Cerita "My Little Doctor" (bagian 1)
Matahari nampak malu-malu memperlihatkan wajahnya, selekas hujan
di sore hari, awan-awan kelabu mulai menghilang memberi kesempatan birunya
langit menyapa bumi.
Lestari duduk di pinggir
tempat tidurnya, matanya memandang keluar lewat jendela kamarnya yang terbuka.
Angin sejuk yang lembut masuk ke dalam, membelai wajah manisnya. Terdengar
suara aliran sungai yang terletak tidak jauh di belakang rumahnya, ingatannya
kembali menjelajah ke masa yang lalu.
***
“Tari, nanti main ke rumahku ya?” kata Indah kepada Lestari. Gadis
kecil kelas dua Sekolah Dasar itu mengiyakan sambil tersenyum, seperti biasanya
dia sangat senang kalau diajak bermain oleh Indah, teman sekelasnya, disamping
rumah mereka tidak terlalu jauh juga karena temannya itu mempunyai banyak mainan.
“Siska, Sari, Nina, Lukman, Salman, Agus......” Indah mengajak juga teman-teman lainnya, tidak
hanya anak perempuan, anak laki-laki pun dia ajak.
“Kamu ulang tahun ya, Ndah? Kok kita diajak semua?” tanya Lukman.
“Enggak, ulang tahunku
masih lama.” Kemudian Indah bercerita kalau Om-nya baru datang dari jauh, dia
membawa banyak mainan dan kue.
Beberapa anak langsung berteriak senang, tapi beberapa lagi ada
yang berkata dengan sedih karena tidak bisa main ke rumah Indah dengan berbagai
alasan, ada yang mau diajak orang tuanya pergi, ada yang mau diajak ke dokter
gigi, ada yang karena rumahnya jauh dan lain-lain.
***
Sepulang sekolah, setalah berganti pakaian Lestari berpamitan
kepada Ibunya untuk main ke rumah Indah, yang memang masih satu blok, berjarak
hanya dua gang dari rumahnya. Sesampainya di rumah Indah, ternyata di teras
depan rumah Indah sudah ada teman-temannya yang datang, mereka sedang asyik
bermain dan mengambil kue-kue yang memang disediakan untuk mereka. Nampak Agus
si gendut tukang makan, mulutnya sibuk mengunyah kue, kedua tangannya pun penuh
dengan kue dan permen.
Indah menarik tangan Lestari yang baru datang, dan langsung memperlihatkan
boneka barunya. “Bagus kan? Temen-temen yang lain sudah melihatnya, tinggal
kamu yang belum melihatnya.”
“Wah, bagus banget, aku belum prnah melihat boneka sebesar dan
sebagus ini,” kata Lestari sambil mengelus-elus boneka beruang besar tersebut.
Indah kemudian mengajak teman-temannya bermain pengantin-pengantinan,
seperti biasanya dia selalu mengatur siapa menjadi pasangannya siapa, dia
sendiri pasti akan menunjuk Lukman sebagai pasangannya. Sebetulnya Agus gendut
ingin sekali menjadi pasangan Indah, tapi gadis kecil itu menolak, dia lebih
suka pasangannya adalah Lukman. Setelah dihitung ternyata kurang satu anak
laki-laki, karena yang ada hanya sembilan anak, lima anak perempuan dan empat
anak laki-laki.
“Wah, Lestari pasangannya siapa ya?” kata Indah sambil
celingak-celinguk. Lestari kemudian melihat Firman, adik Indah yang lucu sedang
asik makan kue sambil melihat kakak dan teman-temannya bermain.
“Ya udah, aku sama Firman aja.” Lestari mendekati Firman kemudian
menggandeng bocah kecil berumur lima tahun itu.
“Tapi kan, Firman masih kecil,” protes yang lainnya.
“Enggak apa-apa, daripada Lestari enggak ada pasangannya,” kata
Indah sambil mendudukakn boneka beruang besar barunya di kursi.
“Firman enggak apa-apa kan, main sama mbak Tari?” kata Tari kepada
Firman sambil mengelap pipi Firman yang belepotan karena kue coklat. Firman
mengangguk, sambil terus mengunyah kue coklatnya. Bocah kecil lucu nampak
senang ketika Lestari mengajaknya ikut bermain.
***
“Halo anak-anak. Lagi main
ya? Bagaimana kue-kuenya, enak?” Sapa seorang laki-laki yang baru datang, tak
lain Om-nya Indah.
“Enaaaaaaakk!!!” Anak-anak
menjawab bagaikan sebuah koor paduan sura. Laki-laki itu tertawa melihatnya.
“Om, itu apa?” tanya Lukman menunjuk kamera yang dipegang oleh Om-nya
Indah. Dengan bahasa yang sederhana laki-laki yang berprofesi sebagai fotografer
itu fungsi benda yang ada di tangannya.
“Ooooh, jadi Om ini tukang fota ya?” Seru Agus gendut dengan mulut
yang masih penuh dengan makanan. Laki-laki itu tertawa mendengar ungkapan dari
Agus yang begitu polos.
“Ya, boleh disebut begitu.” Sedangkan Lukman nampak tertarik
dengan kamera yang dipegang Om-nya Indah tersebut, dia banyak menanyakan ini
dan itu. “Om, ini apa? Yang itu apa?”
“Kalian mau Om foto?”
“Mauuuuuu.” Jawab anak-anak dengan serempak.
“Ayo, perlihatkan sama Om, gaya kalian yang paling bagus ya.
Sekarang bersama-sama dulu, nanti satu persatu.”
“Firman, mau foto juga, ayo sini sama mbak Tari.” Lestari
menggandeng tangan Firman, bocah kecil itu mengangguk sambil tersenyum, tangan
kanannya masih memegang sepotong kue yang masih belum habis dimakannya.
Setelah foto dengan berbagai gaya, anak-anak tersebut kemudian
ditanya oleh Pamannya Indah tentang apa cita-cita mereka kalau besar nanti.
Agus ingin menjadi tentara, Siska ingin jadi perawat, Lukman yang ingin seperti
om-nya Indah, Indah yang ingin jadi ibu-ibu seperti mamanya, Salman ingin jadi
Pak Lurah, Nina ingin jadi guru, Lestari yang ingin jadi Insinyur, dan
lain-lain.
“Kalau Firman ingin jadi apa, kalau besar nanti? “ kata laki-laki
itu sambil menaruh Firman di pangkuannya.
“Firman, mau jadi dokter.” Jawab Firman dengan sedikit cadel.
***
Firman sudah masuk Sekolah Dasar, Lestari dan Indah duduk di kelas
empat.
“Waaah, sekarang Firman sudah besar ya, jadi lebih cakep kalau
pakai seragam merah putih, lengkap sama dasi dan topinya.” Puji Lestari sambil
menepuk-nepuk kedua pipi anak kelas satu SD tersebut. Firman tertawa.
“Jelas dong, mbaknya siapa dulu,” kata Indah tidak mau kalah
sambil menuntun Firman menuju kelasnya.
***
“Firman.” Lestari berbisik kepada dirinya sendiri, kemudian dia
menghela nafas, bangkit dan berjalan kearah jendela kamar yang terbuka. Aroma
wangi bunga melati yang tumbuh di bawah jendelanya terasa begitu segar di sore
setelah diguyur hujan. Terdengar suara ocehan beberapa anak laki-laki yang
sedang berjalan ke arah sungai. Lestari menarik nafas, kemudian mengeluarkannya
secara perlahan. “Sore yang cerah,” gumamnya.
***
Indah yang mengajak Firman bermain bersama Lestari dan
teman-temannya di pinggir sebuah lapangan yang berada tidak jauh dari rumah
mereka, disuatu sore yang cerah. Anak-anak
perempuan nampak bermain lompat tali, yang laki-laki asyik bermain bola,
sedangkan Firman nampak bermain kejar-kejaran dengan teman sebayanya.
Indah tiba-tiba mendekati Lestari. “Tari aku pulang dulu ya?”
“Kenapa?”
“Perutku sakit, kayaknya tadi makan baksonya kebanyakan sambel.
Aku titip Firman ya?” Kemudian Indah segera berlari untuk pulang.
Lestari melanjutkan bermain sambil sesekali mengawasi Firman,
kemudian dilihatnya bocah laki-laki itu terjatuh saat berkejar-kejaran dengan
temannya. Firman nampak mukanya memerah dan hampir menangis. Lestari segera
menghampirinya, yang terduduk sambil memegangi lututnya, teman-temannya nampak
mengelilinginya.
“Firman enggak apa-apa kan?” Lestari melihat luka di lutut kanan
Firman. “Cup, Firman enggak usah nangis yah. Cuma luka kecil, nanti Mbak Tari
beli plester.” Lestari berkata sambil mengusap-usap kepala Firman dan menyeka
air mata yang sudah terlanjur turun di pipinya.
“Firman tunggu sebentar disini ya, mbak Tari mau ke warung mak
Siti sebentar, mau beli plester.” Lestari kemudian berlari ke warung kecil di dekat
lapangan untuk membeli plester. Tidak lama kemudian, gadis kecil itu sudah
kembali ke Firman dan langsung memplester luka kecil di lutut Firman. Firman
sempat menanyakan Indah, kakaknya. Lestari menjelaskan kalau Indah pulang
duluan karena perutnya sakit. Kemudain dia mengajak Firman pulang. “Kaki Firman
sakit ya, buat jalan?” Lestari memandang iba kepada bocah kecil itu. Firman
mengangguk. “Kalau begitu, Firman gendong Mbak Tari aja ya?” Firman langsung
mengangguk.
“Wah, Firman ternyata berat juga ya.” Firman tertawa dalam
gendongan sambil erat merangkul leher Lestari.
***
“Waduuuh, kamu kenapa Firman? Kok pake digendong Mbak Tari segala,
Firman kan lumayan berat.” Kata mamanya Firman, ketika melihat Lestari
menggendong anak bungsunya tersebut. Lestari kemudian menceritakan alasannya.
“Aduuuh, maafin Firman yah, kamu pasti kecapekan Tari.”
Lestari tersenyum sambil menyeka keringat di dahinya.
***
Lestari dan Indah memasuki SMA dan Firman masuk bangku SMP.
“Kita nonton Firman bertanding bola yuk.” Ajak Indah kepada Lestari
pada suatu Sabtu sore.
***
“Ayo Firman, kamu pasti bisa!” Teriak Indah dan Lestari bersamaan,
dipinggir lapangan bola ketika melihat Firman sedang menggiring bola ke arah
gawang lawan.
“Goooollllll.....” Teriak Indah dan Lestari juga penonton lainnya.
Firman berhasil mencetak gol kedua untuk kesebelasannya. “Hidup Firman...hidup
Firman...”
“Firmaaaaannnn!” Indah berteriak, Firman yang mendengarnya
langsung menoleh sambil tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Indah dan Lestari
yang sedang menonton di pinggir lapangan.
***
“Hidup Firman! Kamu memang hebat!” Lestari berkata lirih sambil
memperhatikan burung-burung kecil yang kembali ke sarangnya, pada pohon cemara
yang tumbuh tak jauh dari jendela kamar. Terdengar ramai suara cericit dan
kepakan sayap kecilnya. Lestari melongok ke arah pohon cemara yang masih
menyisakan titik-titik air hujan di setiap ujung daunnya. Wangi cemara selepas
hujan bercampur dengan aroma melati dan bau tanah basah menambah sore yang
cerah seakan menjadi lebih sempurna.
***
“Kamu memang adikku yang hebat!” Kata Indah kepada adiknya dalam
perjalanan pulang seusai kesebelasan Firman memenangkan pertandingan.
“Iya, kamu memang hebat!” Kata Lestari sambil mengacak rambut
Firman yang basah, kemudian menepuk-nepuk kedua pipi Firman dengan kedua
tangannya. Firman sempat protes perlakuan Llestari tersebut, karena merasa
dirinya sudah besar, bukan anak kecil lagi yang suka ditepuk-tepuk pipinya,
tetapi aksi protesnya ditanggapi dengan tertawa oleh sahabat kakaknya tersebut
yang kemudian mengacak rambut Firman
kembali.
“Tuh, kamu denger sendiri kan, Tari. Adik kecilku ini sekarang
sudah besar. Jangan-jangan sudah punya pacar.” Indah tertawa menggoda adiknya.
Firman tersenyum kecut.
“Ngomong-ngomong soal pacar, aku kemarin melihat mbak Tari jalan
sama cowok. Pacarnya, ya mbak?” kata Firman tiba-tiba dengan nada menyelidik.
Lestari terkejut,
begitu juga dengan Indah yang langsung menoleh kearahnya. Tapi kemudian Lestari
menjelaskan kalau yang diihat Firman adalah Fikri, teman sekelasnya yang akan
mengerjakan tugas sekolah bersama.
“Tenang saja, mbak Tari enggak akan punya pacar dulu. Nungguin
Firman besar, ya kan Firman?” Lestari berkata sambil merangkul pundak Firman.
Indah hanya tertawa mendengar perkataan yang keluar dari mulut Lestari
sedangkan Firman nampak sedikit malu, tapi kemudian langsung menanggap
perkataan Lestari. “Beneran nih, mbak Tari mau nunggin Firman besar?”
“Beneran, karena Firman adalah laki-laki terhebat yang pernah mbak
Tari temui.” Lestari menggoda Firman sambil mempererat rangkulannya, sedangkan
Firman terdiam, mukanya nampak bersemu merah.
“Waduh, Tari, nanti didenger malaikat, jadi beneran lho!” Indah
tertawa begitu juga dengan Lestari.
***
“Laki-laki terhebat.” Gumam
Lestari, masih berdiri di jendela kamarnya yang terbuka, dia memejamkan
sebentar matanya kemudian menghela nafas. Terdengar oehnya suara ramai
anak-anak yang sudah mulai bermain air di sungai.
***
Setelah lulus dari SMA, Lestari dan keluarganya harus pindah,
karena tugas ayahnya yang mengharuskan untuk pindah ke daerah lain. Sungguh
berat bagi Lestari dan keluarganya, terutama bagi Lestari yang harus berpisah
dengan Indah dan Firman.
“Jangan lupa, kirim aku kabar ya.” Indah berkata sambil menangis
dan memeluk Lestari, begitu juga sebaliknya. Setelah cukup lama berpelukan,
Lestari melepaskan pelukannya, dia melihat ke arah Firman, yang baru saja lulus
dari SMP. “Firman sudah besar sekarang, makin dewasa dan makin ganteng.”
Lestari berkata sambil menepuk kedua pipi Firman dengan kedua tangannya,
seperti biasa yang dilakukannya, sambil berusaha untuk tersenyum, air matanya
masih terus mengalir di kedua pipinya. Firman yang biasanya protes atas
perlakuan Lestari terhadap dirinya, nampak terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Firman, jagain mbak indah ya.” Lestari berkata sambil mengacak
rambut Firman, kemudian memeluk anak laki-laki yang sudah dianggap seperti
adiknya sendiri. “Mbak Tari akan selalu berdoa, supaya cita-cita Firman
tercapai. Menjadi dokter!”
***
“Tuhan, semoga tahun
terakhir ini berjalan dengan lancar, tanpa ada halangan apa pun.” Doa lestari
dalam hati sambil melangkahkan kakinya ke kampus. Dilihatnya lapangan depan
kampus sangat ramai dengann mahasiswa baru yang mengikuti minggu perkenalan
kampus. Untuk tahun keempat ini Lestari sengaja tiduk ikut menjadi panitia
pekan perkenalan kampus, seperti tahun sebelum-sebelumnya. Hal ini untuk
memberi kesempatan kepada adik-adik angkatannya.
***
Minggu perkenalan kampus selesai, kegiatan kampus pun kembali
normal seperti biasanya. Nampak wajah-wajah mahasiswa baru yang begitu
bersemangat menjalankan aktivitas kampus tanpa harus memakai seragam seperti
waktu SMA.
Lestari baru saja keluar dari perpustakaan, ketika dilihatnya
seorang laki-laki berjalan mendekat kearahnya. “Ah, tidak mungkin!” Kata
Lestari dalam hati, menepis dugaannya, tetapi semakin laki-laki itu dekat
dengannya, keraguan dan ketidakpercayaan didalam hatinya langsung menghilang.
Sosok laki-laki itu kin berdiri di depannya.
“Firman!”
“Mbak Tari.”
Lestari hampir saja mau beteriak dan memeluk laki-laki yang
berdiri didepannya itu, tetapi segera mengurungkan niatnya, karena banyak
mahasiswa yang lalu lalang. Dia menepuk pipi Firman, seperti biasa yang
dilakukannya, tetapi kini hanya dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya
memegang setumpuk buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan. Matanya nampak
berkaca-kaca. Kejadian itu sempat menjadi perhatian mahasiswa yang melihatnya.
Lestari menarik tangan Firman dan mengajaknya ke taman kampus.
***
Lestari dan Firman duduk disebuah bangku di taman kampus dekat
sebuah pohon beringin tua.
“Mbak enggak menyangka bakalan ketemu kamu disini. Kamu kelihatan
beda sekali, lebih tinggi, lebih kurus dan jauh lebih ganteng.” Lestari
memandang Firman, seakan tidak percaya, bocah kecil itu kini sudah tumbuh jauh
lebih besar. Firman tertawa mendengar pujian dari sahabat dari kakaknya
tersebut.
“Ambil kedokteran?”
“Seperti doa mbak Tari.”
Kali ini Lestari benar-benar memeluk Firman, dan air matanya sudah
tak terbendung lagi, mengalir dikedua pipinya. Firman berkata kalau sudah
beberapa hari setelah minggu perkenalan kampus selesai dia mecari Lestari, karena
berdasarkan surat terakhirnya kepada Indah, kakaknya, berada di perguruan
tinggi yang sama. Dia sempat bertanya ke jurusan dimana Lestari berada, dan
dari salah satu teman Lestari mengatakan, kalau akhir-akhir ini Lestari sering
berada di perpustakaan fakultas. Lestari tersenyum mendengar penjelasan dari
Firman.
Lestari menanyakan kabar ayah dan ibu Firman, juga Indah, karena
komunikasi antara dia dan Indah sudah terputus, hanya tahun pertama mereka
saling berkirim surat, tahun berikutnya, mungkin karena kesibukan masing-masing
diperkuliahan, komunikasi antara mereka menjadi berhenti. Firman kemudian bercerita
kalau keluarga mereka pindah, karen ayah dan ibunya ingin kembali ke kampung
mereka, ingin menikmati hari tua di kampung, disamping itu karena di rumah
hanya ada mereka berdua, dirinya dan Indah indekost karena kuliah, rumah yang
dulu ditempati oleh pamannya, yang seorang fotografer, bersama istrinya, karena
kedua anak mereka juga jauh.
Lestari pun bercerita tentang ayah dan ibunya, yang kini juga
hanya berdua, dia kuliah dan mbak Dhini, kakaknya sudah menikah, ikut suami ke
daerah lain.
“Mbak sangat senang melihat kamu disini.”
“Aku juga mbak.”
“Kamu benar-benar berbeda. Pasti sebentar lagi banyak mahasiswi
yang mengejar-ngejar kamu. Atau jangan-jangan kamu sudah punya pacar?” Lestari
memandangi Firman dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Firman tertawa mendengar perkataan Lestari. Dia kemudian bercerita
kalau waktu SMA sempat punya pacar, tapi sudah putus. Dia juga bercerita,
sebelum Indah pergi kuliah di kota lain, kakaknya itu sering sengaja lewat di
depan rumah Lestari yang kosong, berharap ada akan melihatnya, dan tidak jadi
pindah, tapi yang ditemui hanya sebuah tulisan “Rumah Ini Dijual” yang dipasang
dipagar rumah.
***
Bagaimana kuliah kamu, Firman?” Tanya Indah pada suatu ketika di
kampus.
“Yah, begitulah, sampai
detik ini lancar-lancar saja. Mbak Tari sendiri bagaimana, sudah mulai
skripsi?”
Lestari menunjukkan setumpuk kertas yang dipegangnya kepada Firman
dan bercerita tentang judul skripsi yang akan diambilnya.
“Kamu sendiri bagaimana, sudah dapat calon dokter cantik?” Lestari
menggoda Firman, yang digoda hanya tertawa. “Atau jangan-jangan sudah ada ya,
ketemu waktu minggu perkenalan kampus?”
“Sebenarnya...” Firman akan mengatakan sesutu, tetapi tiba-tiba
ada seseorang datang menghampiri mereka berdua. Lestari memperkenalkan Maya,
teman satu dosen pembimbing skripsinya.
***
“Firman.” Firman mempekenalkan diri sambil menjabat tangan Maya.
“Ooh, ini calon dokter yang pernah kamu ceritakan itu ya?” kata
Maya kepada Lestari. Gadis itu mengangguk, sedangkan dan Firman hanya terseyum.
Maya mengajak Lestari untuk segera menemui dosen pembimbing
mereka, karena mereka sudah janji, tapi sebelum pergi, tiba-tiba Maya memanggil
seseorang.
“Bagas!” Teriak Maya. Dan
seseorang yang dipanggil dengan nama Bagas itu langsung mendekati mereka
bertiga. Lestari memperkenalkan Bagas kepada Firman.
“Wah, jadi ini calon dokter yang kamu ceritakan itu, Tari.” Kata
Bagas kepada Firman.
“Ini cowoknya Lestari!” Maya secara tiba-tiba berkata, membuat
wajah Lestari bersemu merah.
“Begitu yah, mbak Tari kok enggak pernah cerita.” Firman berkata
sambil melirik ke arah Lestari, yang nampak sedikit salah tingkah dan memerah
wajahnya.
“Eh, sudah jam sebelas, ayo May, kita harus ketemu dosen
pembimbing.” Lestari berkata sambil menarik tangan Maya.
“Aku juga harus pergi ke perpustakaan,” kata Bagas.
Kemudian mereka bertiga langsung pergi. Firman memandangi
kepergian ketiganya, kemudian dia pun
pergi.
***
“Sudah seminggu ini, mbak Tari tidak pernah melihat kamu,” Lestari
berkata kepada Firman ketika dia menyambangi tempat kost Firman.
“Sibuk!” Jawab Firman singkat dan nampak ogah-ogahan.
“Syukurlah kalau begitu, mbak kira kamu sakit. Mahasiswa
kedokteran memang sibuk yah, walaupun baru tahun pertama.”
“Tumben, sabtu sore begini, mbak Tari ke tempatku, enggak nge-date?”
tanya Firman dengan nada sinis, yang disambut tawa kecil Lestari.
“Memangnya enggak boleh, mbak ke tempat kamu. Ya udah, mbak Tari
pulang saja.” Lestari mencoba untuk bangkit dari duduknya sambil membawa
bungkusan yang dibawanya.
“Eeeh, bukan maksud aku begitu mbak.” Firman bangkit sambil
memegang tangan Lestari dan mempersilahkannya duduk kembali. “Aku kan cuma
tanya, apa dilarang.”
Lestari duduk kembali.
“Bagaimana kabar Bagas?” Firman memberanikan diri bertanya.
“Aku rasa, dia baik-baik saja.” Jawab Lestari dengab lirih.
“Sudahlah, kayaknya itu enggak penting. Yang penting bagi mbak Tari sekarang,
kamu baik-baik saja.” Lestari bangkit dari duduknya yang tanpa sadar mencoba melakukan
kebiasaannya, menepuk pipi Firman dengan kedua tangannya, namun Firman segera
menghindar.
“Mbak, aku sudah besar,
malu kalau dilihat teman kost lainnya.” Protes Firman. “Ngomong-ngomong
bungkusan yang mbak Tari bawa, itu apa?” Firman melirik bungkusan yang ada
diatas meja.
“Ya ampun, mbak hampir saja lupa. Ini, mbak Tari bawa kue kesukaan
kamu, kue coklat. Kirain kamu sakit, jadi tadi mampir ke toko kue, beli kue
coklat kesukaan kamu.” Lestari menyodorkan kardus kue yang dibawanya, yang
kemudian langsung dibuka oleh Firman, diambil isinya dan langsung dimakannya.
“Cara makan kamu, masih seperti dulu, cuma sekarang enggak
belepotan lagi.” Lestari tersenyum sambil memperhatikan cara makan Firman yang
dikenalnya sejak kecil. Firman tidak mempedulikan kata-kata Lestari, dia dengan
asyik makan kue coklat yang dipegangnya.
“Sabtu sore cerah begini enggak kencan, mbak.” Firman mengulang
pernyataan yang sebelumnya. Lestari tidak menjawab, dia hanya menghela nafas.
“Kok diam?” sidik Firman.
“Untuk sementara kami jalan sendiri-sendiri dulu.” Jawab Lestari
dengan senyum yang dipaksakan.
***
“Sudahlah mbak, laki-laki tidak hanya Bagas, masih banyak
laki-laki lain yang lebih baik.” Firman berkata ketika mengajak Lestari jalan
dan makan di sebuah cafe kecil, sepulangnya dia kuliah, ketika gadis itu baru
putus dengan kekasihnya, Bagas. “Yang penting sekarang adalah, bagaimana mbak
Tari menyelesaikan skripsi dengan baik. Mungkin memang kalian tidak berjodoh”
Lestari tersenyum. “Cara ngomong kamu kayak orang gede aja.”
“Lho, memang aku udah gede kok, mbak enggak lihat aku!” Protes
Firman sambil berdiri yang kemudian langsung disuruh duduk kembali oleh
Lestari.
“Mbak, kenapa enggak jadi pacar aku saja!” Kata Firman tiba-tiba.
“Heh!” Lestari terkejut mendengar perkataan Firman, kemudian
tertawa. “Waduh, bisa-bisa leherku dipotong sama Indah atau besok aku langsung
didemo sama mahasiswi Fakultas Kedokteran.”
Firman tertawa mendengar jawaban Lestari. “Bukannya mbak Tari
pernah janji, kalau enggak bakalan punya pacar, nungguin aku besar.”
Lestari tertawa, dia mencoba mengingat kata-kata itu. “Tapi kan,
sekarang kamu masih kuliah, baru tahun pertama, waktu kamu masih panjang.”
“Tapi aku kan sudah gede mbak!”
“Sudah, selesaikan kuliah kamu dulu, jadi dokter.”
“Beneran nih, nunggu aku jadi dokter?”
Lestari mengangguk sambil tersenyum.
Firman tersenyum, kemudian mengambil selembar kertas dari tas
kuliahnya, dan mulai mencorat-coretnya, setelah selesai diberikannya kepada
Lestari. Gadis itu tersenyum ketika melihat gambar yang baru saja dibuat
Firman.
***
“Bagaimana hasil sidang
skripsinya, mbak?” Tanya Firman kepada Lestari, beberapa saat setelah gadis itu
usai menghadapi sidang skripsi.
“Aku luluuuusssss!!!” Lestari berteriak penuh kegembiraan.
***
“Nanti saat mbak Tari wisuda, Firman datang ya. Apa liburan ini
pulang?” Lestari berkata kepada Firman, setelah dia menyelesaikan segala urusan
untuk upacara wisuda yang memang waktunya bertepatan dengan masa libur
perkuliahan.
“Gampang diatur mbak. Firman pasti datang saat upacara wisuda mbak
Tari. Mbak Tari mau dibawakan apa? Setangkai bunga atau sekeranjang bunga?”
Seloroh Firman.
Lestari tertawa. “Enggak usah bawa apa-apa. Kamu datang saja, mbak
sudah senang.”
***
Hari wisuda pun akhirnya tiba. Lestari nampak sedikit gelisah, seseorang
yang ditunggunya belum juga kelihatan. Sampai akhirnya upacara wisuda selesai,
orang yang ditunggu Lestari tidak kunjung datang. “Apa Firman pulang ya, karena
memang saat ini masa liburan. Tapi, kok dia enggak bilang apapun.” Batin
Lestari.
Setelah euforia wisuda selesai dan semua keluarganya pulang,
karena penasaran, Lestari pergi ke tempat kost Firman. Tempat kost yang
biasanya ramai oleh mahasiswa, nampang sedikit lengang, karena penghuninya
sebagian berlibur ke kampung halaman masing-masing. Gadis itu bertanya kepada
penjaga kost, tapi dia tidak tahu menahu tentang Firman. Kebetulan ada seorang
teman kost Firman, dari dia, Lestari mendapat informasi kalau Firman mendadak
pulang, malam hari kemarin, dimana pagi harinya seharusnya Firman datang
menghadiri upacara wisudanya.
***
(nyambung ya...)
Komentar
Posting Komentar