My Little Doctor (bagian 2)


Setelah seminggu lebih, Lestari menyelesaikan segala urusannya di kampus. Pada hari dimana dia harus meninggalkan kota dan kampus yang setelah empat tahun dihuninya, dia belum dapat menemui Firman, kemudian dia hanya menitipkan surat ke penjaga kostnya untuk diberikan kepada Firman.
***
Lestari menarik nafas dalam-dalam, kemudian mngeluarkannya secara perlahan. Langit sore yang biru kini berganti kemerahan, dari arah sungai sudah tidak terdengar lagi suara anak-anak yang bermain. Gadis itu berjalan kearah saklar, untuk menyalakan lampu kamarnya, kemudian berjala kembali ke arah jendela untuk menutupnya, karena dirasakan angin yang semakin dingin bertiup memasuki kamarnya. Belum sempat menutup jendela, dia kembali terpaku. “Tadi itu benar-benar dia.” Katanya lirih.
***
Lestari mengingat kejadian pada waktu siang hari. Latifah, tetangganya yang paling dekat, nampak kebingungan, dia hanya bisa menangis, melihat Alif, anaknya yang pertama, terbaring mengigil, tapi badannya panas, disampingnya nampak baskom berisi air dan handuk untuk mengompresnya, dia sendiri dalam kondisi hamil tua, suaminya Farid, yang seorang penyuluh pertanian sedang mengadakan penyuluhan di desa atas tidak bisa dihubungi lewat telephon genggamnya. Ayah ibunya berada di lain desa, sedangkan mertuanya sudah meninggal, mak Minah yang biasa membantu dia juga sedang tidak ada, katanya saudaranya ada yang hajatan, jadi harus ikut membantunya. Dia sudah menghubungi Pak Amir, mantri kesehatan desa, juga tidak bisa. Kebetulan ada Ismail, temannya Alif, yang sebenarnya ingin mengajak anak laki-laki kelas dua SD itu bermain bersama, Latifah menyuruhnya untuk memanggil Lestari atau siapa pun, yang ada di rumahnya. Maklum saja, di desa dimana mereka tinggal bukanlah desa yang padat penduduknya, di tempat itu saja, yang paling berdekatan adalah rumah Lestari, paman dan bibinya Lestari. Kebetulan di rumah hanya ada Lestari, bapak ibunya beberapa hari ini sedang pergi ke rumah Dhini, kakaknya, di luar daerah. Lestari, paman dan bibinya langsung pergi ke rumah Latifah, bibinya langsung menenangkan Latifah, pamannya langsung mengompres kepala Alif, dia sendiri mencoba menghubungi Pak Amir, tapi memang tidak bisa dihubungi.
“Kenapa kamu tidak dari tadi telefon aku, Fah?” Kata Lestari.
“Aku benar-benar bingung, Tari.” Jawab ibu muda itu.
“Kalau begitu aku akan cari Pak Amir, ke rumah atau ke puskesmas pembantu.” Lestari langsung pulang ke rumah, mengambil sepeda motor dan langsung pergi mencari mantri kesehatan itu di rumahnya, tapi kata istrinya belum pulang, gadis itu langsung melaju sepeda motornya ke Puskesmas pembantu (Pustu), ternyata memang ada di sana. Tanpa panjang lebar, dia menceritakan keadaan Alif.
Setelah mengambil peralatan, mantri kesehatan itu langsung pergi ke rumah Latifah dengan sepeda motor dinasnya, Lestari mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di rumah Latifah, Pak Amir langsung memeriksa keadaan Alif, sebelumnya dia meminta maaf karena telefon genggamnya mati. Latifah nampak sedikit tenang, dan berhenti menangis setelah mantri kesehatan itu datang.
“Bagaimana dengan Alif, pak mantri?” tanya Latifah setelah mantri kesehatan itu memeriksa anaknya.
“Sepertinya, Alif harus dibawa ke Puskesmas Kecamatan, Fah.”
Latifah nampak tegang kembali dan hampir mau menangis lagi, tapi langsung ditenangkan oleh Pak Amir dan yang lainnya.
“Enggak apa-apa, tapi kemungkinan dia kena typhus. Di Puskesmas Kecamatan ada dokter, Alif bisa ditangani lebih baik dan intensif.”
“Ini hari Sabtu, sudah jam setengah satu, sampai sana jam sekitar satu. Apa dokter masih ada di sana Pak?” tanya Lestari dengan nada ragu.
Dokter Aidil biasanya sampai jam empat di Puskesmas”
“Tapi, ini kan hari Sabtu, Pak?” Kata Llestari tiak yakin.
“Dokter Aidil tidak pernah libur di hari Sabtu, kecuali ada keadaan yang beenar-benar penting.” Mantri kesehatan itu meyakinkan semua yang ada, dan mengatakan harus cepat, disamping untuk kebaikan Alif juga karena diluar mendung sudah mulai menggantung.
Akhirnya Latifah setuju kalau anaknya tersebut dibawa ke Puskesmas Kecamatan. Pak Amir dan Lestari kemudian membawa Alif ke Puskesmas dengan sepeda motor Pak Amir. Tubuh bocah laki-laki itu diselimuti dan dibopong Lestari, membonceng pak Amir.
Latifah kembali menangis, sambil sesekali tangan kirinya memegang perutnya yang besar, dan tangan kanannya memegang telefon genggam, mencoba menghubungi suaminya, tapi tetap saja belum tersambung. Paman dan bibi Lestari kembali menenangkannya, dan menyuruhnya untuk duduk dan bersabar, kasihan bayi yang ada dalam kandungannya.
***
Sesampainya di depan Puskesmas, Pak Amir langsung mengambil Alif yan berada dalam dekapan Lestari, dia setengah lari menuju ke dalam, diikuti Lestari dari belakang.
“Dimana dokter Aidil? Ini darurat!” Kata Pak Amir bertanya kepada salah seorang perempuan petugas Puskesmas. “Pak Amir...” Petugas puskesmas itu belum selesai dengan kalimatnya, mantri kesehatan desa itu langsung menuju ruang periksa doker, sedangkan Lestari menunggu di ruang tunggu. Cukup lama Lestari menunggu, hatinya mulai gelisah, sebentar-sebentar dia menengok ke arah pintu ruang periksa dokter. Di luar hujan sudah mulai turun.
Mantri kesehatan desa itu akhirnya keluar dari ruang periksa. “Lestari!” Pak Amir memanggil Lestari yang masih duduk gelisah di ruang tunggu. Gadis itu langsung beranjak menghampirinya, tapi sebelum dia mengatakan sesuatu, Pak Amir menghampiri petugas yang tadi ditemuinya. “Wah, kamu tidak bilang, kalau yang didalam itu bukan dokter Aidil.”
 Petugas itu tersenyum. “Lha, tadi saya mau bilang, bapak sudah langsung masuk dulu, dokter Aidil pindah ke ruangan yang baru Pak, ruangan lamanya ditempati dokter baru, namanya dokter Hakim, baru tiga hari di Puskesmas ini. Memang belum sempat diperkenalkan kepada para mantri kesehatan.”
“Dokter Aidil dimana?”
“Sudah tiga hari ini sampai empat hari kedepan dokter Aidil izin, ibunya yang ada di Semarang meninggal dunia.”
 “Dokter baru itu orangnya cukup baik.” Kata Pak Amir kepada petugas yang hitam manis itu.
“Bagaimana dengan Alif, Pak?”  Tanya Lestari.
“Alif harus dirawat inap.”
“Sakitnya parah?”
“Masih dalam taraf gejala typhus, tapi kata dokter mengatakan akan lebih baik jika Alif dirawat inap disini, tiga atau empat hari. Sekarang dia sedang diurus sama perawat untuk dibawa ke ruang inap. Oh iya, aku akan mengurus pendaftaran Alif dan segala sesuatunya, kamu hubungi Latifah, bilang sama dia, kalau anaknya tidak apa-apa, jangan bilang tentang sakitnya, bilang Alif perlu istirahat, nanti dia stress, nangis lagi, kasihan nanti bayi di kandungannya. Bilang juga ke dia, suaminya suruh datang kemari sambil bawa keperluan Alif untuk menginap.”
“Baik Pak. Oh iya, tadi Pak Amir bilang, dokter yang memeriksa Alif itu dokter baru ya?”
“Iya, dokternya masih muda, ganteng lagi.” Mantri kesehatan desa itu berbisik sambil tersenyum kepada Lestari. Lestari tersenyum kecut, setelah Pak Amir pergi, dia langsung menghubungi Latifah dan berbicara sesuai dengan apa yang dikatakan mantri kesehatan desa itu.
Seorang perawat datang dan mencari kerabat dari pasien bernama Alif, Lestari langsung menjawab kalau ia salah satu kerabatnya, kemudian dia mengikuti perawat tersebut ke ruang perawatan inap Puskesamas, dilihatnya Alif sedang terbaring disalah satu tempat tidur, tangannya sudah dipasang selang infus, nafasnya sudah mulai teratur dan tidak menggigil lagi, matanya tertutup, kata perawat Alif sedang tertidur. Lestari memegang dahi Alif, masih terasa panas, diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul dua, kemudian matanya melihat ke sekeliling ruangan, ada sekitar empat pasien yang melakukan rawat inap. Nampak ada beberapa orang yang sedang dudukk-duduk, mungkin kerabat dari pasien yang sedang menugguinya.
Seorang wanita yang menjaga salah satu pasien di seberang tempat tidur Alif menghampiri Lestari dan menanyakan tentang Alif, gadis itu menjawab apa adanya.
Kayaknya lagi musim sakit typhus, ya mbak, anak itu juga sama,” wanita itu menunjuk pasien, seorang anak yang berada di ujung ruangan, dia juga bercerita kalau dia sendiri sudah dua hari di Puskesmas, sedang menjagai suaminya yang terkena maag akut.
Wanita itu bercerita tentang dokter baru, yang sempat disebutkan oleh Pak Amir.
“Orangnya baik mbak, pertama saya ngotot harus dokter Aidil karena selama ini saya tahunya dan hanya percaya sama dokter Aidil. Tapi dengan sangat perhatian doker itu menjelaskan dan dengan hati-hati dan telaten memeriksa suami saya, saya pun akhirnya mau. Syukur alhamdulillah suami saya sudah mendingan, besok sudah boleh pulang.” Sesaat wanita itu melihat ke arah suaminya yang sedang tertidur. “Mbak sudah ketemu sama dokter baru itu?”
Lestari menggeleng sambil tersenyum.
“Namanya dokter Hakim, orangnya masih muda, mungkin seumuran sama mbak ini, orangnya ganteng, kata perawat disini, dia masih bujangan.” Katanya sambil tersenyum, begitu juga dengan Lestari, teringat dengan apa yang telah dikatakan oleh Pak Amir.
“Kalau saya masih punya anak perempuan yang belum menikah, mau saya jodohkan sama dokter Hakim. Tapi sayangnya anak saya yang perempuan sudah menikah. Saya saja, kalau masih sendiri mau kalau jadi istrinya.” Perempuan itu berkata dengan nada berbisik kemudain tertawa kecil, mau tidak mau Lestari pun ikut tertawa dengan candaannya. “Ah, ibu bisa aja.”
“Sudah dua hari ini, sebelum pulang, biasanya dokter baru itu mengontrol pasien-pasien yang rawat inap disini.” Wanita itu kembali ke tempat tidur suaminya, yang nampak sudah terbangun.
Pak Amir yang datang membawa obat-obatan yang diperlukan Alif, mantri kesehatan itu langsung menghampiri Lestari yang sedang duduk disamping Alif yang sedang tertidur. Pak Amir menanyakan tentang Latifah dan suaminya, Lestari berkata kalau dia sudah berbicara dengan ibunya Alif sesuai dengan instruksi darinya, dan menurut Latifah suaminya sudah bisa dihubungi, dan sudah tahu tentang Alif, setelah sampai rumah akan disuruhnya langsung ke Puskesmas membawa segala sesuatu keperluan Alif, Latifah pun mengatakan kalau sekarang kedua orang tuanya sudah datang menemaninya jadi paman dan bibinya Lestari sudah bisa pulang ke rumah.
“Syukurlah kalau begitu. Kita tunggu sampai bapaknya Alif datang.”
“Kasihan Latifah, pasti tadi dia bingung stengah mati.” Lestari berkata sambil memandangi wajah Alif yang tertidur, selang infus nampak terpasang ditangan lecilnya, tetes demi tetes cairannya memasuki tubuh anak laki-laki kelas dua SD itu, sesekali dia membelai anak itu. Lestari menjadi teringat seseorang ketika memperhatikan anak itu.
“Mestinya, disaat hamil besar begitu, ada orang tua yang menemaninya, suaminya kan tidak dua puluh empat jam disampingnya.” Kata Pak Amir, Lestari hanya tersenyum mendengar pria berkacamata berusia sekitar empat puluh lima tahun yang sudah hampir dua puluh tahun menjadi mantri kesehatan desa itu, nampak beberapa rambutnya sudah mulai memutih, tapi wajahnya masih tersimpan garis-garis semangat yang begitu keras.
***
Lestari meminta ijin untuk membeli minuman, baik untuk persediaan Alif maupun untuk Pak Amir yang sejak tadi belum setetes air pun membahasi kerongkongannya. Diluar nampaknya hujan sudah mulai reda, walaupun mendung tebal masih menggantung di langit.  Di sebuah toko kecil di seberang Puskesmas, Lestari membeli sebuah botol besar air mineral untuk Alif dan dua botol kecil untuk Pak Amir dan dirinya, dia juga membeli buah-buahan yang dijual di toko sebelahnya yang memang khusus menjual buah-buahan segar.
Lestari memandang langit, berlahan awan-awan mendung itu bergerak, hujan yang menyisakan gerimis benar-benar sudah berhenti. Dia kembali ke Puskesmas, berjalan menuju ruang rawat inap, sebelum sampai di pintu ruangan itu, dilihatnya seorang laki-laki berjas putih keluar dari ruangan rawat inap Puskesmas Kecamatan tersebut.
Deggg!!! Lestari merasa jantungnya saat itu berhenti, rasanya  ingin melompat dan berteriak tapi tenaganya sekan menghilang, sehingga kantong plastik yang berisi minuman dan buah-buahan terlepas dari tangannya. Dilihatnya laki-laki itu berhenti dan menengok ke arah Lestari yang berdiri mematung. Sama seperti Lestari, laki-laki itu juga nampak sangat terkejut.
“Firman!”
“Mbak Tari!” Laki-laki itu mendekat ke arah Lestari yang masih terpaku.
“Firman. Ini benar-benar Firman kecilnya Mbak Tari!” Lestari nampak berkaca-kaca memandang sosok yang kini berdiri dihadapannya, yang juga nampak berkaca-kaca.
“Tidak ada Firman yang lain.” Kata laki-laki berjas putih tersebut.
Airmata Lestari tak terbendung lagi, mengalir di kedua pipinya, dengan refleks gadis itu mengangkat kedua tangannya dan menepuk kedua pipi laki-laki berjas putih tersebut. Firman terrsenyum dengan perlakuan Lestari, dia tidak memprotesnya, kejadian itu sempat menjadi perhatian beberapa orang yang kebetulan melihat dan berada di Puskesmas itu.
“Kamu benar-benar seorang dokter!” Lanjut Lestari sambil menurunkan kedua tangannya. Disaat itu tiba-tiba datang seseorang menghampiri Lestari, celananya setengah basah dan membawa sebuah tas.
“Lestari. Dimana Alif?” Tanya laki-laki itu yang tidak lain adalah bapaknya Alif. Disaat yang sama seorang petugas menghampiri laki-laki berjas putih yang tiak lain adalah Firman, dan mengatakan ada orang yang butuh pertolongan mendadak diruang periksa dokter. Firman segera pergi, sesaat dia menengok ke arah Lestari sambil tersenyum. Lestari pun membalasnya dengan senyuman, entah mengapa dia merasa ada sesuatu yang terbuka didadanya. Setelah mengambil kembali bungkusannya yang terjatuh, Lestari dan Farid, bapaknya Alif langsung menuju ke tempat Alif yang masih tertidur, disampingnya nampak Pak Amir.
“Alif, bagaimana keadaanmu nak?” kata Farid, sambil membelai dan menciumi anaknya tersebut dengan penuh kasih sayang. Seakan tahu yang datang bapaknya, Alif membuka matanya sedkit demi sedikit.
 “Maafin bapak, Alif.”
“Bapak.” Suara Alif lirih.
“Iya, Alif. Ini Bapak. Alif istirahat saja, biar cepat sembuh.” Jawab Farid sambil terus membelai-belai kepala anaknya. Kemudian laki-laki itu menoleh kearah Pak Amir dan Lestari, dan mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada keduanya. Mantri kesehatan itu pun menjelaskan keadaan Alif kepada bapaknya, dan mengatakan kalau dia tidak perlu kuatir, karena Alif sudah ditangani dengan baik oleh pihak Puskesmas.
“Baru saja dokter Hakim memeriksa, katanya kalau minum obat teratur, makan makanan yang bergizi Alif akan cepat sembuh.”
“Dokter Hakim? Bukan dokter Aidil?” Kata Farid, yang kemudian langsung dijelaskan oleh Pak Amir.
“Apa dokter itu, laki-laki berjas putih yang baru keluar dan sempat aku lihat bersama Lestari barusan?” tanya Farid sambil menoleh ke arah Lestari. Pak Amir pun menengok ke arah Lestari.
“Ya, pokoknya cuma dia, dokter yang baru saja ke ruangan ini.” Lanjut Pak Amir.
“Dokter baru, ya Pak. Masih muda.” Kata Farid kepada mantri kesehatan itu sambil memegang tangan Alif yang terkulai lemah.
“Dokter Hakim adalah Firman! Firmanul Hakim! Ya Tuhan, aku benar-benar tidak menduganya.” Lestari membatin.
Pak Amir kemudian mengajak Lestari untuk pulang, karena Alif sudah ada yang menemaninya. Lestari kemuduian menyerahkan minuman dan buah-buahan yang baru saja dibelinya. Setelah itu, dia dan Pak Amir pamit pulang, Farid menitipkan pesan untuk istrinya.
“Mbak, sudah ketemu dengan dokter baru itu kan?” Kata wanita yang suaminya kena maag akut tersebut, ketika Lestari dan Pak Amir akan pergi. Lestari tersenyum sambil mengangguk.
***
Ingin rasanya Lestari menunggu Firman, tapi apa hendak dikata, tadi dia membonceng motor Pak Amir, dan mantri kesehatan itu mengajaknya pulang. Tapi dalam hatinya gadis itu berkata, “Masih ada hari esok.” Mereka pun berboncengan pulang ke desanya. Awan mendung di langit sedikit-demi sedikit mulai menghilang, berganti dengan warna biru, dan suryapun mulai nampak walaupun masih malu-malu.
***
“Lestari, kamu sudah pulang?” Suara Bibi Lestari dari ruangan tengah membuyarkan lamunan gadis itu. “Iya, Bu Lek, Tari ada di kamar.” Lestari segera menutup jendel kamarnya, dan pergi menmui bibinya.
“Oalaaah Nduk, tak panggil-panggil kok enggak kedengaran, mana pintu ndak dikunci.”  
Lestari menepuk dahinya, setelah pulang dibonceng Pak Amir dan mampir sebentar ke rumah Latifah untuk menjelaskan keadaan Alif, dia langsung masuk ke dalam kamar.
“Bagaimana keadaan Alif?” Tanya bibi Lestari, dia pun menjelaskan keadaan Alif. Setelah mendapat penjelasan, perempuan itu mengucap syukur, dia merasa kasihan terhadap Latifah yang sebelum orang tua dan suaminya datang nampak kebingungan dan menangis terus.
***
Minggu pagi, Lestari nampak berdandan rapi
“Mau jenguk Alif?” tanya bibi Lestari.
“Iya, Bu Lek, tapi ke rumah Latifah dulu, katanya ada yang mau dititipan buat Alif sama Farid, pagi-pagi bapaknya Latifah sudah pergi ke Puskesmas, tapi ada yang ketinggalan, terus dia telpon ke aku, minta tolong buat nganterin, ya kebetulan juga aku mau jenguk Alif.” Jelas Lestari kepada bibinya, sebenarnya ada satu alasan lagi kenapa dia mau menjenguk Alif di Puskesmas.
Bu Lek, juga mau nitip ini, buat Alif.”
Perempuan itu menyerahkan sebuah kantung berisi pisang dan pepaya matang juga sebotol susu murni yang sudah matang, dia mengatakan kalau pisang dan pepayanya baru dipetik kemarin sore, dan matang pohon, sedang susunya baru diperah waktu subuh, dan sudah dimasak. Lestari menerima bungkusan dari bibinya tersebut, kemudian langsung menuju ke rumah Latifah, setelah itu melajukan sepeda motornya menuju ke Puskesmas Kecamatan.
***
Lestari memasuki halaman Puskesmas, nampak sedikit sepi, tidak seperti hari-hari biasanya, yang selalu ramai. Gadis itu langsung menemui salah seorang petugas jaga, dan mengutarakan maksudnya, oleh petugas itu Lestari disuruh langsung saja masuk ke ruangan rawat inap.
“Terima kasih.” Kata Lestari kepada laki-laki muda, petugas jaga tersebut. Kemudian dia langsung menuju ruang rawat inap yang sudah dikenalnya itu, langkahnya terheni didepan pintu. Lestari melihat Firman sedang berada di ruangan rawat inap, dia menggeser tubuhnya sedikit ke arah tembok, supaya tidak terlihat oleh orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Hampir sepuluh menit, Lestari berdiri, memperhatikan bocah kecil kesayangannya yang kini sudah menjadi seorang dokter. Firman nampak mendatangi satu persatu pasien yang berada di ruangan, memeriksa, berbicara dan nampak tertawa kecil.
Firman sedang berada di tempat Alif dan bapaknya, diseberangnya nampak wanita kemarin yang bersama Lestari, suaminya yang kini nampak lebih segar sedang membereskan barang-barannya, seperti katanya kemarin, hari ini suaminya diperbolehkan pulang ke rumah. Wanita itu melihat ke arah pintu dan melihat Lestari, dia tersenyum dan langsung menyapanya dengan suara yang agak keras.
”Eh, mbak yang kemarin.” Sontan semua orang yang berada di ruangan menengok ke arah pintu, termasuk Firman, dokter itu tersenyum ketika melihat Lestari, demikian juga dengan sebaliknya. Akhirnya Lestari masuk ke ruangan dan langsung menghampiri Alif dan bapaknya, sebelumnyaa menyapa wanita yang baru saja menyapanya.
Alif nampak lebih baik dari hari kemarin, wajahnya sudah kelihatan segar walaupun masih agak pucat dan selang infus masih terpasang di tangannya, sedangkan wajah Farid, bapaknya, terlihat agak lelah, mungkin semalaman menjaga Alif, tapi sudah tidak terlihat lagi raut kekuatiran diwajahnya seperti kemarin ketika baru datang, disampingnya ada ayahnya Latifah yang nampak sedang menyuapi Alif dengan makanan jatah dari Puskesmas. Lestari menyerahkan titipan dari Latifah dan dari bibinya, dia bilang kalau diperbolehkan susu pemberian bibinya itu langsung diminum. Farid bertanya pada dokter, ternyata tidak masalah kalau meminum susu.
“Alif, makan yang banyak dan minum susunya ya, biar cepat sembuh dan bisa sekolah lagi.” Firman berkata kepada Alif. Lestari melirik ke arah Firman, ada rasa kagum di batinnya.
“Baik dokter.” Alif mejawab dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.
***
“Dokter, saya dan suami saya mau pulang sekarang. Terima kasih atas segala bantuannya, sehingga suami saya sekarang sudah sembuh.” Wanita itu bersama suaminya yang kemarin terkena maag akut itu mendatangi Firman dan bersalaman dengan dokter muda itu. Firman tersenyum, dia kemudian berkata, kalau dia hanya sebagai perantara yang bisa menyembuhkan adalah diri sendiri dan Tuhan. Perempuan itu pun meminta maaf, karena sebelumnya tidak mau ditangani oleh Firman.
“Tidak apa-apa bu, saya bisa maklum, tapi yang penting bapak jaga kesehatan, makan yang teratur dan jangan makan sembarangan. Ya Pak?” kata Firman kepada suami perempuan itu. Akhirnya kedua orang itu pergi.
***
“Alif, mesti terima kasih sama Mbak Lestari, kemarin yang bawa ke sini kan Mbak Lestari sapa Pak Mantri.” Kata Farid kepada Alif.
“Terima kasih Mbak, Pak Mantri nya mana?” kata Alif dengan lugu.
“Sama-sama Alif.” Jawab Lestari dan dia menjelaskan Mantri saat ini belum bisa jenguk Alif, karena lagi pergi kondangan ke desa tetangga.
“Sama Pak dokter juga,” sambung ayahnya Latifah, kakeknya Alif sambil terus menyuapi cucunya.
“Terima kasih Pak dokter. Nanti kalau besar, Alif juga mau jadi kaya Pak dokter, biar bisa nyembuhin orang.” Orang-orang yang berada di sekeliling Alif tertawa mendengar perkataannya yang lugu. Ayahnya Alif, Farid meminta ijin untuk membersihkan diri, dari kemarin sore belum sempat mandi, hanya sempat ganti baju. Dokter muda iu pun memohon pamit untuk kembali ke ruangannya, sebelum pergi dia sempat berbisik kepada Lestari. “Aku menunggu di ruanganku.”
***
 “Tok...Tok..!” Lestari mengetuk pintu ruangan praktek dokter, terdengar jawaban dari dalam mempersilahkannya untuk masuk.
“Jadi ini, ruangan praktekmu. Dokter Hakim.” Katanya setelah membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Firman yang sedang membereskan meja kerjanya nampak sedikit kaget namun langsung tertawa.
“Waktu itu terlalu banyak nama Firman, jadi aku ambil nama belakangku.” Firman langsung menghampiri Lestari. Dokter muda itu memandangi Lestari membuat gadis itu sedikit salah tingkah ketika mata mereka salimg bertemu.
“Firman!” Lestari berkata lirih.
Firman memegang erat tangan Lestari. “Ini benar-benar kamu, Mbak Tari!”
Lestari tersenyum, kemudian dokter muda itu menggandengnya menuju meja prakteknya dan menyuruhnya duduk.
“Kemarin, aku benar-benar terkejut dan tidak percaya, ketika melihatmu, Mbak!”
Lestari tersenyum dan mengatakan hal yang sama.
“Kemarin, sebelum bertemu denganmu, aku sempat terkejut di ruangan ini, ketika ada seseorang menyebut nama ‘Lestari’ dari luar.Tapi aku segera menepis dugaanku.”
Lestari teringat, waktu kemarin Pak Amir memanggil namanya ketika keluar dari ruang dokter.
“Kemarin, waktu keluar dari ruang rawat inap, aku merasakan ada sesuatu, entah apa. Dan aku melihatmu berdiri mematung memandangku.”
“Aku hampir ingin melompat dan berteriak waktu itu. Walaupun kamu banyak berubah, tapi mbak Tari tidak akan ragu, kalau kamu adalah Firman.”
Firman tertawa. “Mbak Tari juga banyak berubah. Kemarin setelah memeriksa seorang pasien, aku mencari mbak Tari.”
Lestari menggatakan kalau kemarin sebenarnya ingin sekali menemuinya, tapi pak Amir mengajaknya pulang.
“Makanya hari ini, Mbak Tari datang ke sini?”
Lestari nampak sedikit malu. “Tidak juga, aku kebetulan mendapat titipan untuk Alif.” Lestari berusaha untuk menyangkal.
Firman tersenyum. “Bukan karena aku?”
 “Baru kali ini aku menemui dokter serajin kamu, Firman. Hari libur seperti ini masih berangkat ke Puskesmas.” Lestari berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Karena aku tahu, hari ini mbak Tari pasti akan datang.” Jawab Firman tersenyum. Lestari tertawa kecil sambil bangkit dari duduknya dan berjalan ke sekeliling ruangan.
“Jadi ini tempat kerjamu? “Aku kemarin sedikit mendengar tentang dokter Hakim dari wanita yang baru saja pulang bersama suaminya tadi.”
“Cerita apa saja?”
Lestari pun menceritakan apa yang dikatakan wanita tersebut kepada dirinya tentang dokter baru yang bernama dokter Hakim, yang tak lain adalah Firman.
Dokter muda itu pun tertawa. Kemudian dia menghampiri Lestari yang sedang asyik mengamati patung anatomi manusia yang berada di dekat jendela.
“Maafkan aku, mbak.” Katanya tiba-tiba dengan nada yang serius.
 “Untuk apa?” Jawab Lestari.
“Yang tidak dapat memenuhu janjiku, untuk datang di upacara wisuda mbak Tari.”
Lestari tertawa. ”Itu sudah hampir dua belas tahun yang lalu. Aku yakin, kamu pasti ada sesuatu yang sangat penting waktu itu.”
“Andaikata waktu itu, teknologi berkembang seperti sekarang, pasti tidak akan terjadi seperti ini.”
“Tapi kini, kita sudah bertemu kembali. Tidak ada yang perlu disesali dan dimaafkan.” Lestari tersenyum, begitu juga dengan Firman, kemudian diajaknya gadis itu untuk duduk kembali. Mereka kemudian saling menanyai kabar keluarga masing-masing dan bercerita tentang keadaannya.
***
(nyambung lagi....)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dan laut pun menjadi sepi..... (epilog)

Dan laut pun menjadi sepi..... (episode 22)

Cerpen " LAPANGAN BOLA, KEBUN, DAN SAWAH DESA"