Cerpen "Nenek Dara"
Aku
mulai terbiasa dengan kota kecil ini. Sebagai seorang guru, aku harus mau
ditempatkan di mana saja dan kapan saja. Untung saja, sekolah di mana tempatku
mengajar tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku, cukup berjalan kaki saja
setiap harinya untuk pergi ke tempatku mengajar. Tidak terlalu lama, Aku sudah beradaptasi
dengan keadaan kota kecil ini, dan merasa sudah menjadi bagiannya. Apalagi,
sekolah di mana aku mengajar dianggap paling favorit, walaupun sangat jauh
perbandingannya dengan sekolah-sekolah favorit yang berada di kota-kota besar.
Menurut cerita orang-orang, sekolah tempat aku mengajar adalah sekolah tertua di kota ini. Di sekolah
itu, aku mendapatkan tugas untuk membantu menangani kegiatan ekstrakulikuler
kesenian.
Aku
selalu paling terakhir pulang, setiap kegiatan ekstrakurukuler waktu sore,
karena aku yang memegang kunci-kunci sekolah. Aku pulang melalui belakang
gedung sekolah, dan melewati sebuah pohon beringin besar, tidak jauh dari
belakang gedung sekolah. Tidak seperti biasanya yang selalu sepi, aku melihat
seorang perempuan tua, mungkin berusia sekitar enampuluh sampai tujuh puluh
tahun sedang berdiri di bawah pohon beringin, wajahnya agak sedikit pucat.
“Sedang apa perempuan tua itu?”batinku.
Aku tersenyum sambil menganggukkan ketika lewat di depannya, perempuan tua itu
pun balik tersenyum kepadaku.
Beberapa kali
aku melihat perempuan tua itu, berdiri di bawah pohon beringin rindang yang
berada tidak jauh di belakang gedung sekolah, aku selalu menganggukkan kepala
dan tersenyum setiap kali melewatinya, begitu juga dengan perempuan tua itu,
selalu membalas anggukan dan senyumanku.
Malam hari, aku
duduk santai bersama Pak Dikun, penjaga sekolah, yang juga bapak kostku. Kami berbicara
banyak tentang kota kecil ini. Kemudian aku bercerita tentang perempuan tua
yang sering aku temui di baah pohon beringin di belakang sekolah.
“Itu Nenek Dara.” Kata Pak Dikun.
“Nenek Dara? Siapa dia?”
Laki-laki
berumur sekitar empat puluh lima tahunan itu menghela nafasnya sambil mengambil
teh yang ada di depan meja kami, disruputnya sebentar, kemudian diletakkannnya
kembali, lalu menghisap rokok kreteknya, matanya menerawang jauh ke depan,
entah apa yang sedang dipikirkannya. “Dia orang asli kota kecil ini, di tempat
itu sedang menunggu seseorang.”
“Bagaimana Bapak tahu, kalau Nenek
Dara sedang menunggu seseorang?”
“Ceritanya
panjang, Mas Guru, dan tidak semua orang mengetahuinya.” Aku melihat lelaki itu
kembali menghisap rokok kreteknya. “Dia
kembali melakukan hal seperti itu lagi, pasti karena kedatangan Mas Guru.”
“Saya?” Aku
tidak mengerti dan semakin penasaran.
“Berpuluh tahun
yang lalu, juga ada seorang guru baru seperti Mas Guru ini, datang ke kota
kecil ini.”
“Waktu itu,
Bapak berumur berapa tahun?”
Laki-laki tua terlihat terdiam,
seperti sedang mengingat sesuatu. “Bapak lupa, mungkin sekitar enam atau tujuh
tahunan, yang Bapak ingat, Pak Guru itu selalu mengajak anak-anak, termasuk
saya untuk ikut bersekolah. Kebetulan waktu itu, yang menjadi penjaga sekolah
adalah, paman saya Pak Lik Suryo, atau orang-orang biasa memanggilnya
dengan Mbah Suryo.
“Pak Guru itu
bernama Bagus, orang-orang di sini biasa memanggilnya dengan Pak Bagus,
orangnya masih muda, dan cukup ganteng, mungkin waktu itu seumuran dengan Mas
Guru sekarang. Orangnya sangat baik dan rumah, dia ahli dalam bidang kesenian,
dari mulai menyanyi, menggambar, bermain musik tradisional, melukis, juga
bermain drama. Pernah saya diajaknya untuk ikut drama sekolah, dengan tema
perjuangan.” Lelaki tua itu nampak tersenyum, saat mengingat masa kecilnya.
“Waktu
itu, dia tinggal di mana?”
“Di rumah Pak
Lik Suryo, kebetulan waktu itu dia belum mempunyai anak, dan ada ruangan
yang tidak digunakan. Saya sering bermain ke rumahnya setiap malam, untuk
belajar berhitung dan membaca., dan hampir setiap malam pula, setiap saya
pulang dari rumahnya pasti ada beberapa orang temannya yang datang. Menurut Pak
Lik Suryo, mereka itu teman-teman Pak Bagus, yang katanya bekerja menjadi
guru juga. Pak Lik Suryo pernah bertanya pada Pak Bagus, karena kasihan
melihatnya setiap malam selalu dijemput teman-temannnya, kemudian pulangnya
hampir subuh, padahal pagi harinya dia harus mengajar di sekolah.”
“Setiap hari?”
“Begitulah,
kata Pak Lik Suryo, tapi beliau tidak mau bertanya untuk apa, karena
bukan urusannnya, tidak baik mencampuri urusan orang lain, apalagi Pak Bagus
adalah orang baru.”
“Terus, apa
hubungannya dengan dengan Nenek Dara?”
Pak Dikun
tersenyum. “Dulu, saya memanggilnya Mbak
Dara, orangnya cantik dan baik, keluarganya termasuk orang berada di kota ini
waktu itu. Menurut cerita Pak Lik Suryo, waktu itu Nenek Dara baru lulus
dari sekolah, mungkin sekarang SMA. Suatu hari, Nenek Dara disuruh ayahnya
mengantarkan sesuatu kepada Pak Lik Suryo, tanpa sengaja yang yang
membuka pintu adalah Pak Bagus. Mas Guru
pasti tahu sendiri apa yang terjadi setelah itu.” Pak Dikun tersenyum.
“Mereka saling
tertarik?”
“Begitulah,
mereka kemudian mulai sering saling bertemu, tapi mereka tidak berani
terang-terangan, namanya juga jaman dulu, apalagi pak Bagus termasuk orang baru
di sini. Yang mengetahui hubungan mereka adalah Pak Lik Suryo dan istrinya, karena mereka selalu bertemu di
tempat itu.”
“Di belakang sekolah, dekat pohon beringin
itu?” Aku mencoba menebak.
“Dulu, pohon
beringin itu belum sebesar dan serimbun sekarang, juga kota ini masih sepi,
jadi tidak ada orang yang mengetahuinya.”
“Jadi, yang selalu ditunggu Nenek Dara itu, Pak Bagus.
Apa sebabnya sampai Nenek Dara selalu menunggunya.”
Aku melihat Pak
Dikun menghela nafasnya. “Malam itu, Pak Bagus kedatangan teman-temannya,
pergi dengan tergesa-gesa, dan pulang waktu subuh, menurut Pak Lik
Suryo, waktu pulang, Pak Bagus nampak
kelelahan, malam, dan kelihatan ada gurat-gurat ketegangan di wajahnya.”
“Sebenarnya, apa yang dilakukan Pak Bagus dan
teman-temannya setiap malam itu, Pak?”
Pak Dikun menggeleng, kemudian Laki-laki itu menyulut
sebatang rokok lagi, kemudian dihisapnya dalam-dalam. “Siang harinya, menurut Pak
Lik Suryo, Pak Bagus nampak gelisah, membuat Pak Lik Suryo merasa
keheranan, dan bertanya padanya, ada apa, Pak Bagus menjawab tidak ada apa-apa,
hanya agak sedikit sakit. Sore harinya, Pak Bagus menemui Pak Lik
Suryo sambil membawa sebuah kardus, dan meminta tolong untuk membakarnya,
ketika ditanya apa isinya, Pak bagus hanya menjawab berkas-berkas yang tidak
berguna. Pak Lik pun membakarnya. Menurut dia, waktu dibakar terlihat
kain merah dan kertas-kertas, yang entah apa isinya. Kemudian pada malam
harinya, datang beberapa orang menemui Pak Bagus, menurut Pak Lik,
mereka bukan teman-temannya yang biasa, jumlah mereka ada sekitar lima orang
dan berbicara dengan Pak Bagus di luar rumah. Beberapa saat kemudian Pak Bagus
masuk kembali ke kamarnya, kemudian keluar sambil membawa barang-barangnya.
Sebelum pergi dia berpamitan, ketika ditanya akan ke mana, Pak Bagus hanya
tersenyum, kemudian dia mengucapkan terima kasih kepada Pak Lik dan
istrinya. Setelah itu Pak Bagus bersama dengan kelima orang yang menjemputnya,
dan tak pernah kembali lagi, sampai hari ini.”
“Pak Bagus mau pergi ke mana sebenarnya. Lalu siapa
orang-orang yang menjemputnya.”
“Tidak ada yang tahu.”
“Bagaimana dengan teman-teman guru lainnya, setelah
mendengar kepergian pak Bagus?
“Kepala Sekolah waktu itu mengatakan kalau Pak Bagus
dipindahtugaskan.”
“Bagaimana dengan Nenek Dara?”
Pak Dikun menghela nafasnya. “Keesokan sorenya, Nenek
Dara pergi ke rumah Pak Lik Suryo, menanyakan kenapa Pak Bagus tidak
datang menemuinya, padahal mereka sudah berjanji untuk bertemu. Pak Lik
pun menceritakan kejadian semalam, tetapi Nenek Dara tidak mempercayai begitu
saja, sambil menangis dia berkata kalau Pak Lik bohong, dia berkata
bahwa akan terus menunggunya di tempat itu, sampai Pak Bagus menemuinya, karena
sudah berjanji, kalau sampai kapan pun tidak akan meninggalkan dirinya.
Kemudian hampir setiap sore Nenek Dara menunggu kedatangan Pak Bagus di dekat
pohon beringin itu, dia pulang jika hari sudah gelap. Nenek Dara kemudian
dikirim ayahnya ke Yogyakarta, di sana dia masuk ke sekolah guru. Beberapa
tahun kemudian, dia datang kembali ke kota ini sebagai seorang guru, dan mulai
mengajar di sekolah Mas Guru sekarang.”
“Bagaimana
dengan penantiannnya terhadap Pak Bagus?”
“Dia kembali menunggunya.. Sampai akhirnya dia pensiun
dan sakit-sakitan.”
“Apa nenek Dara tidak menikah?” Aku bertanya dengan
hati-hati.
“Dia tidak pernah menikah, padahal banyak pemuda yang
menaruh hati padanya dan keluarganya terus menjodohkan dengan beberapa pemuda,
tapi dia selalu menolaknya dengan alasan kalau hidupnya akan digunakan untuk
dunia pendidikan.”
“Terus apa hubungannnya dengan saya, pak?”
Pak Dikun tertawa mendengar pertanyaanku. “Sudah beberapa
tahun, Nenek Dara tidak melakukan kebiasaannnya itu, karena sakit, juga karena
tua. Dia mungkin mendengar ada guru laki-laki baru yang datang di sekolah ini,
yang suka mengajar kesenian pada anak-anak, itu adalah Mas Guru. Mungkin dia
mengira, yang datang adalah Pak Bagus.”
“Apa! Tapi itu kan, terjadi beberap puluh tahun yang
lalu.”
“Itu menurut Mas Guru, tapi menurut Nenek Dara, siapa
yang tahu? Lagipula dia sudah tua dan sakit-sakitan, mungkin akalnya sudah
tidak bisa berpikir dengan jernih lagi, ditambah penderitaan atas penantiannya
selama ini.”
Aku menghela nafas membayangkan dan memikirkan tentang
Nenek Dara.
“Bagaimana Nenek Dara
sampai ke tempat itu?”
“Tekad dapat
megalahkan segalanya, tidak ada seorangpun yang dapat melarang dan mencegahnya,
bahkan ketika orang-orang menyebutnya agak…” Pak Dikun membuat garis miring di
jidat dengan jarinya.”
Aku memikirkan apa sebenarnya yang terjadi dengan Pak
Bagus, sehingga meninggalkan kota ini begitu saja, dan siapa sebenarnya
orang-orang yang telah menjemputnya.
“Tahun berapa kejadian itu, Pak?”
Pak Dikun berusaha mengingat-ingat. “Kalau tidak salah
tahun 1965, saya ingat waktu itu di radio sedang banyak berita tentang negara
kita yang katanya sedang ramai. Memangnya ada apa, Mas guru?”
Aku tersenyum. “Tidak ada apa-apa.” Kemudian aku melihat
orang tua itu menghabiskan tehnya yang
telah dingin.
Hari berikutnya, aku menghampiri Nenek Dara yang masih terus
menunggu Pak Bagus, kekasihnya. Aku menyapa dan tersenyum padanya, kulihat dia
tersenyum, kemudian aku sedikit bertanya padanya. “Nenek sedang menunggu
siapa?”
“Saya sedang menunggu Bapak.”
“Nenek sedang menunggu saya?”
Nenek Dara mengangguk sambil tersenyum. Setelah berbicara
sedikit, kemudian aku mengantarkannya pulang ke rumahnya. Selama beberapa hari
aku selalu menemui dan mengantarkannya pulang, aku melihat ada sedikit
kebahagiaan di wajahnya, tidak pucat seperti saat pertama kali aku melihatnya.
Sampai akhirnya aku mendengar Nenek Dara jatuh sakit, dan harus dirawat di
rumah sakit. Aku menyempatkan diri untuk membezuknya, kulihat Nenek Dara
terbaring lemah dengan selang infus di tangannya.
Setelah beberapa hari Nenek Dara dirawat di rumah sakit,
akhirnya berita sedih itu pun sampai di telingaku, Nenek Dara meninggal.
Menurut kabar dari orang-orang dia meninggal sambil tersenyum, dan sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir sempat
mengatakan, “Aku telah bertemu dengannya.” Aku cukup sedih saat mendengar kabar
itu, kini tiada lagi Nenek Dara yang menungguku, tiada lagi Nenek Dara yang
selalu kuantarkan pulang. “Nenek Dara, perempuan yang terpisah dengan
kekasihnya karena perbedaan ideologi.”
edna
Juli 2007
Komentar
Posting Komentar