri. Jujur aku sempat tertarik padanya.”
“Saat itu, berarti kau membohongiku?” Giliran Firman memprotes.
“Tidak, saat itu memang tidak ada hubungan apa-apa antara aku dan
Fikri, aku hanya sempat tertarik dengan cowok pendiam itu.”
“Mbak ingat, kata-kata apa yang diucapkan waktu itu, yang mebuatku
cukup berbunga-bunga?”
“Apa?” Lestari coba mengingat.
“Aku tidak akan punya pacar, nungguin kamu gede, Firman. Aku
sangat mengingat kata-kata itu, mbak.” Firman mencoba mengingatkan dan Lestari
pun tertawa ketika waktu itu dia hanya bercanda, tapi ternyata ditanggapi serius
oleh Firman yang beranjak remaja.
Lestari mengingat saat dia dan Indah belajar bersama, waktu itu
mereka duduk dibangku kelas dua SMA. Tiba-tiba Firman datang minta bantuan
kakaknya untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya, tapi Indah yang juga sibuk mengerjakan
pekerjaan rumah, menyuruhnya nanti kalau dia sudah selesai, tapi Firman terus
merengek. Melihat itu, Lestari merasa kasihan dengan Firman, maka dia akhirnya
yang membantu mengerjakan pekerjaan rumahnya. Sampai akhirnya hari yang
menyedihkan tiba, ketika Lestari dan keluarganyaa harus pindah sesuai lulus
SMA.
Firman mengatakan setelah kepergian Lestari, selain Indah yang
suka lewat depan rumahnya seperti yang pernah dia ceritakan kepada Lestari saat
mereka bertemu di kampus yang sama, dia juga melakukan hal yang sama, bahkan
sering dari kejauhan memperhatikan rumah kosong milik keluarga Lestari,
berharap ada suatu keajaiban, dimana Lestari dan keluarganya tidak jadi pindah
dan kembali lagi ke rumah mereka. Tetapi harapan itu sia-sia sampai akhirnya
rumah itu dibeli oleh penghuni barunya dan Firman lulus SMA.
“Sampai akhirnya aku menemukanmu kembali di kampus.” Firman
menghela nafas. “Semangat dan harapan baru muncul, ketika aku bertemu denganmu
di kampus. Mbak tahu, hari itu, aku sangat senang sekali ketika menemukanmu di
depan perpustakaan, mbak sangat berbeda, jauh lebih dewasa.”
“Aku juga merasakan hal yang sama ketika melihatmu, sungguh
berbeda dari terakhir Firman yang dulu mbak Tari tinggalkan, seorang remaja
tanggung yang baru lulus SMP, mejadi Fiman yang mahasiswa.”
“Waktu itu ingin sekali mengatakan perasaan yang telah lama
terpendam dan menagih janjimu, mbak Tari”
Lestari nampak mengernyitkan dahi.
“Mengatakan kalau aku kini sudah besar, dan aku menyukai mbak Tari.
Tapi belum sempat aku mengatakannya, ternyata ada seorang Bagas disampingmu.
Dan aku marah. Ingat waktu hampir seminggu tidak bertemu denganmu. Saat itu aku
benar-benar marah dan sakit hati. Aku lampiaskan semuanya kedalam buku-buku
perpustakaan, jadi hampir seminggu aku tidak pernah kemana-mana, hanya
kampus-perpustakaan-tempat kost. Sampai akhirnya mbak Tari datang ke tempat
kost ku, mengira aku sakit dan membawa kue coklat kegemaranku. Jujur, saat itu
aku benci kepadamu, mbak. Kemudian kau bercerita kalau kalian bedua sedang
jalan sendiri-sendiri sampai akhirnya kalian putus. Aku senang dan tumbuh
semangatku lagi.”
Lestari tertawa mengingat kisah itu, dia mengingat setelah putus
dengan Bagas, hubungannya dengan Firman kembali normal, bahkan jauh lebih dekat.
Lestari juga tidak tahu prasaan apa sebenarnya yang terjada, karena saat itu,
jika bersama dengan Firman, ada rasa nyaman dan bahagia, tapi hal itu tidak
pernah dia katakan.
***
“Kamu tahu, mbak. Setelah kembali
ke kampus, sungguh aku ingin sekali bertemu denganmu, tapi yang kudapat hanya
titipan surat darimu.” Firman kembli membuka laci mejanya, dan mengeluarkan
sebuah surat yang sudah menguning.
“Kamu masih menyimpannya, Firman?” Lestari nampak terkejut dan
mengambil suratnya yang dulu ditinggalkan untuk Firman, dia membuka dan membacanya.
Firman, maafkan Mbak Tari
sebelumnya. Mbak tidak tahu, kenapa kamu tidak jadi menghadiri upacara wisuda
Mbak, tapi tidak apa-apa, jangan dijadikan beban, mbak yakin kamu pasti ada sesuatu
yang mendadak dan lebih penting. Sebenarnya mbak ingin sekali bertemu denganmu,
tapi mbak tidak tahu harus menghubungi dimana, karena mbak tidak tahu alamat
barumu. Ini alamat mbak. ----------------
Lestari
“Itu satu-satunya informasi terakhir dari Mbak Tari.” Firman mengambil surat tulisan tangan Lestari
tersebut dan melipatnya kembali.
***
Lestari dan Firman diam sesaat.
“Aku pernah punya pacar waktu SMA, seperti yang pernah aku
beritahu, dia sangat mirip dengan mbak Tari. Waktu kuliah, setelah kepergian
mbak Tari, ditingkat dua aku mulai menjalin hubungan dengan teman sekampus, kau
tahu siapa namanya, Lestari.”
Lestari tersenyum. “Bagaimana dengan dokter itu, yang hampir kamu
menikah dengannya?”
Firman tersenyum. “Saat itu aku menggunakan logika, dia dokter, baik, cantik, pintar dan dari
keluarga baik yang juga cukup terpandang, siapa yang tidak ingin menjadikannya
sebagai pendamping hidup, dan orang tua mana yang tidak ingin menjadikannya
sebagai menantu.”
“Dan kau mencintainya?” Tanya Lestari. Firman nampak menghela
nafas, pandangannya nampak menerawang. “Aku sudah mengatakannya, hanya ada satu
orang yang selalu mengisi ruang dihatiku.”
Lestari terdiam sesaat. “Tapi dia mencintaimu?”
“Entahlah.Tapi dia sangat senang jika ada seseorang yang
megatakan, kami adalah pasangan yang sangat cocok, sangat serasi dan sangat
ideal, seorang dokter bertemu dengan seorang dokter. Karena perbedaan yang ada
dan sulit untuk saling dimengerti, kami berpisah, kemudian aku ditugaskan ke
Sumatera.”
“Sekarang dia ada dimana?”
“Kabarnya dia sekarang ada di Jakarta dan sudah menikah dengan
seorang dokter juga.”
Lestari dan Firman, sesaat keduanya terdiam, bergelut dengan
pikirannya dan perasaannya masing.
“Aku selalu berharap bisa melihat dan bertemu kembali denganmu, mbak.”
“Sebenarnya, aku pernah melihatmu di kampus, dua bulan setelah
kepergianku.”
Firman nampak terkejut. ”Aku tidak pernah tahu!”
Lestari kemudian becerita, ketika itu dia harus kembali ke kampus
untuk melegalisir ijazah dan transkrip. “Aku melihatmu sedang berjalan
sendirian, ingin rasanya aku berlari dan menemuimu, tapi tiba-tiba datang
seorang gadis menghampirimu. Aku melihat kamu begitu senang ketika bersama
gadis itu. Aku mengurungkan niatnya. Sore harinya, karena waktu itu aku ikut
menginap di tempat kost lamaku, kebetulan masih ada temanku disana, aku pergi
ke tempat kostmu, ternyata kamu sudah pindah.”
“Kenapa? Kenapa waktu itu kau tidak menghampiriku?” tanya Firman.
“Entahlah, aku tidak mengerti, ada sesuatu yang tiba-tiba
menghantam dadaku, ketika aku melihat kamu bersama gaadis itu. Makanya aku memutuskan
menemuimu ke tempat kostmu.”
“Gadis itulah yang bernama Lestari, dan waktu itu aku memang
pindah kost. Mbak tahu alasannya?”
Lestari menggeleng.
“Dulu, aku mencari tempat kost yang dekat dengan tempat kost mbak Tari.
Tetapi setelah kepergianmu, aku memutuskan untuk pindah kost, yang dekat dengan
kampus.”
“Maafkan aku, Firman.”
Kembali keduanya nampak terdiam.
“Mbak Tari pernah menyukaiku?” Tanya Firman tiba-tiba.
“Dari sejak kecil, mbak selalu menyukai dan menyayangimu, Firman.
Ingat, waktu mbak mau pindah, mbak memelukmu begitu erat, karena mbak begitu
sayang padamu. Mbak sebenarnya ingin sekali melihatmu menjadi anak SMA, melihat
Firman kecil mbak Tari beranjak dewasa.”
“Apa mbak Tari pernah menyukaiku sebagai laki-laki dewasa?” tanya
Firman dengan nada hati-hati.
Lestari terdiam, menghela nafasnya, kemudian tersenyum. “Perempuan
dewasa mana yang tidak akan menyukaimu, Firman. Sejak mbak Tari sudah tidak
bersama Bagas lagi, Firman-lah yang selalu mengisi hari-hari mbak.”
Firman pun tersenyum, ada sebersit kebahagiaan di wajahnya.
Lestari kembali menghela nafas, dia mengalihkan pandangannya ke
arah jendela, kemudian berkata kembali. ”Sampai akhirnya mbak lulus kuliah, dan
saat-saat yang paling ditunggu telah tiba, yaitu wisuda. Mbak mengundangmu dan
sangat berharap kamu datang datang, Firman. Tapi semua itu tidak pernah
terjadi. Jujur, waktu itu mbak sangat kecewa dengan ketidakhadiranmu, yang
tidak memberitahu kabar apa-apa. Mbak baru menyadari, ternyata waktu itu mbak begitu
kehilanganmu.”
“Maafkan aku. Tapi, pernahkah mbak Tari mengingatku selama ini,
semenjak upacara wisuda yang tidak pernah aku hadiri itu?”
Lestari tidak menjawab, dia membuka tas kecil yang dibawanya,
kemudian mengeluarkan dompet, membukanya dan menarik sebuah lipatan kertas, memberikannya
kepada Firman. Dokter muda itu menerima kertas pemberian Lestari dan langsung
membukanya. Selembar kertas yang sudah menguning, terdapat gambar dua orang
berbentuk matchstick yang sedang bergandengan tangan,
dibawahnya masing-masing orang itu ditulis “Mbak Lestari” dan “Dokter Firman”.
Firman tertawa melihat gambar yang ada dalam kertas itu, gambar itu adalah
coretan tangannya, dia pernah memberikannya pada Lestari.
“Mbak tidak
pernah memilki gambar atau fotomu, itulah satu-satunya yang selalu mengingatkan
mba kepada Firman,” Lestari tersenyum.
Tiba-tiba Firman meraih tangan Lestari yang berada di atas meja. “Mbak
Tari, bisakah aku meminta tolong?”
“Apa yang bisa mbak bantu, Firman?”
“Tolong, jangan pernah menghilang lagi dari aku. Untuk selamanya.”
Mata Lestari nampak berkaca-kaca, dia tidak tahu harus berkata
apa, dadanya terasa bergemuruh.
***
“Jadi ini, aktivitas mbak
Tari?” Suara Firman mengagetkan Lestari yang sedang mencabuti rumput diantara
tanaman sayurnya yang berada di kebun belakang rumah di suatu sore yang cukup
cerah.
“Eh, ada pak dokter. Akhirnya sampai juga ke tempat mbak Tari.”
Lestari tersenyum melihat Firman yang berjalan ke arahnya di antara tanaman
sayur.
“Aku dari Pustu, bertemu dengan Pak Amir dan lainnya.” Firman
mengatakan mungkin dia akan menggantikan dokter Aidil, yang biasa datang ke
Pustu dua sampai tiga kali dalam seminggu. Pak Amir kemudian memberikan ide
untuk berkenalan dengan warga desa, dalam waktu dekat melalui Pak Lurah di
balaidesa, karena selama ini warga desa hanya mempercayai dokter Aidil.
“Dokter Aidil sudah pulang?”
“Pagi ini, dia sudah kembali ke Puskesmas, terus siangnya dia
berbicara padaku tentang tugasku, dia langsung menghubungi Pak Amir, dan aku
langsung pergi ke sini. Ternyata desamu sangat indah dan mengesankan, tidak
mengherankan jika bapak dan ibumu begitu jatuh cinta dengan desa ini.”
Lestari bertanya apa Firman sudah bertemu dengan orang tuanya di
rumah, yang baru saja datang dari rumah kakaknya, Dhini. Firman mengangguk
sambil tersenyum dan mengatakan sebenarnya dia sudah datang setengah jam yang
lalu, dan sambutan orang tua Lestari ketika melihat dirinya setelah hampir lima
belas tahun tidak pernah bertemu, mereka bak melihat alien ketika Firman
mengatakan siapa dirinya. Kedua orang tua Lestari begitu kaget dan langsung
berteriak dan memeluk Firman, mereka menangis, segala perasaan bercampur aduk
menjadi satu, yang pada intinya mereka sangat senang dan bahagia, dan acara
temu kangen pun terjadi, menanyakan tentang keluarga Firman dan dimana sekarang
mereka tinggal. Setelah menceritakan keadaan keluarganya, Firman memohon ijin
untuk bertemu dengan Lestari, dia pun menceritakan pertemuannya di Puskesmas
Kecamatan, waktu Alif, anak tetangganya sakit dan harus rawat inap di
Puskesmas. Kedua orang Lestari mengatakan kalau anaknya ada di belakang,
seperti biasanya sedang mengurus tanamannya di belakang rumah, maka diapun
langsung pergi.
“Cukup luas juga, kebun sayurnya, dan dekat dengan sungai.” Firman
memandang sekeliling.
“Yah, seperti inilah, kegiatanku setelah aku memutuskan untuk
berhenti bekerja. Kebetulan kami punya lahan kosong yang cukup luas dan sepetak
tanah sawah. Aku meomohon ijin untuk megurusnya, dan memanfaatkannya,
sebelumnya tanah dan sawah itu diperuntukkan bapak untuk mengisi waktunya.”
“Tidak ada salahnya, selain buat kegiatan juga menghasilkan. Aku
sedikit tahu dari cerita pak Amir tentang mbak Tari yang begitu aktif bersama
warga desa.”
Lestari mengernyitkan dahi. “Kamu tanya apa kepada pak Amir?”
Firman tertawa.”Pak Amir yang sebenarnya yang duluan menceritakan
tentang mbak Tari, sepertinya dia ingin menjodohkan kita.”
Lestari tertawa.
“Kata Pak Amir, mbak Tari adalah pahlawan bagi desa ini.”
“Pak Amir terlalu berlebihan, semua adalah usaha bersama warga
desa ini. Desa ini Indah, dan banyak punya potensi, dari sayuran, sapi perah
dan kerajinan bambunya, tapi tidak berkembang. Awalnya tidak mudah, ada saja
masalah dari mulai hal kecil sampai hal besar.”
“Yah, begitulah. Aku juga pernah merasakan hal yang sama.”
Firman mengajak Lestari ke sungai yang airnya sangat jernih. “Wah,
sungainya jernih sekali dan airnya dingin.” Firman langsung jongkok dan
mencelupkan tangannya kedalam air sungai ketika mereka sampai di tepi sungai,
begitu juga dengan Lestari yang langsung mencuci tangannya, karena kotor
sehabis mencabut rumput.
“Tapi usaha mbak Tari dan warga desa akhirnya berhasil, kan?”
“Perlahan tapi pasti, semuanya membuahkan hasil. Walaupun sempat
ada hal yang begitu tidak mengenakan.”
“Apa itu? Kalau aku boleh tahu.”
Lestari kemudian bercerita tentang segala usahanya bersama warga
desa, terutama untuk angkatan mudanya, dan kedekatannya dengan Farid, ayah
Alif, seorang penyuluh pertanian.
“Maksud kamu, Alif, pasien yang pernah dirawat di Puskesmas itu?”
Lestari mengangguk. “Kedekatan aku dengan ayahnya Alif, ternyata
menjadi bahan pembicaraan orang desa, berita-berita tak sedap beredar di
masyarakat. Aku merasa tidak enak, apalagi Farid sudah punya istri dan anak,
waktu itu Alif mungkin berusia sekitar satu atau dua tahun. Untuk mencegah
beredarnya berita yang tidak mengenakan itu, aku mendatangi Latifah, dan
mengatakan bahwa kabar yang beredar tidaklah benar. Untung saja, Latifah, istri
Farid bukan wanita yang gampang percaya dengan isu yang tak ada sumbernya, dia
lebih memprcayai apa kata suaminya.”
“Orangnya lumayan, juga kelihatan baik”. Firman menggoda Lestari,
gadis itu hanya tertawa.
“Isu tak sedap itu, lama kelamaan berhenti juga, mungkin setelah
mereka melihat kerja kami juga anak-anak muda desa ini. Pertanian organik yang
berhasil, peternakan sapi perah yang berkembang, kerajinan bambu yang sudah
mulai dikenal dan kami sudah pernah mengadakan pameran pembangunan di tingkat
provinsi.”
“Sebuah perjuangan.” Firman berkata sambil matanya memperhatikan
arus sungai di depannya. Lestari kemudian melanjutkan ceritanya, bagaimana
akhirnya mereka mebuat koperasi, bagaimana memasarkan produk organik agar
bernilai jual tinggi, membuat olehan susu. Sampai yang terakhir adalah
bagaimana mereka memperkenalkan produk kerajinan bambu khas desa mereka ke
cakupan yang lebih luas.”
“Sekarang, apa program desa ini.”
“Kami sedang memikirkan tentang produk olahan jagung, selain
sayuran dan padi, tanah desa kami sangat cocok untuk jagung.”
“Mbak Tari sudah berhasil membangun masa depan desa ini.”
Lestari tertawa kecil.” Bukan aku, tapi semua warga desa.”
“Terus, bagaimana dengan masa depan mbak Tari sendiri?” Firman
meraih tangan Lestari yang dingin karena air sungai.
Lestari terdiam, dia merasakan dadanya kembali bergemuruh, aliran
darahnya mengalir lebih cepat.
“Maukah, mbak Tari menjalani masa depan bersamaku?”
“Firman, apa kamu sudah memikirkannya masak-masak.”
“Aku laki-laki dewasa tiga puluh tahun, bukan anak baru gede, yang
baru kemarin mengenal seorang gadis, aku tahu apa yang ada di dalam hatiku dan
pikiranku. Dan aku mengenal mbakTari bukan dari sebulan atau dua bulan kemarin.
Aku sudah memikirkannya sejak dua puluh tahun yang lalu.” Firman tersenyum
memandang wajah Llestari yang tersapu angin sore.
“Aku, perempuan tiga puluh tiga tahun, lebih tua tiga tahun darimu
Firman, sahabat kakakmu. Apa kamu sudah memikirkan itu, bagaimana dengan
perasaan Indah juga kedua orang tuamu?”
“Mereka sudah tahu. Aku sudah menceritakannya.”
Lestari nampak terkejut.”Sejak kapan?”
“Sebelum aku berangkat ke Sumatera, aku menceritakan yang
sebenarnya tentang perasaanku dan apa sebenarnya yang aku inginkan. Saat
pertama kali mendengarnya, mereka hampir tidak mempercayainya.”
“Mereka tidak memprotesmu?”
Firman menggelengkan kepala, dan mengatakan kedua orang tua dan
kakaknya bahkan mnyuruhnya untuk segera menemukan wanita pujaannya itu dan
membawanya ke hadapan mereka.
***
“Bagaimana, kalau ternyata orang yang kau cari selama ini sudah
menikah?” Lestari berkata sambil tersenyum, matanya nampak berkaca-kaca.
Firman tertawa. ”Aku yakin, tidak akan. Ingat janjimu dulu, yang
akan menungguku jika sampai aku besar dan menjadi seorang dokter.”
Lestari tersenyum kemudian membalas genggaman tangan Firman dengan
erat, kehangatan terasa mengalir ke seluruh tubuhnya. “Tapi kini, aku tidak
bisa mengajakmu bermain pengantin kecil lagi, tidak bisa berlari ke warung
pinggir lapangan, untuk membeli plester mengobatimu lagi, tidak bisa
menggendongmu lagi, memboncengkanmu waktu naik sepeda, tidak bisa membantumu membuatkan pekerjaan
rumah.” Airmata Lestari perlahan mengalir di kedua pipinya.
Firman kemudiaan mengusap airmata tersebut. “Aku yang akan
menjadikaanmu pengantin, aku yang akan mengobatimu saat terluka, aku yang akaan
menggendongmu saat sakit, aku yang akan memboncengkanmu naik sepeda melintasi
bukit dan aku akan membantumu menyelesaikan semua pekejaanmu.”
Lestari tertawa didalam tangisannya. Kini dia sudah didalam
pelukan Firman kecilnya, dokter kecilnya. : )
10/02/12
Komentar
Posting Komentar